Written by R. Suryanto
Thursday, 18 September 2008
Memaafkan tidak segampang mengucapkannya. Dibutuhkan kebesaran hati dan keiklasan. ” Biasanya kita susah untuk memaafkan pada orang paling dekat yang melakukan kesalahan besar terhadap kita seperti berkhianat, melakukan KDRT dan sebagainya,” jelas Rieny Hassan dalam Work Shop Interaktif: Mengapa Kita Sulit Memaafkan? di Klub NOVA, (17/9).
Menurut pengasuh rubrik Psikologi NOVA ini, untuk menuju proses memaafkan, kita harus terlebih dulu menghentikan kenangan yang menyakitkan hati yaitu dengan cara menumbuhkan kekuatan untuk melupakan. “Mencoba melupakan kenangan menyakitkan merupakan awal kita dapat mengampuni dan mengundang kita untuk saling memaafkan,” jelas Rieny.
Tidak realistik kalau kita beranggapan bahwa memaafkan dapat menghilangkan perasaan marah. “Kita tidak bisa menghapus masa lalu, tapi hanya bisa menyembuhkan rasa sakit yang ditinggalkannya,” jelas ibu 2 anak ini. Ketika menuju proses memaafkan, perasaan dengki pelan-pelan akan hilang. Dengki inilah yang membuat kita tidak rela dan tidak ingin melihat orang lain bahagia.
Mengutip tokoh besar Mahatma Gandhi yang menyatakan: kalau mata dibalas dengan mata, maka seluruh dunia akan buta. Dendam tidak ada habisnya. “Balas dendam tidak pernah memberi kita apa yang kita inginkan. Keadilan yang dituntut tidak pernah tercapai karena “bobot” sakit hati tidak bisa ditimbang,” tegas Rieny.
Ada pengalaman menarik dari salah satu peserta yang menggambarkan bagaimana memaafkan menjadi energi positif yang luar biasa. Sewaktu remaja, ibu ini, sebut saja Ibu Ana mempunyai teman dekat dan sudah dianggap saudaranya sendiri karena kedekatannya. Sampai pada suatu ketika, si ibu ini putus dengan pacarnya. Dan yang membuat ia sakit hati, pacarnya ini menjalin hubungan dengan temannya itu. Semenjak itu, si ibu memutuskan hubungan dengan temannya dengan rasa benci yang memuncak.
Beberapa puluh tahun kemudian, temannya datang ke rumah dan minta maaf atas perbuatan masa lalunya. Ia menceritakan bahwa ia telah lama berkeluarga, tetapi tidak mempunyai anak. Pengobatan medis dan alternatif telah ia jalani, tetapi belum mendapatkan hasil. Ketika berkonsultasi dengan orang pintar, ia diminta untuk minta maaf pada orang yang telah disakitinya. Mendengar itu, yang pertama kali terbayang adalah wajah Ibu Ana. Mendengar ceritanya, Ibu Ana luluh dan dengan tulus memaafkan kesalahannya. Satu tahun setelah pertemuan itu, temannya mengabari kalau dirinya telah hamil. ”Saya bahagia, ternyata kekuatan memaafkan sangat dahsyat,” ujarnya.
R. Suryanto
Tidak ada komentar :
Posting Komentar