SEIRING alunan adzan Subuh diketenangan pagi 1 Syawal, umat Islam di seluruh dunia menyambut Idul Fithri yang sekaligus menandai selesainya ibadah puasa Ramadhan. Bahkan semenjak ba’da Maghrib pada hari terakhir puasa kalimat takbir telah bergema bersahut-sahutan dari masjid ke masjid.
Idul Fithri adalah hari besar yang dimuliakan oleh Allah SWT sebagai salah satu lambang kebesaran agama yang diridhai-Nya. Allah berfirman, “Dia menghendaki agar anda menyempurnakan hari puasa yang telah ditentukan, dan bertakbirlah mengagungkan nama Allah atas petunjukNya, dan kiranya anda bersyukur.” (QS Al-Baqarah : 185).
Puasa Membentuk Pribadi Muslim
Setelah menjalani puasa (shaum) selama satu bulan (29 atau 30 hari) sebagai sarana penyucian jiwa dan pengendalian diri, diharapkan terbentuk pribadi muslim yang bertakwa sesuai dengan tujuan puasa dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 183. Puasa Ramadhan diharapkan bisa memperbaiki perilaku kita. Orang yang bertakwa pasti menjauhi kemaksiatan, kecurangan, dan dosa terhadap Allah maupun dosa kemanusiaan. Di samping itu orang yang takwa adalah mempunyai pendirian atau istiqamah memegang prinsip, berani menyatakan kebenaran pada siapa dan di mana pun dia berada, karena tempat dia takut hanyalah pada Tuhan.
Seorang yang ikhlas menjalankan kewajiban puasa semestinya akan selalu memelihara kesucian diri yang telah diraihnya dengan perjuangan berat itu. Dia tidak mau meruntuhkan nilai-nilai puasa dengan perilaku di luar Ramadhan yang bertentangan dengan agama. Pengalaman berpuasa yang dirangkaikan dengan kewajiban mengeluarkan zakat fithrah menjelang Idul Fithri, juga diharapkan menumbuhkan semangat solidaritas sosial yang amat diperlukan untuk membangun masyarakat, umat, bangsa dan bahkan dunia.
Kehidupan masyarakat dunia dewasa ini diliputi problema kemiskinan dan kesenjangan sosial yang amat mencolok. Menurut data yang dikeluarkan oleh PBB, 25.000 orang meninggal dunia setiap hari karena kelaparan dan kemiskinan. Solidaritas yang diajarkan Islam merupakan modal sosial yang efektif dan praktis untuk menimbun jurang yang memisahkan antara golongan kaya dan berpunya (the have) dengan golongan miskin dan tidak berpunya (the have not) yang dalam sejarah dunia selalu menjadi salah satu sumber pertentangan bahkan peperangan.
Untuk itu meski Ramadhan telah berlalu, akan tetapi nilai-nilai ibadah puasa sebagai pendidikan (tarbiyah) Ilahi kepada hamba-Nya harus terpatri dan memberi dalam kehidupan sehari-hari. Dewasa ini kita merasakan kuatnya arus kehidupan yang mengutamakan materi. Masing-masing orang sibuk mengejar kekayaan dan kedudukan. Manusia tidak lagi dihargai karena ketinggian akhlak, kedalaman ilmu dan keluhuran budi pekertinya, tapi dari kekayaan, jabatan dan keturunannya. Pengaruh materialisme yang mengepung kita dari segenap penjuru hanya dapat ditanggulangi dengan keteguhan iman yang terbentuk melalui pendidikan puasa.
Rekonstruksi Mental dan Revitalisasi Moral
Dengan semangat Idul Fithri sebagai rekonstruksi mental dan revitalisasi moral, marilah kita kembali kepada kesucian asal kita, kesucian fithrah yang hanif, yang dengan tulus mencari dan mengikuti kebaikan dan kebenaran. Mari tanamkan takwa dalam diri kita, yang berarti menyadari kehadiran Allah SWT dan pengawasan-Nya dalam segala kegiatan kita. Mari kita lawan godaan setan yang selalu mendorong nafsu serakah dan ketidak-pedulian terhadap sesama.
Berkenaan dengan Idul Fitri ini ada sebuah riwayat dari Rasulullah SAW sarat dengan pesan moral agar kita tidak menjadi orang yang lupa daratan dan lupa lingkungan ketika berhari raya; “Pemimpin Iblis berteriak-teriak setiap datangnya Hari Raya Idul Fithri. Berkumpullah anak buahnya. Mereka bertanya; Apakah yang menyebabkan Anda marah besar pada hari ini? Pemimpin Iblis itu berkata; Pada hari ini Tuhan telah memberi ampunan kepada orang-orang beriman yang selesai menjalankan ibadah puasa dengan sempurna. Maka kalian harus menggoda mereka agar tenggelam dengan hura-hura dan kembali memperturutkan hawa nafsunya sampai Tuhan murka kepada mereka!”
Sejenak kita memandang potret kehidupan sekitar yang didera berbagai bencana dan kepribatinan sosial. Bencana mulai dari krisis akhlak yang hampir sempurna kerusakannya, kemiskinan yang setiap hari bertambah, pengangguran yang meluas, hingga makin langkanya sifat amanah dan kejujuran di semua lapisan masyarakat.
Di tengah situasi tersebut di atas Idul Fithri datang untuk mengingatkan umat Islam dan dunia seluruhnya kepada moralitas kehidupan yang harus ditegak-hormati, dan pilar-pilar kedamaian, kesucian serta kasih sayang yang harus ditumbuh-kembangkan di dalam masyarakat Islam dan dunia seluruhnya.
Islam mengajarkan kepada umat manusia prinsip bahwa semua umat manusia dinaungi oleh persaudaraan kemanusiaan yang universal. Persaudaraan kemanusiaan itu harus menumbuhkan sikap saling mengenal (ta’aruf), menghormati serta melindungi satu sama lain. Persaudaraan kosmopolitan tersebut mengharuskan umat manusia di mana pun harus hidup saling membantu terutama di saat yang lain menderita atau ditimpa bencana tanpa memandang perbedaan etnis maupun agama. Kewajiban membantu sesama yang menderita atau ditimpa bencana harus tetap menghormati keyakinan dan identitas agama mereka yang dibantu, dan bukan sebaliknya.
Puncak Kegembiraan
Idul Fithri adalah hari raya yang mempertemukan umat manusia dalam suasana silaturrahim. Allah memberikan kesempatan yang luas kepada manusia untuk menumpahkan rasa gembira dan syukur pada hari raya ini.
Bagi bangsa Indonesia momentum Lebaran Idul Fitri telah membentuk tradisi pulang ke kampung halaman atau mudik yang dilakukan oleh para perantau yang meninggalkan kampung halamannya untuk merubah nasib di kota. Para pakar menyimpulkan seperti dikutip NEWSWEEK, edisi 7 Mei 2007, yang menulis bahwa kebahagiaan sejati didapat ketika manusia bertemu sanak saudara, handai-taulan dan kerabat. Itu yang paling puncak. Dengan demikian pulang mudik adalah puncak kegembiraan manusia atau the joy of happinesess.
Sebagai muslim seharusnya kita menjalankan Islam secara kaffah (utuh dan menyeluruh). Kata almarhum Buya Hamka, “Islam bukanlah semata-mata hubungan dengan Allah, tetapi juga hubungan dengan masyarakat. Bukan semata-mata ibadat, tetapi mencakup juga bernegara dan bermasyarakat.” Untuk itu para orang tua berkewajiban mewariskan nilai-nilai Islam pada anak dan generasi penerus, sehingga Islam membentuk sikap dan pandangan hidup mereka. Janganlah menganggap keberagamaan kita telah sempurna hanya dengan menjalankan ibadah ritual, sedang pada sisi lain kita mengabaikan makna substantif ibadah yang sarat dengan pesan moral.
Untuk menjadi seorang muslim yang baik (muslim yang mengamalkan Islam secara kaffah) tidak cukup hanya dengan kesalehan individual dalam arti hanya menunaikan ibadah mahdah (ibadah formal) yang telah disyariatkan. Tetapi setiap muslim diperintahkan agar menunaikan kewajiban kepada sesama manusia dengan jalan berbuat baik (ihsan).
Rasulullah SAW bersabda; “Manusia yang paling dicintai Allah ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. Amal yang paling utama ialah memasukkan rasa bahagia ke dalam hati orang yang beriman, melepaskannya dari rasa lapar, membebaskannya dari kesulitan, dan membayarkan utang-utangnya.” (H.R. Ibnu Hajar al-Asqalani).
Marilah kita lestarikan hikmah puasa Ramadhan yang baru saja kita jalani dengan memperbaiki sikap, perilaku dan gaya hidup (life style) dengan menyadari jatidiri sebagai muslim. Hal demikian perlu terus dilakukan sampai bertemu lagi dengan Ramadhan yang akan datang. Insya Allah.
Semoga kita masih diberikan umur panjang dan kesempatan oleh Allah SWT untuk berjumpa kembali dengan bulan suci Ramadhan yang akan datang. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Walillahil-hamd.
Posted by
11:58 AM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar