Bunga Kehidupan sebuah blog membahas tentang pernik pernik kehidupan yang terfokus pada masalah pendidikan (The life flower one blog discussed about something that was interesting to the world of education)

Memahami Sisi Kesehatan dari Transgender

Memahami Sisi Kesehatan dari Transgender

Transgender tidak disebut sebagai gangguan mental jika tidak sampai menimbulkan depresi hingga ketidakmampuan melakukan kegiatan sehari-hari. Namun risiko kesehatan fisik tetap dapat mengintai.

Gender merujuk pada refleksi manusia terhadap dirinya sendiri, yang terbentuk dari konstruksi peran sosial, aktivitas, tingkah laku, dan lingkungan. Transgender adalah orang-orang yang merasa bahwa identitas gender ataupun orientasi seksualnya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya saat lahir. Kaum transgender ini dapat diidentifikasi menjadi banyak jenis seperti heteroseksual, homoseksual, biseksual, aseksual, dan sebagainya.

Transgender pada umumnya tidak dikategorikan sebagai gangguan mental. Namun ada kalanya kaum transgender lebih berisiko mengidap gangguan mental karena konflik dalam dirinya sendiri tentang identitas gendernya, juga tekanan sosial. Orang transgender dapat mengalami gangguan identitas gender/ gender identity disorder (GID) jika menjadi transgender membuatnya menjadi tertekan, depresi, atau menjadi tidak mampu beraktivitas sehari-hari seperti bekerja dan membangun hubungan dengan orang lain. Meski demikian, gangguan ini umumnya bersifat sementara dan dapat disembuhkan dengan terapi. Pada beberapa kasus, transisi gender menjadi salah satu solusi.

Meski sebagian besar transgender sebenarnya tidak sedang mencari cara untuk mengubah fisik mereka atau melakukan transisi gender dengan prosedur tertentu, namun ada juga sebagian yang menganggapnya sebagai solusi. Hal ini memungkinkan dilakukan dengan didahului serangkaian tes untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul. Berikut adalah cara yang mungkin ditempuh:

  • Terapi penggantian hormon untuk transgender pria berperan merangsang pertumbuhan  kumis dan ciri fisik maskulin lain mulai dari kulit, rambut, suara, hingga distribusi lemak. Sementara untuk transgender wanita, terapi penggantian hormon berperan untuk memunculkan payudara dan mengalokasikan distribusi lemak tubuh.
  • Elektrolisis atau penghilangan bulu dengan laser untuk wanita trans.
  • Operasi bagi wanita trans untuk mengubah suara, wajah, kulit, jakun, pinggul, payudara, pantat, dan organ kelamin. Sementara operasi untuk pria trans untuk mengubah tampilan dada, organ kelamin, mengangkat rahim (histerektomi), tuba falopi, dan ovarium.

Namun seperti semua prosedur medis, metode ini juga mengandung risiko kesehatan. Orang yang menjalani transisi memerlukan perawatan kesehatan secara khusus karena dapat berisiko menyebabkan pembengkakan, pembekuan darah, kadar gula dan tekanan darah tinggi ataupun rendah. Berikut beberapa risiko yang perlu diwaspadai:

  • Semua yang akan menjalani transisi perlu memeriksakan diri untuk mendeteksi jika terdapat sel kanker pada organ reproduksinya. Lebih khusus, pria yang akan menjalani transisi perlu melakukan tes darah untuk memastikan apakah kadar testosteron berada dalam batas aman.
  • Pemberian estrogen umumnya akan dihentikan jika si penerima mengalami gangguan jantung dengan gejala awal seperti sulit bernapas ataupun nyeri dada. Meski demikian beberapa orang tidak melaporkan gejala ini karena ingin terus mendapatkan hormon ini.
  • Kaum transgender yang mengonsumsi terlalu banyak minuman keras dan rokok berisiko membahayakan hati, paru, dan organ tubuh lain. Lebih jauh, minuman keras dan rokok menjadi lebih berisiko jika dipadukan dengan terapi hormon.
  • Pria trans yang tidak menjalani histerektomi atau pengangkatan rahim namun menjalani terapi hormon testosteron lebih berisiko mengalami kanker dinding rahim. Hal ini disebabkan androstenedion yang dibuat dari testosteron dalam tubuh dapat diubah menjadi estrogen yang kemudian justru menjadi faktor risiko kanker.

Di samping itu, metode lain pun mengandung risiko yang tidak kalah berbahaya. Beberapa kaum transgender wanita ingin terlihat lebih feminin dengan menyuntikkan silikon untuk membentuk bagian tubuh tertentu. Namun sebagian silikon ini tidak diperoleh dari tempat yang tepat sehingga berisiko mengakibatkan gangguan kesehatan di kemudian hari seperti perubahan bentuk wajah. Silikon yang disuntikkan dengan jarum suntik yang digunakan bersamaan juga berisiko mendatangkan penyakit seperti hepatitis hingga HIV.
Transgender dan Penyakit Kronis
HIV adalah risiko penyakit yang paling sering dikaitkan dengan transgender. Sebuah penelitian menemukan bahwa hampir 28% transgender wanita dinyatakan positif terinfeksi HIV. Sekitar 70% dari angka ini tidak mengetahui bahwa mereka mengidap penyakit tersebut.  Perilaku dan gaya hidup transgender  sering dianggap sebagai penyebab berkembangnya infeksi HIV di kalangan ini.

Berikut adalah kemungkinan faktor-faktor yang kurang mendukung terjaganya kesehatan para transgender:
  • Ketiadaan akses terhadap layanan kesehatan. The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menemukan bahwa pada 2010 lebih dari 50% dari kaum transgender ini tidak memiliki akses terhadap sarana kesehatan , antara lain karena stigma dan diskriminasi.
  • Belum banyak pusat layanan kesehatan mental yang memiliki pengetahuan dan kompetensi memadai untuk menangani transgender.
  • Peraturan atau norma yang membatasi penggunaan kondom sebagai pencegahan infeksi HIV.

Membuka akses informasi, pendidikan, dan kesehatan yang sama diharapkan dapat memberikan dukungan untuk kesehatan para transgender. Di sisi lain, pada akhirnya masih dibutuhkan banyak penelitian medis untuk memahami kesehatan transgender untuk kemudian merekomendasikan solusi yang tepat.

sumber:.alodokter.com



Posted by Health Care , Published at 4:15 PM and have 0 comments

Tidak ada komentar :