January 20, 2009 · Filed under My Opinions
Hanya diare plus darah yang harus diobati.
Boleh dibilang hampir semua orang pernah merasakan derita akibat buang air besar berkali-kali alias diare. Biasanya, yang terpikir dalam benak setiap orang adalah obat untuk memampatkannya alias yang beraksi stop diare. Solusi seperti itu diperkuat oleh tayangan komersial yang menyarankan untuk menghentikan gejala tersebut dengan cara menelan obat pemampat. Pada orang dewasa, kondisi ini sudah bisa membuat orang menderita, apalagi pada anak-anak. Lazimnya, jalan keluarnya pun sama.
Saat ini, ada sederet obat diare untuk anak yang kerap diberikan kepada para bocah. Sebut saja kaolin, smectite (Smecta), LactoB, atau obat jamur dan antibiotik. Bertolak belakang dengan saran iklan di layer televisi, obat stop diare justru tidak diperlukan. Dr Zakiudin Munasi, SpA(K) menyebutkan diare adalah reaksi alami ketika ada “benda asing” yang masuk ke tubuh. Ia menjelaskan, ketika ada racun menerobos ke dalam tubuh, otomatis ada respons dari tubuh. Nah, aksi yang muncul adalah mengeluarkan racun tersebut dengan cara buang air besar. Sering kali harus berkali-kali.
Spesialis anak dari Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ini menjelaskan bahwa hal tersebut natural dan tak perlu distop dengan obat-obatan. “Dengan menelan obat pemampat, racunnya berarti tak keluar alias mengendap dalam tubuh,” ia menuturkan beberapa waktu lalu dalam peluncuran sebuah produk susu untuk anak. Hal senada juga dilontarkan oleh spesialis anak lain, dr Purnamawati Sujud Pujiarto, dalam kesempatan terpisah. Dokter Wati, demikian biasa ia disapa, menyatakan bahkan dalam SOP, diare dengan atau tanpa muntah hanyalah gejala, bukan penyakit. Karena itu, yang terpenting adalah mencari penyebabnya.
Wati menyebutkan penyebab utama diare adalah infeksi virus, maka obatnya adalah cairan rehidrasi oral (oralit) dan air susu ibu (ASI) untuk mencegah dehidrasi. Orang, terutama yang tinggal di kota-kota besar, saat ini sudah menganggap remeh peran oralit. Dianggapnya sebagai obat kampung. Padahal, di dunia medis, jelas-jelas bahwa diare akan sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari. “Tidak ada obat yang diperlukan selain cairan dehidrasi oral,” Wati menegaskan.
Walhasil, Wati menyebutkan, ketika terserang diare, konsultasi ke dokter pun tak perlu berakhir dengan secarik kertas resep, apalagi dengan catatan nan panjang. “Pemberian obat-obat tersebut tidak ada SOP tata laksana diare dan muntah, juga tidak ada evidence-nya,” ia menegaskan. Ia pun menjelaskan satu per satu obat yang disebut sebagai “penyembuh” diare itu. Misal, kaolin. Dalam informasi di situs Badan Kesehatan Dunia (WHO), tidak ditemukan soal obat ini. “Obat ini memang tidak dipakai di negeri lain,” ujarnya.
Bahkan, Wati menyebutkan produsen obat ini menyatakan dengan jelas bahwa obat ini justru tidak boleh diberikan pada infeksi E coli, salmonella, shigella, juga diare plus darah serta bila ada kecurigaan obstruksi usus dan berbagai kasus bedah lain. Ia mengingatkan, kaolin dapat menimbulkan efek samping yang disebut toxic megacolon, yakni terkumpul dan terperangkapnya tinja di usus besar sehingga racun-racun yang seharusnya dikeluarkan tubuh akan meracuni tubuh. “Selain itu, ada warning untuk tidak memberikan Kaopectate karena ada kandung aspirin di dalamnya,” ujarnya.
Diare pada orang normal tidak memerlukan antijamur. “Obat antijamur justru dapat menimbulkan gangguan pencernaan karena obat tersebut membunuh jamur ‘baik’ yang ada dalam usus kita,” kata Wati. Perlukah antibiotik? Ia menyebutkan hanya diare akibat parasit yang umumnya ditandai darah dalam tinja yang perlu antibiotik. Memang hanya jenis diare plus darah ini yang harus dikonsultasikan dengan dokter. Namun, bila disebabkan kuman tidak perlu obat jenis itu karena pemberian antibiotik akan mengganggu flora normal di usus hingga memicu gangguan pencernaan termasuk diare berkepanjangan.
Wati memaparkan bahwa antibiotik juga menyebabkan kolitis pseudomembranosa, yaitu suatu kondisi ketika usus besar dilapisi selaput akibat banyaknya kuman–yang aslinya bukan kuman jahat–sehingga proses penyerapan air di usus besar terganggu dan terjadilah diare berkepanjangan.
Bila balita mengalami diare plus muntah, dokter pun sering meresepkan antimuntah. Wati menjelaskan, muntah ada dua jenis, yakni karena kelainan usus yang memerlukan pembedahan dan muntah karena infeksi. “Sebagian besar muntah pada bayi dan anak disebabkan oleh virus gastroenteritis,” ujarnya. Walhasil pemberian obat muntah sangat melawan proses fisiologis tubuh untuk membuang racun. Pada kasus muntah yang perlu tindakan bedah pun, pemberian antimuntah bisa menyesatkan. “Belum lagi antimuntah juga menimbulkan efek samping,” Wati mewanti-wanti. RITA NARISWARI
Sumber : Koran Tempo
Posted by
7:37 AM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar