Dompet kulit merk Cartier saya keluarkan dari saku celana, saya katakan pada audien "Tanpa syarat apapun, jika anda mendapatkan hadiah Cuma-cuma sebesar Rp 100.000 tentunya akan mau" uang ratusan ribu merah bergambar ... saya keluarkan dari dompet."Siapa yang mau mendapatkan uang ini" semua audien mengangkat tangan tanda mengiyakan tawaran menarik dari saya."Kalau uang ini saya remas, apakah saudara masih mau menerimanya??" tanpa tedeng aling-aling dan tanpa rasa sungkan, audien yang tunjuk jari semakin banyak."Jika uang ini saya injak-injak ... masih mau saudara menerimanya" tak ada alasan untuk menolak tawaran ini.Tak seorangpun menolak tawaran yang saya berikan setiap kali saya menghadapi audien dalam suatu ceramah. Hanya orang-orang yang derajat kesadarannya rendah yang menolak pemberian ini atau mungkin gengsi untuk menerima uang gratisan tanpa tahu asal usulnya.Kenapa orang-orang ini tetap mau menerima uang seratus ribu yang saya remas kemudian saya injak-injak? Benar ... nilai uang tersebut tidak berubah tetap seratus ribu.Value of life/nilai hidup kita dimata Tuhan tidak pernah berubah, walau kadang kita dihina, diinjak-injak harga diri kita, dikucilkan, disakiti hati kita dll. Semua itu bagian dari hidup bersosial baik di masyarakat maupun di lingkungan sekolah. Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan menjadi ujung tombak pembentukan pribadi-pribadi tangguh secara intelektual, ini yang diinginkan setiap insan manusia Indonesia. Sekolah telah menjadi Lembaga yang sangat penting dalam perkembangan intelektual sebuah negara. Namun ironis setelah sekian puluh tahun mengenyam pendidikan dan menjadi pandai secara akademis, banyak saudara-saudara tua kita yang lupa akan nilai hidup yang sesungguhnya. Mereka tidak cukup pandai untuk mengolah hati nurani demi kepentingan Negaranya (Indonesia). Mungkin karena konsep diri positif mereka terganggu, ataukah Raticular Activating System (RAS) mereka tidak mampu memfilter hal-hal tak bermoral sehingga otak mamalia meneruskannya pada neo cortex bukan ke otak reptil. Harusnya sinyal amoral ini diteruskan ke otak reptil agar ada rasa takut dan lari dari tindakan tersebut.Peran penting Konsep diri positif dan RASKonsep diri positif adalah persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri, yang terbentuk melalui pengalaman hidup dan interaksi dengan lingkungannya dan mendapat pengaruh dari orang-orang yang dianggap penting. Orang yang dianggap penting dalam hidupnya sangat cepat mempengaruhi segala tindakan dan perilakunya. Perilaku ini merupakan Operating System mental seseorang. Konsep diri terdiri dari :Diri Ideal Ini merupakan gambaran ideal seseorang ingin menjadi seperti tokoh idolanya. Jika anda seorang guru atau orang tua, jadikan diri anda sebagai tokoh idola bagi putra-putri kita. Bisakah ... sanggupkah ... ? Dengan anda sebagai idola maka anda akan mudah mempengaruhi anak anda dalam segala hal. Jarang ada anak yang mengidolakan orang tuanya. Guru masih mempunyai kesempatan untuk menjadi idola bagi para muridnya. Kesempatan ini jika dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para guru untuk "menggarap" muridnya akan sangat efektif. Alih-alih menjadi idola, menjadi guru yang normatif saja kadang banyak yang tak sanggup.Citra DiriSiapa diri kita menurut kita demikian mungkin singkatnya untuk menjelaskan Citra Diri. Seorang guru matematika yang saya kenal dengan kecerdasannya yang sangat luar biasa telah melukai saya. Dia tidak hanya mempunyai kecerdasan Logis Matematis saja, interpersonalnya sungguh luar biasa. Dari tahun ke tahun setiap murid selalu memuji sekaligus segan, memuji karena ditangan dinginnya dia menciptakan murid-murid dengan nilai 10 di Ijazah. Ijazah bukan NEM (Nilai Ebtanas Murni), dimana nilai ijazah ini didapat dari komponen nilai ulangan harian dan nilai ulangan umum. Ulangan harian yang diberikan bukan sekedar ulangan biasa, syarat dengan analisis. Tak sedikit teman-teman yang harus mengakui "keajaiban" soal-soalnya.Suatu hari pokok bahasan itu masuk ke persamaan linear. Hari yang cerah itu mubazir jika dilewatkan begitu saja. Canda tawa dan sendau gurau menjadikan saya lupa diri bahwa didalam kelas kami sedang membahas bab baru yang buat sebagian anak cukup abstrak untuk dipahami. Gradien sebuah kata yang asing ditelinga kami tiba-tiba ditanyakan padaku saat kondisi kegembiraan pada puncaknya. Seketika saat itu juga raut muka saya berubah seolah-olah serius untuk menebus semua dosa pendidikan aku perbuat. Dengan mimik muka memelas berharap pertanyaan yang menyesakkan dada itu diestafetkan ke teman yang lain. Ternyata harapan itu sirna, sang Guru tak kunjung memberikan tongkat pertanyaan ke teman yang lain. Masih ada satu harapan, semoga ini adalah sesi pertanyaan lemparan seperti acara cerdas cermat di TVRI jaman tahun 80 an. Masih ada sebersit harapan untuk menenangkan diri dari kata-kata sakti sang Guru. Dengan geramnya, sang Guru melihat sinis sambil sedikit mengatakan "begini saja ngga bisa, lihat nanti hasil ulanganmu pasti jelek".Mendadak sontak kata-kata ini mengaduk-aduk emosi saya, tatapan merendahkan, ucapannya bagaikan ketukan palu hakim yang memutus hukuman mati terpidana pembunuhan berrantai (pembunuhan dengan menggunakan rantai :)). Ucapan ini tepat saat situasi emosional saya mencapai kondisi puncak, SAR terbuka dengan lebar di kondisi gelombang alfa. Keadaan fun ini menjadikan sepenggal informasi menusuk masuk ke memori jangka panjang yang secara tanpa sadar menjadi self talk saya pada saat itu. Setiap kali menjumpai soal gradien yang muncul adalah kata-kata "begini saja ngga bisa ...". Self talk adalah penilaian pada diri kita sendiri.Self talk yang tercipta dari proses pikiran bawah sadar akan sangat menentukan persepsi kita terhadap suatu masalah, benda atau apapun.Harga diriKecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pribadi yang mampu dan memiliki daya upaya dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup yang mendasar dan layak untuk hidup bahagia.Proses terinjak-injaknya harga diri anak sangatlah berpengaruh pada prestasi belajarnya. Dimana sekolah kita sangat diharapkan untuk dapat menciptakan manusia-manusia unggul. Perhatikan anak-anak kita saat kecil sebelum mengenal bangku sekolah. Mereka sangat berani dan sangat cepat belajar. Dalam kurun waktu 2 tahun mereka bisa dua bahasa (bahasa ibu dan bahasa Indonesia). Coba bayangkan betapa proses pembelajaran dirumah sangat-sangat kondusif. Saya membandingkan ini dengan pembelajaran di sekolah. Anak-anak diajar bahasa Inggris lebih dari 6 tahun, hasilnya !!! berapa persen dari mereka yang mampu berbahasa Inggris? Sekolah kadang sangat diktator dan merasa benar dalam proses mendidik anak-anak kita. Pola pendidikan disama ratakan satu anak dengan anak yang lain dan tidak ada penghargaan terhadap kecerdasan tiap-tiap individu. Rendahnya harga diri anak akan menyebabkan- Takut berbuat salah- Takut penolakan- Merasa tidak layak untuk sukses- Rasa-rasa lain yang negatif
Herihttp://www.blogger.com/profile/00674461239385886065noreply@blogger.com
Posted by
3:13 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar