Agar dapat memahami makna memaafkan, kita perlu merenungkan situasi hidup tanpa permaafan. Hidup tanpa permaafan melanggengkan derita psikis yang berawal dari sikap permusuhan dan keinginan mengalahkan. Biasanya sikap dan keinginan ini (tanpa disadari) berlatar belakang amarah, suatu emosi yang menghabiskan energi mental dan melanggengkan stres.
Kita terpenjara dalam keinginan berbalas dendam. Dengan dendam sebagai motif psikis, kita menginginkan si bersalah menderita. Dendam, tulis John Monbourquette (2000) dalam How to Forgive, merupakan keadilan instinktual yang mencuat dari alam bawah sadar. Derita menghendaki derita atas nama keadilan instinktual. Akibatnya, kita terikat rantai derita, berbalut kekerasan yang tiada putus. Rantai derita mesti diputus oleh sikap memaafkan.
Permaafan menyesatkan
Madame Swetchine (penulis Rusia, 1782-1857) mengingatkan, ”Sangat jarang kita memaafkan dan sangat sering kita melupakan.” Ya, kita sering menyalahmaknakan memaafkan dengan melupakan.
Juga tak jarang kita menerapkan mekanisme pertahanan yang disebut denial alias mengingkari kesalahan yang dilakukan. Kita bertindak seakan tidak pernah ada kesalahan dan tidak menderita akibat kesalahan itu.
Ada pula orang yang menyamakan permaafan sebagai kehendak baik untuk menyelesaikan konflik, sekali dan selamanya. Memaafkan tidak berbeda dari memetieskan permasalahan.
Sering orang menganjurkan permaafan sebagai keharusan moral. Tindakan memaafkan bukan lagi merupakan bagian mekanisme psikis alamiah, tetapi ”perintah” atas nama Ilahi.
Lagi, orang menyalahartikan memaafkan dengan mengesampingkan hak-hak kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai unit sosial. Memaafkan bukan mengabaikan rasa keadilan begitu saja. Kita tergoda untuk memaafkan dengan membebaskan si bersalah dari tanggung jawabnya.
Melibatkan totalitas kedirian
Memaafkan merupakan proses panjang, menyakitkan sekaligus membebaskan. Karena itu, ia melibatkan totalitas kedirian kita sebagai manusia. Ia harus mulai dari keputusan untuk tidak berbalas dendam. Dari sudut keadilan instinktual, keputusan psikis ini sungguh menyakitkan.
Setelah berkeputusan demikian, kita berusaha menelusuk masuk relung kalbu sendiri. Kita bersadar diri dan menemukan berbagai kelemahan sendiri seperti rasa malu, kecenderungan agresif, keinginan berbalas dendam, rasa tertelantar, dan keinginan untuk melupakan begitu saja. Sungguh menyakitkan karena pemeriksaan batin menyadarkan kita bahwa ternyata kita tidak jauh berbeda dari orang yang bersalah pada kita.
Jika kita terpengaruh berbagai kelemahan itu, kita terjebak pada cara pandang picik yang menjadikan kesalahan si bersalah bagai bencana. Itulah yang disebut catastrophizing, tulis Aaron Beck (1999) dalam Prisoners of Hate: The Cognitive Basis of Anger, Hostility, and Violence.
Jadi, menyadari kelemahan sendiri, kita melangkah ke proses reframing, meletakkan kesalahan itu ke dalam konteks yang lebih luas dan memandangnya dengan kacamata lebih bening alias adaptif. Proses tidak berhenti di situ. Kita berusaha menyadari martabat orang yang bersalah. Betapapun bersalahnya orang itu, dia pun mampu berubah dan menjadi baik.
Memang proses ini mengandaikan kita siap akan risiko bahwa ia kemungkinan mengulangi kesalahannya. Tetapi, begitulah permaafan otentik dan tulus. Kata Jacques-Marie Pohier dalam John Monbourquette (2000): ”Karena itu memaafkan itu sulit karena kita takut akan risikonya.”
Langkah-langkah memaafkan
Dalam Putting Forgiveness into Practice, Doris Donneley (1982) menjabarkan langkah-langkah memaafkan sebagai berikut: mengenali luka batin kita, memutuskan untuk memaafkan, menyadari kesulitan dalam memberi maaf, dan menyadari dampak negatif dari ketiadaan permaafan.
Sementara David Norris (1984) dalam Forgiving from the Heart mengusulkan lima langkah: memperteguh niat memaafkan, secara akurat memeriksa kembali pelanggaran (kesalahan) orang yang akan dimaafkan, memaknakan kembali luka batin akibat kesalahan, membina kembali relasi yang terputus, dan mengintegrasikan kembali berbagai retak psikis yang dialami akibat luka batin. (Adapted from “OPINI” KOMPAS, January 21, 2008. An article by Felix Lengkong, Lecture on Guidance and Counseling Study Program, Atma Jaya Catholic University of Indonesia)
Posted by
10:22 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar