Bunga Kehidupan sebuah blog membahas tentang pernik pernik kehidupan yang terfokus pada masalah pendidikan (The life flower one blog discussed about something that was interesting to the world of education)

Visi: Apa yang Anda Lihat adalah Apa yang Anda Dapatkan

Visi: Apa yang Anda Lihat adalah Apa yang Anda Dapatkan

“Tak seorang pun yang menyalakan pelita lalu meletakkannya di kolong rumah atau di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk dapat melihat cahalanya. Matamu adalah pelita tubuhmu. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu. Karena itu, perhatikanlah supaya terang yang ada paadamu jangan menjadi kegelapan. Jika seluruh tubuhmu terang dan tidak ada bagian yang gelap, maka seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahayanya "


Ular di Halaman Depan Rumah Anda
Saya mengajak Anda untuk memutar film buatan sendiri pada layar bayangan Anda? Bayangkanlah, Anda pulang pada suatu malam yang gelap, dan dengan ketakutan Anda melihat ular yang panjang-nya 15 kaki ada di halaman depan rumah Anda. Jantung Anda mulai berdebar kencang, dan kelenjar adrenalin mulai memompa masuk ke aliran darah Anda. Dengan cepat Anda mengambil cangkul dan dalam kekalutan Anda memotong-motong ular itu. Setelah puas bahwa ular itu telah mati, Anda masuk ke rumah, dan berusaha menenangkan diri Anda dengan minum air hangat. Kemudian sambil berbaring di tempat tidur, bahkan dengan mata terpejam, Anda masih dapat membayangkan ular, yang ada di halaman depan itu.
Paginya, Anda kembali ke tempat di mana ular itu dibunuh masih dengan rasa takut, dan mendapati bahwa tidak ada ular di situ. Yang terpotong-potong hanyalah sebuah selang yang tertinggal di halaman. Selang itu adalah selang. Akan tetapi, tadi malam selang itu adalah seekor ular bagi Anda. Apa yang Anda lihat tadi malam adalah seekor ular, dan seluruh tindakan serta reaksi Anda mengikuti apa yang Anda lihat. Takut, kalut, memotong-motong, usaha untuk tenang kembali - semuanya mengikuti penglihatan tentang ular yang panjangnya 15 kaki itu.
Latihan imajinasi ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa semua tindakan emosional, perilaku, dan tanggapan-tanggapan kita mengikuti persepsi kita. Dalam drama ular itu, kita membicarakan persepsi-persepsi tentang visi yang dapat dilihat dengan mata, tentang visi yang ditangkap oleh indera mata. Akan tetapi, kita juga mempunyai suatu visi batin tentang kenyataan. Suatu cara yang personal dan unik yang dengannya masing-masing dari kita memandang realitas, suatu visi yang dilihat dengan mata budi. Kita memandang berbagai macam bagian kenyataan melalui mata budi kita, dan tidak ada dua orang yang memandang bagian-bagian realitas dengan cara yang benar-benar sama.
Anda mempunyai visi Anda. Saya mempunyai visi saya. Kenyataan yang penting adalah ini: kita bertindak dan bereaksi seturut apa yang kita lihat. Jika saya melihat ular yang panjangnya 15 kaki - meskipun kenyataannya adalah sebuah selang - kelenjar-kelenjar dan emosi, tangan dan kaki serta jantung saya yang berdetak cepat, semuanya bereaksi terhadap 'ular' yang saya lihat.
Dengan demikian, cara kita memandang sesuatu membentuk pengalaman yang kita miliki. Sebagai contoh, apabila saya melihat Anda datang kepada saya dan dalam pikiran saya Anda adalah seorang sahabat tercinta, perasaan hangat akan memenuhi diri saya, sebuah senyuman akan menghiasi wajah saya. Saya akan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Anda atau memeluk Anda. Akan tetapi, apabila saya melihat Anda datang kepada saya, dan saya menganggap Anda sebagai musuh yang bermaksud melukai atau merampok saya, maka reaksi tubuh, emosi, dan perilaku saya akan sebaliknya. Semua itu tergantung dari bagaimana saya melihat atau memandang Anda. Ada seorang filsuf Romawi kuno, Epictetus, yang hidup tidak lama setelah Tuhan kita. Saya tidak berpendapat bahwa orang maupun ajarannya amat populer, tetapi ia terus-menerus berkata kepada orang-orang: 'Bukan masalah-masalahmu yang mengganggumu, tetapi cara kamu memandang masalah itu. Semua bergantung pada caramu memandang sesuatu!' Mungkin Epictetus tidak pernah dipuja-puja karena mengulang-ulang ucapan ini, tetapi Anda tahu pikiran ia benar. Semuanya tergantung dari cara kita melihat atau memandang sesuatu. Memandang setengah gelas air, seorang yang haus dapat berteriak dengan penuh semangat, "Syukur, ada gelas setengah penuh!" Yang lain dapat melihat gelas air yang sama dan bergumam dengan nada lesu, "Wah, sayang, gelas itu setengah kosong!”
Mungkin kita semua mengenal pepatah ini, "Dua orang melihat ke luar jendela penjara. Yang seorang melihat lautan lumpur, yang lain melihat taburan bintang." Semuanya tergantung dari bagaimana kita memandang. Pada dasarnya, seluruh hidup kita terbentuk oleh persepsi kita, yakni cara kita memandang sesuatu.

Persepsi dan Sikap
Banyak hal yang terus-menerus kita lihat dengan cara yang sama. Dengan cukup cepat, persepsi yang diulang-ulang itu menjadi suatu kebiasaan. Sebagai contoh, seseorang tertentu mungkin selalu memandang uang sebagai sangat penting. Ia tidak pernah dapat melupakan hari ia kehilangan seratus ribu rupiah pada waktu sedang berjalan, atau pada waktu ia untuk pertama kalinya menerima upah. Kapan saja orang ini mendapat uang, memenangkan uang, menemukan uang, ia sangat gembira dan memuji diri. Tetapi bila membelanjakan uang atau kehilangan uang, ia merasa sangat terpukul. Cara memandang uang seperti ini, sesudah diulang-ulang banyak kali menjadi suatu kebiasaan. Orang yang bersangkutan mempunyai cara yang biasa dalam memandang realitas uang. Uang itu sangat penting dan terlihat sangat besar dalam visinya. Inilah yang saya sebut sebagai sikap. Hidup kita dibentuk dan diperintah oleh sikap-sikap kita.
Di dalam kepala Anda dan saya, terdapat beribu-ribu sikap. Kadangkala kita memikirkan sikap-sikap itu sebagai lensa pikiran, yang kita masing-masing gunakan untuk memandang realitas dengan cara kita sendiri. Lensa dapat memperkecil atau memperbesar, mewarnai, memperjelas atau menggelapkan realitas yang dilihat lewat lensa itu. Dan ada lensa yang berbeda untuk setiap bagian realitas yang berbeda. Beberapa dari kita memperbesar hal-hal tertentu dan memperkecil hal-hal yang lain; tak ada dua orang dari antara kita yang pernah melihat sesuatu dengan cara yang persis sama. Apa yang paling penting adalah bahwa tindakan dan reaksi kita ditentukan oleh sesuatu yang ada di dalam diri kita, oleh cara kita memandang realitas, oleh sikap-sikap kita.
Sikap-sikap kita sungguh merupakan lensa pikiran yang kita gunakan untuk memandang realitas. Akan tetapi, ada perbandingan lain yang membantu saya untuk lebih memahami kekuatan dari sikap-sikap itu. Saya membayangkan sikap-sikap kita sebagai para juri yang duduk di kursi juri dalam pikiran saya, yang tenang dan siap untuk menafsirkan semua bukti yang dibawa ke hadapan mereka. Sikap-sikap juri ini siap untuk menyatakan keputusan-keputusan dan menyarankan tindakan-tindakan dan reaksi-reaksi yang sesuai. Sebagai contoh, saya memandang ke dalam cermin dan melihat bahwa ada kerutan pada wajah atau rambut beruban. Bukti yang tidak dapat dielakkan, bahwa saya mulai tua. Bukti yang datang lewat indera saya, masuk ke dalam pikiran saya. Ada juri yang tepat dan ditunjuk dengan layak, bangkit, menilai bukti, membuat keputusan, dan menyarankan reaksi yang sesuai. Itulah sikap saya terhadap proses menjadi tua.
Barangkali sikap sebagai juri itu mengutip Robert Browning, "Tumbuh menjadi tua mengiringi diriku! Saat terbaik yang masih akan datang, akhir yang dituju oleh awal hidup. Akhir hidup ada karena ada permulaan. Waktu kita ada di tangan-Nya." ("Rabbi Ben Ezra"). Sikap Browning sendiri mengarahkan bahwa reaksi yang paling tepat adalah rasa puas, dan barangkali akan berakhir dalam sebuah senyum kemenangan yang berasal dari renungan bahwa "tua adalah saat-saat yang terbaik ...."
Atau sikap sebagai juri, dapat sangat berbeda. Saya dapat mengutip Dylan Thomas, "Jangan pergi dengan tenang ke malam yang bagus itu. Usia tua harus hangus dan lenyap pada akhir hari. Lawan, lawanlah kematian cahaya." ("Jangan pergi dengan tenang ke malam yang bagus itu"). Sikap seperti ini menafsirkan bukti dengan nada kasar dan marah, bahkan sampai menyarankan bahwa tanggapan yang tepat adalah frustrasi, kecewa, dan pemberontakan. "Bila saya mencapai punggung bukit, saya juga mencapai bukit! Dan itu harus terjadi selama 'angkatan Pepsi', pada waktu Anda diharapkan 'berpikir muda!" Jika yang ini sikap saya, lebih baik saya menjauhi cermin, sambil memikirkan dengan sedih tentang pengangkat wajah dan semir rambut.
Semua tergantung dari cara kita memandang proses ketuaan. Semua tergantung dari lensa yang saya gunakan untuk memandang proses ketuaan. Semuanya tergantung dari bagaimana sikap juri terhadap proses ketuaan dalam pikiran saya. Hal yang penting yang harus kita amati dan resapkan sampai sungguh-sungguh mencecap adalah bahwa sikap-sikap kita membentuk reaksi-reaksi emosional dan perilaku kita. Sikap-sikap kita mampu membuat pengalaman yang sama entah menyenangkan atau menyakitkan. Sikap-sikap dapat menciptakan dari pengalaman yang sama tantangan yang konstruktif untuk tumbuh maupun malapetaka yang distruktif.
Kesadaran yang utama dan penting adalah bahwa reaksi kita, apa pun bentuknya, tetapi oleh sesuatu yang ada di dalam diri kita. Reaksi kita ditentukan oleh sikap batin kita sendiri. Suatu reaksi dapat dirangsang oleh beribu-ribu hal, tetapi reaksi khusus kita ditentukan oleh cara kita memandang orang atau sesuatu atau situasi, yang merangsang reaksi dalam diri kita. Semuanya tergantung dari juri-juri dalam pengadilan pikiran kita, dari lensa pikiran kita. Sikap juri dalam pengadilan pikiran saya itu tanpa dapat kita hindari akan menafsirkan, mengadili, dan menyarankan reaksi yang tepat.
Maka bila saya bertanya-tanya tentang reaksi-reaksi emosional dan perilaku saya terhadap hidup dan peristiwa-peristiwa, saya harus menyelidiki sikap-sikap batin saya. Sangat sia-sialah mengadakan inventori atas sikap-sikap orang lain daripada sikap-sikap saya sendiri. Apabila saya lalu menyalahkan orang lain, saya tidak pernah belajar tentang diri saya sendiri. Sia-sialah untuk bertanya, apa yang terjadi padanya? Apabila ingin tumbuh, sebaliknya saya harus bertanya, bagaimana saya memandang hal ini? Saya harus menyadari bahwa sesuatu di dalam diri saya menjatuhkan keputusan, memerintahkan reaksi-reaksi saya, dan membuat pengalaman itu menumbuhkan atau membuat pahit.
Dari tempat saya berdiri sekarang, saya akan mengatakan bahwa inilah perbedaan mendasar antara orang yang tumbuh dan tidak tumbuh. Jika saya bersedia melihat reaksi-reaksi saya sebagai cerminan dari sikap-sikap batin saya, saya pasti tumbuh ke arah pengetahuan diri dan kematangan manusiawi. Tentunya, saya akan lebih menyalahkan reaksi negatif saya terhadap seseorang atau sesuatu. Mungkin saya bahkan menyalahkan letak bintang, "Bulan saya tidak pada tempat yang tepat! Tuhan tidak adil pada saya!" Tetapi jika saya menyerah pada godaan ini, saya akan menghambat pertumbuhan saya sebagai pribadi. "Yang salah, Brutus sayang, bukan bintang kita, melainkan diri kita ...." (Shakespeare, Yulius Caesar). Langkah awal dan penting ke arah kematangan manusiawi yang penuh adalah penerimaan yang jujur dan bijaksana bahwa saya bertindak dan bereaksi berdasarkan sesuatu di dalam diri saya: cara biasa saya memandang, orang-orang, hal-hal, situasisituasi. Semua reaksi saya merupakan akibat dari sikap-sikap batin
saya.


Posted by Health Care , Published at 10:25 AM and have 0 comments

Tidak ada komentar :