Bunga Kehidupan sebuah blog membahas tentang pernik pernik kehidupan yang terfokus pada masalah pendidikan (The life flower one blog discussed about something that was interesting to the world of education)

Empowering People Instead of Delegating Tasks

Empowering People Instead of Delegating Tasks

Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Artikel saya tentang ‘delegating’ kemarin mengundang banyak reaksi yang tidak sependapat. Ada yang defensif, emosional dan sinical. Ada juga yang tetap berada dalam koridor diskusi yang konstruktif. Bahkan ada yang bagus sekali sehingga saya sendiri mendapatkan tambahan ilmu. Tampaknya komentar tidak sependapat itu datang dari ‘praktisi’ yang telah sukses atau ‘merasa puas’ dengan hasil pendelegasian yang dilakukannya selama ini. Memang dalam learning cycle, kita semua tahu bahwa bagian yang paling sulitnya adalah ‘to unlearn’ system nilai atau ilmu yang selama ini kita yakini sehingga proses ‘relearn’ sering terhambat. Persis seperti penentangan terhadap business process improvement;”Jika tidak ada masalah dengan model yang selama ini kita gunakan, mengapa harus melakukan perbaikan?” Sharing saya kali ini adalah solusi yang saya janjikan di akhir artikel kemarin. Kalau setelah ‘mencerna’ paparan saya berikut ini Anda tetap tidak sependapat juga ya tenang saja, karena Anda merdeka untuk tetap memilih prinsip yang selama ini Anda anggap paling baik. Tidak ada kewajiban untuk berubah. Disini, hanya berlaku hukum ‘jika, maka’. 
 
By definition, ‘empowering’ memiliki pengertian yang jauh berbeda dengan ‘delegating’.  Tentu lebih tajam lagi perbedaan dari aspek konsepsinya. Misalnya, titik berat ‘delegating’ terletak pada ‘accomplishing the tasks’, sedangkan ‘empowering’ berfokus kepada ‘people capacity building’. Lebih mudah mendelegasikan tugas daripada memberdayakan orang, memang. Makanya, lebih gampang mengajak leaders untuk delegating daripada empowering. Tidak pula heran jika disaat sebagian orang dan organisasi yang progresif bermigrasi dari konsepsi ‘Human Resources’ menuju ke ‘Human Capital’, kita masih sedemikian lengketnya dengan model-model yang menempatkan manusia sebagai obyek, bukan subyek. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar untuk moving to a higher level of leadership practices, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:  
 
1.      Bersiaplah untuk mengubah paradigma. Mari kita cermati dua situasi berikut ini. Atasan saya bilang;”Dadang, could you please take care of these stuffs as I have lots of works to do. Thank you…” Inilah model yang biasa dilakukan oleh seorang atasan yang baik ketika hendak mendelegasikan sebagian dari pekerjaannya kepada bawahannya yang dinilai kompeten. Pada kesempatan lainnya, atasan saya memfasilitasi proses pengembangan kapasitas pribadi saya hingga suatu hari saya mampu datang kepadanya dan mengatakan; “I am done with all the things I have to work on, Sir. Now, could you please share some responsibilities on your shoulder to me?” Bisakah Anda menemukan perbedaan pada kedua situasi itu? Menurut pendapat Anda, pada situasi manakah tingkat kematangan psikologis seseorang lebih tereksplorasi? Mudah sekali untuk merancang situasi pertama. Sedangkan untuk membangun kapasitas bawahan hingga mampu memasuki level seperti pada situasi kedua, tentu butuh seni memimpin berkelas tinggi.  
 
2.      Mulailah memposisikan seseorang sebagai subyek, bukan sekedar obyek. Salah satu karakteristik pakem kepemimpinan yang sering kita gunakan adalah; menempatkan orang-orang yang kita pimpin pada posisi-posisi yang sesuai dengan kemampuannya. Apakah itu betul? Tidak ada orang yang cukup sinting untuk menyalahkannya, kecuali dia siap dihujat. Tetapi leaders dan organisasi bisnis yang progresif percaya bahwa kemampuan aktual itu adalah hasil usaha dimasa lalu. Sedangkan masa depan sangat ditentukan oleh apa yang bisa dikembangkan dari masa lalu yang kini menjadi zero point-nya. Karena itu, penempatan orang tidak lagi dilakukan sekedar mempertimbangkan kemampuan dan lowongan yang ‘tersedia’. Mereka sudah mulai mempertimbangkan aspirasi, dan potensi setiap pribadi. Mereka ‘mendengar’ inner voice orang-orangnya, lalu menemukan link-nya dengan hasil pemetaan potensinya. Kemudian bersama-sama mendefinisikan posisi yang sesuai dengannya; sambil terus menjaga pemahaman bahwa posisi, bukanlah kata lain dari jabatan.
 
3.      Mulailah berfokus kepada pemberdayaan manusia, bukan sekedar menyelesaikan tugas. Entah berapa kali kita mengatakan tentang pentingnya SDM. “We need human!” begitu setiap pemimpin meneriakkan. Ironisnya, kita belum benar-benar mengelola mereka menggunakan prinsip-prinsip ‘human being’. Jadi, mana sebenarnya yang paling penting bagi kita; ‘manusianya’ atau terselesaikannya tugas-tugas harian kita? Para pemimpin yang berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik adalah orang-orang pilihan. Sehingga tahun depan perusahaan memberi mereka tugas dan pekerjaan yang lebih banyak lagi. Sedangkan para pemimpin yang berhasil mengembangkan ‘manusia-manusianya’ adalah orang-orang yang langka. Sehingga kepada mereka perusahaan memberikan tambahan tanggungjawab dan otoritas. Pekerjaan mereka lebih banyak? Tidak. Mengapa? Karena pekerjaan yang semakin hari semakin banyak itu, telah diserap oleh layer-layer yang ditempati oleh ‘manusia-manusia’ yang sudah berhasil diberdayakannya. Anda ingin menjadi pemimpin seperti yang mana?
 
4.      Latihlah seseorang untuk membangun ‘Will-nya’, bukan sekedar ‘Skill-nya’. Anda boleh bersikeras mengatakan bahwa segala penugasan yang Anda berikan selama ini baik-baik saja. Tetapi siapa yang berani menjamin bahwa orang-orang yang mendapatkan penugasan itu tidak menggerutu dibelakang Anda? Tapi kan kalaupun ada yang menggerutu, Anda bisa langsung memvonis mereka sebagai orang malas, haha. Padahal, sungguh sangat manusiawi jika hal itu dilakukan oleh seseorang yang tidak ingin mengerjakan sesuatu, namun tidak kuasa menolaknya. Zaman dahulu kala, seseorang yang dianggap mampu sudah cukup untuk mendapatkan pelimpahan pekerjaan. Di zaman ketika manusia dimanusiakan ternyata ‘skill’ saja tidaklah cukup, tanpa didukung oleh ‘will’. Silakan simak kembali dua situasi dalam point #1 diatas, lalu pikirkan;”Bagaimana membangun manusia beyond their skill by awakening their will?” Dengan pertanyaan dan komitmen yang bersungguh-sungguh, Anda akan menemukan caranya.
 
5.      Sadarilah bahwa mereka akan memimpin di zaman yang kita pun belum pernah mengalaminya. Sehebat apapun Anda dalam memimpin, tidak akan bisa menjadikan tampuk kepemimpinan itu langgeng. Ada saatnya dimana nanti kita akan digantikan oleh orang-orang muda. Bisa dibayangkan jika mereka yang menggantikan kita itu adalah orang-orang yang dicekoki untuk mewarisi cara dan gaya kepemimpinan kita. Padahal, zaman ketika mereka memimpin nanti bukanlah zaman yang sama dengan ketika kita hidup. Tidak perlu terlalu bangga memiliki murid yang setia dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang kita ajarkan kepada mereka. Mengapa? Karena bahkan kita pun tidak pernah mencicipi rasanya memimpin di zaman mereka. Maka seluruh argumen kita yang menyatakan bahwa metode kepemimpinan nostalgis kitalah yang terbukti handal; gugur dengan sendirinya. Mereka yang jiwanya dibentuk dengan gaya pembagian tugas dari Anda, mungkin akan tetap fanatik dan terus meniru Anda. Sedangkan mereka yang berhasil memimpin zamannya adalah manusia-manusia yang berhasil memberdayakan dirinya sendiri. Dan sebagai seorang pemimpin, Anda memiliki kesempatan untuk berkontribusi pada proses pemberdayaan diri mereka.
 
Dalam empowering, terdapat suatu proses peningkatkan kapasitas diri seseorang untuk membuat pilihan-pilihan dalam hidupnya; lalu mentransformasikan pilihan-pilihan itu menjadi tindakan-tindakan serta hasil-hasil yang diinginkan. Hari ini, saya menawarkan pilihan untuk menjadikan manusia sebagai subyek atau tetap menjadi objek yang bisa disuruh-suruh. Untuk mengembangkan skill atau sekaligus membangkitkan will. Untuk tetap setia kepada model-model kepemimpinan lama, atau moving to a higher level of leadership practices. The choices are on your hand. Why? Because, I am not trying to ask you doing things. I am actually providing you more choices to empower yourself, to empower your people. To make a better future for the world, in which we are going to leave.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman




Posted by Health Care , Published at 9:59 PM and have 0 comments

Tidak ada komentar :