Bunga Kehidupan sebuah blog membahas tentang pernik pernik kehidupan yang terfokus pada masalah pendidikan (The life flower one blog discussed about something that was interesting to the world of education)

Peranan Orang Tua dalam Perkembangan Kompetensi Sosial Anak

Peranan Orang Tua dalam Perkembangan Kompetensi Sosial Anak

Oleh Didi Tarsidi
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Para teoris dan peneliti tentang perkembangan anak sepakat bahwa orang tua memainkan peranan yang formatif dalam sosialisasi anak. Peranan tersebut sudah dimulai sejak awal masa bayi, di mana orang tua dan anak sudah saling memberikan perhatian dan mulai berkomunikasi. Anak merespon komunikasi orang tuanya melalui senyuman, kerutan kening, celotehan, dan sentuhan. Ketika mobilitas dan bahasa anak sudah memungkinkannya untuk mengeksplorasi lingkungannya secara aktif, orang tua mulai memberikan berbagai pelajaran kepada anak mengenai cara dunia sosial beroperasi dan perilaku yang diharapkan oleh dunia sosial itu dari anak. Pelajaran tersebut diarahkan untuk membantu anak belajar memiliki kompetensi sosial – yaitu perseptif terhadap orang lain, kooperatif, asertif, ramah kepada teman sebaya, dan santun kepada orang dewasa (Lamb & Baumrind, dalam Budd, 1985). Pada saat ini salah satu tugas yang dihadapi orang tua adalah memperkenalkan anak kepada kelompok teman sebayanya. Orang tua menginginkan anaknya berinteraksi sedini mungkin dengan teman-teman sebayanya agar memperoleh kemampuan untuk dapat bergaul dengan mereka. Pergaulan yang baik bagi satu orang tua mungkin berbeda maknanya bagi orang tua lain, tetapi pada umumnya orang tua menginginkan anaknya senang bersama anak-anak lain, disukai oleh mereka, berkelakuan baik dalam kehadiran mereka (misalnya bersedia berbagi dan bekerjasama dengan mereka), dan bertahan terhadap pengaruh teman-temannya yang cenderung mendominasi, yang agresif atau menentang otoritas orang dewasa (Moore, 1992).

Bagaimanakah orang tua dapat membantu anaknya menjadi seorang teman bermain yang memiliki kompetensi sosial dan disukai anak lain, yang tidak terlalu mudah dipengaruhi oleh teman-teman sebayanya yang perilakunya tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan orang tuanya? Perkembangan kompetensi sosial anak di dalam kelompok teman sebayanya terkait dengan gaya asuh (parenting styles) yang dipergunakan orang tua dalam mengasuh anaknya (Jewett, 1992). Diana Baumrind telah melakukan sejumlah penelitian tentang kaitan antara gaya asuh orang tua dengan kompetensi sosial pada anak usia prasekolah dan usia sekolah (Darling, 1999; Moore, 1992; Jewett, 1992; Oden, 1987). Data mengenai anak taman kanak-kanak diperolehnya dari hasil observasi dalam setting sekolah dan dalam situasi tes laboratorium ketika anak berusia sekitar empat hingga lima tahun. Data tentang orang tua anak-anak itu diperoleh melalui observasi rumah dan wawancara terhadap ibu serta ayahnya. Pada bagian ini akan dibahas tipologi gaya asuh orang tua menurut Baumrind dan dampak masing-masing jenis gaya asuh itu terhadap perkembangan kompetensi sosial anak.


Tipologi Gaya Asuh Orang Tua

Baumrind (Darling, 1999) berasumsi bahwa perilaku asuh yang normal dari orang tua berkisar seputar masalah kontrol. Meskipun orang tua mungkin berbeda-beda dalam cara mereka mengontrol atau mensosialisasikan anaknya dan berbeda pula dalam tingkat kontrol yang mereka terapkan, tetapi Baumrind berasumsi bahwa peranan utama semua orang tua adalah mempengaruhi, mengajar, dan mengontrol anaknya. Dari hasil penelitiannya, Baumrind mengidentifikasi empat gaya asuh yang berbeda-beda, yaitu authoritarian, permissive, authoritative, dan uninvolved, yang masing-masing berimplikasi terhadap kompetensi sosial anak dalam kaitannya dengan teman sebayanya dan orang dewasa. Masing-masing dari keempat gaya asuh tersebut mencerminkan perbedaan dalam nilai dan pola perilaku asuh yang dipraktekkan orang tua dalam mengasuh anaknya, dan perbedaan dalam keseimbangan antara dimensi-dimensi asuh (parental dimensions) yang diterapkannya. Baumrind mengidentifikasi dua dimensi asuh utama, yaitu: parental responsiveness dan parental demandingness. Parental responsiveness (dimensi asuh responsif – juga disebut parental nurturance) adalah dimensi di mana orang tua secara sadar memupuk perkembangan individualitas anak, membiarkannya mengatur diri dan menampilkan dirinya sendiri, dan dimensi ini diwujudkan dengan senantiasa mendengarkan, mendukung dan memenuhi kebutuhan khusus dan tuntutan anak. Parental demandingness (dimensi asuh penuh tuntutan – juga disebut parental control) adalah dimensi di mana orang tua menuntut anaknya untuk terintegrasi ke dalam keutuhan keluarga, dengan menuntut agar anak menunjukkan kematangannya, mengawasinya, mendisiplinkannya, dan mengkonfrontasinya bila anak tidak menunjukkan kepatuhan.

Orang tua dengan gaya asuh otoriter cenderung rendah dalam dimensi responsifnya dan tinggi dalam dimensi tuntutannya (Moore, 1992). Orang tua ini menciptakan lingkungan yang terstruktur dan tertata rapi dengan aturan-aturan yang jelas. Mereka menetapkan standar yang absolut untuk perilaku anaknya, menerapkan disiplin yang ketat dan menuntut kepatuhan yang segera, serta kurang menggunakan metode persuasi. Orang tua yang otoriter juga cenderung kurang menggunakan cara-cara persuasi yang lebih lembut terhadap anaknya; mereka tidak menunjukkan kasih sayang, pujian ataupun imbalan. Akibatnya, orang tua yang otoriter cenderung menciptakan model agresif dalam cara memecahkan konflik dan model interaksi sosial yang kurang ramah.

Kebalikannya, orang tua yang permisif cenderung moderat hingga tinggi dalam dimensi responsifnya tetapi rendah dalam dimensi tuntutannya (Moore, 1992). Orang tua dengan gaya asuh ini menerapkan relatif sedikit tuntutan kepada anaknya dan cenderung inkonsisten dalam menerapkan disiplin. Mereka selalu menerima impuls, keinginan dan perbuatan anaknya, dan cenderung kurang memonitor perilaku anaknya. Meskipun anaknya cenderung ramah dan mudah bergaul, tetapi mereka kurang memiliki pengetahuan tentang perilaku yang tepat untuk situasi sosial pada umumnya dan kurang bertanggung jawab atas perilakunya yang salah.

Orang tua yang otoritatif tinggi dalam dimensi responsifnya dan moderat dalam dimensi tuntutannya. Mereka memonitor dan menetapkan standar yang jelas bagi perilaku anaknya, bersifat asertif, tetapi tidak intrusif ataupun restriktif. Metode pendisiplinan yang diterapkannya bersifat suportif, tidak menghukum. Mereka menginginkan anaknya menjadi asertif dan memiliki tanggung jawab sosial, dan mampu mengatur dirinya sendiri (self-regulated) serta kooperatif. Gaya asuh inilah yang oleh Baumrind dan kolega-koleganya ditemukan paling fasilitatif dalam perkembangan kompetensi sosial selama awal masa kanak-kanak dan masa-masa perkembangan selanjutnya (Moore, 1992).

Orang tua dengan gaya asuh “tak peduli” (uninvolved) rendah dalam dimensi responsifnya maupun dimensi tuntutannya (Darling, 1999). Dalam kasus yang ekstrim, orang tua ini akan mengabaikan anaknya atau bahkan menolak kehadirannya, meskipun sebagian besar orang tua dengan tipe gaya asuh ini termasuk ke dalam kategori orang tua yang normal. Baumrind (Darling, 1999) mengemukakan bahwa karena gaya asuh orang tua lebih merupakan suatu tipologi, bukan suatu kombinasi linear responsiveness dan demandingness, masing-masing gaya asuh harus dipahami sebagai lebih dari sekedar gabungan dimensi-dimensi yang membentuknya.

Dampak Gaya Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan Kompetensi Sosial Anak

Gaya asuh orang tua telah ditemukan dapat memprediksi pencapaian anak dalam ranah kompetensi sosial maupun dalam beberapa ranah lainya termasuk kinerja akademik, perkembangan psikososial, dan perilakunya. Penelitian yang didasarkan pada wawancara terhadap orang tua, laporan anak, dan observasi terhadap orang tua (Darling, 1999) secara konsisten menemukan hal-hal sebagai berikut:
Anak dan remaja yang orang tuanya otoritatif memiliki kompetensi sosial maupun kompetensi instrumental (kinerja akademik) yang lebih tinggi daripada mereka yang orang tuanya nonotoritatif.
Anak dan remaja yang orang tuanya tak peduli adalah yang paling buruk kinerjanya dalam kedua ranah kompetensi tersebut.
Anak dan remaja dari keluarga otoriter cenderung moderat dalam kinerja sekolahnya dan tidak terlibat dalam perilaku bermasalah tetapi mereka menunjukkan keterampilan sosial yang kurang baik, harga diri yang lebih rendah, dan tingkat depresi yang lebih tinggi.
Anak dan remaja dari keluarga yang permisif cenderung terlibat dalam perilaku bermasalah dan kurang baik dalam kinerja sekolahnya, tetapi mereka menunjukkan harga diri yang lebih tinggi, keterampilan sosial yang lebih baik, dan tingkat depresi yang lebih rendah.
Keuntungan gaya asuh otoritatif dan efek yang merugikan dari gaya asuh tak peduli itu sudah dapat terlihat sejak anak berada pada masa prasekolah dan terus tampak selama masa remaja dan awal masa dewasanya (Darling, 1999). Sebagaimana orang tua yang otoritatif mampu menyeimbangkan tuntutan kepatuhan dengan penghargaan terhadap individualitas anaknya, demikian pula halnya dengan anak dari keluarga otoritatif tampaknya mampu menyeimbangkan tuntutan kepatuhan eksternal dan tuntutan berprestasi dengan kebutuhan otonomi dan individuasinya.

Sebagaimana dikemukakan di atas, gaya asuh otoritatif menggabungkan dimensi parental responsiveness yang tinggi dengan dimensi parental demandingness yang moderat. Secara umum, parental responsiveness memprediksi kompetensi sosial dan keberfungsian psikososial, sedangkan parental demandingness terkait dengan kompetensi instrumental (kinerja akademik) dan kontrol perilaku (Darling, 1999).

Perilaku responsif dari orang tua yang memprediksi kompetensi sosial sebagaimana diidentifikasi oleh Moore (1992) meliputi: berinteraksi dengan anak secara penuh kasih sayang dan bersahabat; mempertimbangkan perasaan, keinginan dan kebutuhan anak; berminat terhadap kegiatan anak sehari-hari; menghargai pandangan anak; menunjukkan kebanggaan atas pencapaian anak; memberikan dukungan dan dorongan pada saat anak mengalami stress.

Keuntungan tingginya tingkat parental responsiveness dalam membantu perkembangan kompetensi sosial anak telah dikonfirmasi secara berulang-ulang dalam berbbagai studi terhadap anak (Moore, 1992). Keuntungan ini dimulai pada masa bayi, ketika dimensi responsif yang ditunjukkan oleh sang ibu memfasilitasi rasa aman yang pada gilirannya memprediksi kompetensi sosial, dan berlanjut selama masa kanak-kanak. Tingginya dimensi responsif dalam pengasuhan anak menjamin adanya lebih banyak interaksi yang positif antara anak dan orang dewasa daripada interaksi yang negatif dalam operasi sehari-hari kehidupan keluarga. Hal ini pada gilirannya cenderung membuat anak balik menyayangi orang tuanya dan senang melewatkan waktu bersama orang tua, sehingga meningkatkan secara signifikan kemungkinan pengaruh orang tua selama masa kanak-kanaknya. Sikap “asuh asih” dari orang tua itu juga memotivasi anak untuk membuat senang orang tua dengan berusaha untuk hidup sesuai dengan ekspektasi orang tua dan membantu mencegah anak menyakiti atau mengecewakan orang tua yang dicintainya. Karena anak lebih mudah mengidentifikasikan dirinya dengan model yang responsif daripada yang nonresponsif, maka dalam hubungan interpersonalnya anak dari orang tua yang responsif cenderung lebih menyerap dan mempraktekkan nilai-nilai yang dianut orang tuanya, seperti penuh pertimbangan dan bersikap adil. Anak-anak ini juga cenderung akan menolak nilai-nilai yang dianut oleh kelompok teman sebayanya yang jelas berbeda dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh keluarganya.

Satu resiko yang mungkin dihadapi orang tua yang mengasuh anaknya dengan dimensi responsif yang tinggi ini adalah bahwa mereka dikhawatirkan kurang memberikan tantangan kepada anak untuk menunjukkan perilaku yang sesuai dengan standar perkembangannya. Akan tetapi, Baumrind (Moore, 1992) mengemukakan bahwa resiko tersebut tampaknya dapat dikurangi oleh kecenderungan orang tua otoritatif untuk menggabungkan tingginya dimensi responsif itu dengan tingkat parental demandingness yang moderat.

Orang tua yang otoritatif tidak menyerahkan haknya kepada anaknya untuk menetapkan standar perilaku bagi anak itu, dan akan menanamkan pemahaman mengenai pentingnya kepatuhan terhadap standar tersebut. Untuk mengajarkan kepatuhan dengan tetap menghargai individualitas anak, orang tua yang otoritatif memberikan alasan dan penjelasan untuk tuntutan-tuntutan yang dibebankan kepada anaknya. Baumrind menunjukkan Evidensi bahwa praktek semacam ini dapat meningkatkan pemahaman anak tentang aturan-aturan, dan akhirnya memungkinkan anak untuk memonitor perilakunya sendiri meskipun dalam ketidakhadiran orang tua.

Orang tua yang menggunakan gaya asuh otoritatif sering mempergunakan positive reinforcers (Moore, 1992), seperti pujian, persetujuan, dan hadiah, untuk meningkatkan kepatuhan anak terhadap standar perilaku. Keefektifan positive social reinforcements dalam menghasilkan perilaku yang diinginkan sudah sangat dikenal. Respon yang positif terhadap perilaku yang baik mungkin merupakan instrumen yang paling efektif yang dapat dipergunakan oleh orang tua untuk meningkatkan kepatuhan anak dan mengurangi perlunya menerapkan tindakan disiplin. Bila perilaku menyimpang terjadi dan disiplin perlu diterapkan, Moore (1992) mengamati bahwa orang tua otoritatif akan lebih menyukai tindakan rational-inductive discipline, di mana kedua sisi suatu permasalahan dikemukakan dan dicari jalan pemecahan yang adil. Orang tua ini juga lebih menyukai disiplin yang berorientasi pada konsekuensi, di mana anak diharapkan untuk menebus kesalahannya. Martin Hoffman (Moore, 1992) mengemukakan bahwa strategi disiplin ini memiliki keuntungan memfokuskan perhatian anak pada kesulitan yang dialami korban perlakuan anak, bukan pada kesulitan yang dihadapi anak di tangan orang tua yang marah. Di samping itu, Orang tua otoritatif berusaha menghindari bentuk-bentuk hukuman yang ekstrim dalam mengasuh anaknya. Mereka tidak menyukai hukuman fisik yang keras atau kata-kata kasar atau ejekan yang dapat menyinggung perasaan harga diri pribadi anak. Meskipun untuk jangka pendek bentuk-bentuk hukuman yang keras dapat efektif, tetapi dalam jangka panjang sering membangkitkan perasaan kesal dan permusuhan yang dapat terbawa ke sekolah dan ke kelompok teman sebayanya, sehingga dapat mengurangi keefektifan fungsi sosialnya di dalam setting tersebut.
Dari bahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa seberapa besar peranan yang dimainkan oleh orang tua di dalam membantu perkembangan kompetensi sosial anaknya itu terkait dengan jenis gaya asuh yang dipraktekkannya di dalam mengasuh anaknya itu. Di dalam mengasuh anak, sebagaimana halnya di dalam upaya-upaya lain, tidak ada satu cara yang selalu baik untuk segala hal. Namun demikian, adalah aman untuk mengatakan bahwa gaya asuh otoritatif lebih baik daripada gaya-gaya asuh lainnya di dalam memfasilitasi perkembangan kompetensi sosial pada anak, baik di dalam lingkungan keluarga maupun dalam kelompok teman sebayanya. Baik parental responsiveness maupun parental demandingness merupakan komponen penting dalam pengasuhan yang baik. Praktek asuh dengan tingkat “asih” yang tinggi, yang dikombinasikan dengan tingkat kontrol yang moderat, membantu orang dewasa menjadi pengasuh yang bertanggung jawab bagi anaknya dan membantu anak menjadi anggota masyarakat yang matang dan kompeten.

Daftar Referensi

Budd, K. S. (1985). “Parents as Mediators in the Social Skills Training of Children”, dalam L'Abate, Luciano & Milan, Michael A. (Eds.) (1985). Handbook of Social Skills Training and Research. New York: John Wiley & Sons.
Darling, N. (1999). Parenting Style and Its Correlates. ERIC Digest. Champaign IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education.
Jewett, J. (1992). Aggression and Cooperation: Helping Young Children Develop Constructive Strategies. ERIC Digest. Urbana IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education.
Moore, S. G. (1992). The Role of Parents in the Development of Peer Group Competence. ERIC Digest.
Oden, S. (1987). The Development of Social Competence in Children. ERIC Digest.


Posted by Health Care , Published at 8:49 AM and have 0 comments

Tidak ada komentar :