Bunga Kehidupan sebuah blog membahas tentang pernik pernik kehidupan yang terfokus pada masalah pendidikan (The life flower one blog discussed about something that was interesting to the world of education)

Pendidikan Calon Koruptor

Pendidikan Calon Koruptor


Oleh: Muhammad Khodafi *)

ILUSTRASI: Tengoklah pada dinding kelas sekolah dasar kita, banyak sekali karya orang tua yang dipajang demi “menyelamatkan” buah hatinya dari nilai rapor yang jelek, tanpa mengetahui efek di kemudian hari,
——
Entah disadari atau tidak, budaya korupsi yang sekarang muncul sebagai isu nasional, bahkan mungkin Internasional, ternyata salah satunya diakibatkan oleh sistem dan budaya pendidikan masyarakat bangsa kita sendiri. Pendidikan yang seharusnya memberikan pencerahan kepada anak-anak bangsa, justru sebaliknya, membuat mereka semakin tenggelam dalam ketidakpercayaan diri menghadapi kehidupan.
Kondisi ini bukan tidak disadari oleh masyarakat. Hanya saja, mereka seolah tak mampu mengambil jarak dan melawan dengan arus pembodohan yang terjadi dalam sistem pendidikan kita.
Sebagai pendidik saya merasa sangat berdosa ketika tak mampu melawan arus utama itu, kecuali hanya sekedar mengeluh dalam tulisan dan diskusi-diskusi pendek yang tak berujung pada lahirnya solusi. Satu lagi, kecuali hanya sekedar menjaga bara idealisme sebagai pendidik.
Satu kali, seorang wali murid mengeluh, betapa sulitnya dia membantu menyelesaikan tugas sekolah anaknya yang baru kelas 3 (tiga) SD. Karena memang, tugas itu dinilainya tak mungkin mampu diselesaikan oleh anak seusianya.
Sang anak terus mendesak agar orang tuanya menyelesaikan tugas sekolah dengan sebaik-baiknya, karena dia takut mendapatkan nilai jelek dari gurunya. Sementara sang guru hanya menerima dan menilai tugas itu dengan standar yang ia tetapkan sendiri baik dan buruknya. Dan tentu, tanpa memperhitungkan tugas itu cocok untuk anak didiknya dan dikerjakan sang murid atau orang tuanya.
Maka, dari pengalaman itu, tengoklah pada dinding kelas sekolah dasar kita, banyak sekali karya orang tua yang dipajang demi “menyelamatkan” buah hatinya dari nilai rapor yang jelek, tanpa mengetahui efek di kemudian hari, yaitu anak akan menjadi sosok anak yang penakut, tidak kreatif, suka berbohong atau enggan mengakui karya orang lain atau orang tuanya sebagai buah kreativitasnya, serta mengambil keuntungan dari kerja keras orang lain.
Ya, inilah awal mula pendidikan para koruptor. Ironi ini masih berlanjut dengan sistem kelulusan berbasis UAN (Ujian Akhir Nasional) atau lebih dikenal Ujian NAsional (UN) yang tidak memberikan ruang apresiasi terhadap watak dan karakter anak didik. Keberhasilan sekolah dan guru hanya diukur dengan angka-angka yang dipaksa membawa makna “baik” dan “tidak baik”, “lulus” dan “tidak lulus, “berprestasi” dan “tidak berprestasi”.
Sekali lagi, semua itu dibebankan pada anak didik mereka, entah siap atau tidak. Maka, tak perlu heran, jika kemudian sang guru yang takut kepada kepala sekolah. Kepala sekolah juga takut pada kepala dinas pendidikan, dan kepala dinas takut pada bupati, serta bupati yang takut pada gubernur, dan seterusnya gubernur takut kepada menteri, dan menteri yang takut pada presiden.
Semua rantai ketakutan tersebut telah merekayasa semua hasil akhir para anak didik agar terlihat baik dan berhasil dengan penuh muslihat kecurangan dan kebohongan. Sang murid pun terlihat senang karena telah lulus. Mereka tak peduli dengan penilaian, bahwa kelulusan itu karena fasilitas kecurangan yang memang “dibenarkan” oleh sistem pendidikan yang aneh di negeri ini.
Ya, inilah fase kedua pendidikan para calon koruptor, yang ada dalam benak anak bangsa itu adalah “yang penting berhasil (berprestasi, lulus, menang, berkuasa, kaya dan lain-lain), tak peduli apapun caranya. Kita tak sadar, anak-anak bangsa ini sedang terancam bukan oleh bangsa lain, tetapi justru oleh bangsanya sendiri yang tidak menyadari, bahwa sistem pendidikan yang sedang berlangsung sekarang ini tak lagi memberikan ruang pengembangan karakter mulia pada anak-anak mereka.
Mereka, anak-anak didik kita, tidak pernah dijadikan subyek terdidik yang memiliki potensi bakat beragam yang luhur jika diberi ruang kreasi yang cukup. Para kader bangsa itu hanya perlakukan sebagai obyek yang dapat dipermainkan demi kepentingan sekolompok orang.
————-



Posted by Health Care , Published at 7:36 PM and have 0 comments

Tidak ada komentar :