Bunga Kehidupan sebuah blog membahas tentang pernik pernik kehidupan yang terfokus pada masalah pendidikan (The life flower one blog discussed about something that was interesting to the world of education)

Salah Kaprah Keterlibatan Orangtua dalam Pendidikan Anak di Sekolah

Salah Kaprah Keterlibatan Orangtua dalam Pendidikan Anak di Sekolah

by lina
Salah satu rekan kantor yang pegang proyek di Malang dan akan dipindahtugaskan ke Jogja, meminta pendapat saya mengenai rencananya untuk mengambil cuti selama 2 minggu pada pertengahan bulan April ini agar dapat mendampingi anak lelaki sulungnya yang duduk di bangku SMP menghadapi ujian nasional - UN. Dia agak khawatir, anaknya tidak bisa berkonsentrasi dalam menghadapi UN, karena prestasinya dalam berbagai try out yang diikutinya pada kelas bimbingan belajar, sangat tidak stabil. Konon, kondisi ini sangat mengkhawatirkan terutama dikaitkan dengan masa depan si anak.

Jujur saja, saya agak terperangah mendengar masalah yang dihadapinya. Mungkin saya memang sangat beruntung punya anak lelaki yang "sangat mandiri" dalam belajar. Atau mungkin juga karena kekhawatiran saya "diredam" dengan sangat keras oleh suami yang sangat menafikan prestasi akademis. Kondisi ini semua, dengan berbagai argumentasi dan perdebatan ibu-anak, telah menjadikan anak sulung saya akhirnya menjadi sangat "bebas" menentukan, apa maunya. Tetapi, diluar itu semua, prestasi akademisnya dari SD hingga menyelesaikan SMU memang luar biasa.

Nah, kembali dengan teman saya ini, dan lagi-lagi menurut ceritanya, setiap malam dia harus "membimbing" anak sulungnya dalam hampir seluruh mata pelajaran terutama matematika dan fisika. Kalau tidak, maka hasil ulangannya akan jeblog habis. ***

Konon, jaman dahulu kala .... orang tua murid relatif "tidak pernah" bersinggungan dengan sekolah. Bahkan saat dibagikan raport sekolahpun, kehadiran orangtua tidak dibutuhkan karena guru langsung membagikan raport kepada murid. Saat tamat SD dan pindah ke SLTP dan SLTA, semua murid mendaftarkan diri dan menyelesaikan seluruh kewajiban pembayaran sekolah tanpa didampingi orang tua. Penyerahan raport langsung kepada murid memang memiliki dampak "buruk".

Konon, murid-murid "nakal" yang isi raportnya "kebakaran" dengan bantuan teman-temannya akan mengganti angka-angka merah itu menjadi biru agar tidak diketahui orangtua. Entah bagaimana cara mereka mengelabui orangtua/guru saat raport itu harus kembali ke sekolah. Mungkin juga murid-murid tersebut akan memalsukan tandatangan orangtua di raport dan membuang semua surat panggilan dari sekolah kepada orangtua. (Alhamdulillah... saya tidak termasuk murid nakal...).

Buku pegangan setiap mata pelajaran disediakan sekolah. Setiap awal tahun ajaran baru, murid dibagikan setumpuk buku yang harus di sampul baik-baik untuk digunakan selama tahun pelajaran berlangsung dan baru dikembalikan bersamaan dengan pembagian raport. Seingat saya, POMG apalagi model Komite Sekolah, sama sekali tidak terdengar keberadaannya. Jadi model sumbangan ini itu untuk kegiatan sekolah sama sekali tidak ada. Entah bagaimana caranya sekolah memenuhi biaya kegiatan-kegiatan tersebut. Tanpa permintaan sumbangan dari orang tua apalagi dengan dalih sumbangan rutin POMG, kegiatan ekstra kurikulum tetap berlangsung. Itu memang cerita kuno yang terjadi, mungkin hingga paruh tahun 1970 an.

Entah sejak kapan keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak dimulai. Yang teringat adalah pada akhir tahun 1970, raport tidak lagi dibagikan kepada murid sehingga saya kerap diminta orangtua mewakilinya untuk mengambil raport adik. Mungkin kenakalan murid sekolah mulai tak tertangani oleh sekolah atau ada alasan lain yang melatar belakangi keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah. Yaitu dimulai dengan pengambilan raport, lalu adanya lembaga POMG yang kemudian "diberdayakan" menjadi salah satu sumber dana kegiatan ekstra kurikulum. Mungkin juga "entry point" ini menjadikan keterlibatan orangtua ke dalam pendidikan sekolah semakin lama semakin dalam. Lama kelamaan, bahkan dalam berbagai kegiatan ekstra kurikulum, orangtua murid terlibat menjadi panitia aktif. Semakin jauh dan semakin jauh. Bahkan melalui pengamatan di salah satu SD tempat anak saya bersekolah, melalui Komite Sekolah, campur tangan orangtua semakin dalam dan mulai memasuki wilayah akademis. Beruntung bila orangtua yang campur tangan memiliki kompetensi atau kepedulian dalam arah pendidikan yang benar. Yang seringkali terjadi, campur tangan tersebut lebih didasarkan kepada snobisme/ikut-ikutan atas model pendidikan "gaya luar" yang diterapkan oleh sekolah lain yang menjadi referensi, demi gengsi semata. Bukan atas kepentingan dan masa depan anak didik.

Mungkin itu juga sebabnya esensi pendidikan anak mulai bergeser. Bila dulu anak murid "tidak mengenal" les ini itu yang berkaitan dengan mata pelajaran dan cukup percaya diri menempuh ujian akhir bahkan untuk menempuh ujian masuk universitas. Sekarang, les dan kursus yang bertalian dengan mata pelajaran bertebaran dimana-mana. Anak-anak (atau jangan-jangan orangtua mereka) merasa tidak percaya diri bila si anak tidak diikutsertakan pada les atau kursus-kursus tersebut. Dan cengkeraman pengaruh les/kursus sangat luar biasa. Bila dua dekade lalu, kursus atau sekarang populer dengan sebutan bimbingan belajar/BIMBEL hanya diikuti oleh anak-anak yang akan menempuh ujian akhir saja. Sekarang, anak-anak "dipaksa" orangtua mengikuti bimbel pada setiap jenjang kelas. Ikut sibuk mencarikan sekolah-sekolah favorit, ikut cawe-cawe menentukan kegiatan (terutama kegiatan ekstra kurikulum) anak-anak di sekolah. Bukan itu saja... konon katanya cara belajar di kelas 3 disebuah sekolah unggulan nasional, bukan lagi belajar "normal" untuk memahami ilmu pengetahuan tetapi latihan soal a la bimbingan belajar untuk ujian masuk universitas. Yang sangat mengejutkan, beberapa waktu yang lalu di koran ibukota ramai diberitakan bahwa BIMBEL telah masuk secara resmi ke sekolah-sekolah melalui kerjasama. Lalu... apa dong fungsi guru sekolah? Kalau tujuan sekolah hanya sekedar mendapat ijasah atau lulus masuk PTN, yang nggak usah bikin sekolah yang esensinya mendidik (akademis dan moralitas), bikin aja kursus-kursus.

Keleluasaan pemerintah/DikNas kepada sekolah dan daerah untuk turut me"warnai" kurikulum melalui muatan lokal turut menambah carut-marut profil mata pelajaran dan pada akhirnya menambah beban anak. Banyak mata pelajaran yang tumpang tindih atau terkesan "diadakan" agar sekolah dapat masuk dalam kategori sekolah favorit dan tidak dipandang sebelah mata oleh kalangan berpunya. Bahkan di salah satu tayangan televisi, ada seorang ibu (di Indonesia lho... bukan di negara maju) yang dengan bangga memamerkan anaknya atau lebih tepat dikatakan BAYI berumur 9 ... baca SEMBILAN bulan yang sudah bersekolah. Entah sekolah macam apa yang diikuti bayi tersebut dan entah pula apa latar belakang dan maksud pendidikan super dini itu. Saya hanya masih membayangkan bahwa anak atau bayi berumur 9 bulan, lebih membutuhkan belaian dan perlindungan orang tua daripada hiruk pikuk sekolah bayi.

Memang betul bahwa pendidikan anak bukan semata tanggung jawab guru, tetapi juga tanggung jawab orang tua. Tapi kan ada bagian-bagiannya. Kalau semua mau cawe-cawe melampaui batas wewenang dan kemampuannya ... ya repot. Akhirnya tujuan akhir pendidikan jadi kabur ... semua tergantung dari uang dan pengaruh. Siapa yang kuat dan ber"uang", itu yang menang ... Jadi nggak salah ya... ber"uang" dan beruang, setali tiga uang. Cakarnya memang tajam menancap

Halah....... mau kemana sih pendidikan anak-anak Indonesia ini?



Posted by Health Care , Published at 7:26 AM and have 0 comments

Tidak ada komentar :