Bunga Kehidupan sebuah blog membahas tentang pernik pernik kehidupan yang terfokus pada masalah pendidikan (The life flower one blog discussed about something that was interesting to the world of education)

KALIMAT TANPA TITIK

KALIMAT TANPA TITIK

Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Pernah mendengar kalimat itu? Pasti itu tidak asing untuk kita. Kalimat itu ingin menyampaikan arti bahwa kebaikan yang besar akan tidak bernilai dan menjadi rusak ketika seseorang melakukan satu kesalahan saja, sengaja maupun tidak. Begitu besarkah arti sebuah titik hingga ia sungguh berpengaruh bagi apa-apa saja yang ada dalam suatu tatanan yang besar? Artikel ini ingin membahas sedikit banyak tentang makna titik dalam kehidupan manusia. Untuk lebih menyempitkan dan untuk menghindari kecenderungan generalisasi, saya menyempitkan makna dan peran titik itu bagi diri saya sendiri. Jadi artikel ini tak lain adalah sharing pribadi penghayatan atas titik. Artikel singkat ini juga merupakan sebuah persembahan untuk seorang teman di kota lain, yang meminta saya untuk menulis sebuah artikel tentang titik.

Titik dalam Sebuah Kalimat
Pernah saya membayangkan bagaimana jadinya sebuah novel tanpa tanda baca titik. Jika Novel Tanpa Huruf R itu sudah ada, tak hanya dibayangkan, malahan sudah jadi judul film. Jangankan sebuah novel, sebuah paragraf tanpa titik pun akan menjadi kalimat yang tak bermakna apapun. Sulit Dimengerti. Bukannya ingin menjelaskan sesuatu tetapi malah membuat bingung pembacanya. Pernah dalam suatu kesempatan saya menemukan sebuah buku berbahasa Inggris yang satu paragraph panjang hanya berisi satu kalimat. Berarti dalam paragraph itu hanya ada satu titik. Tapi toh meskipun satu titik tetap paragraph itu memakai tanda titik. Tanpa titik kita tak bisa menyebut sebuah paragraph itu adalah paragraph, karena paragraph itu sendiri harus memiliki akhir dan peran akhir itu diambil oleh titik. Jadi sebenarnya titik dalam sebuah kalimat memiliki arti sebagai penanda bahwa kalimat telah selesai menyampaikan maksudnya. Sebuah kalimat memerlukan sebuah titik untuk mencapai kepenuhan maknanya.

Titik sebagai Ekspresi
Sering sekali saya menggunakan titik untuk mengungkapkan ekspresi, terutama dalam bahasa tulis. Sedikit banyak titik yang digunakan secara rangkap dua atau lebih cukup mewakili untuk mengungkapkan kebingungan, tarikan nafas, menyatakan berfikir, jumlah yang banyak, kekesalan, dan lain sebagainya. Titik itu cukup membantu saya mengungkapkan ekspresi yang seharusnya diperankan oleh anggota tubuh saya, wajah, tangan, kaki, dan lain sebagainya. Pernah ada seseorang yang menulis pesan kepada saya hanya menggunakan tiga buah titik “…” tapi anehnya saya mengerti apa yang ia sampaikan. Ternyata kekuatan titik dalam sebuah kalimat. Baik digunakan sendiri maupun bersama-sama dengan titik yang lain memiliki kekuatan yang hebat. Sebagai penyampai pesan yang tak kalah powerful bagi target.

Titik dalam Hidup
Dari pembahasan singkat tentang titik itu saya berani menarik kesimpulan luas tentang peran titik dalam hidup dan analogi titik dalam kehidupan. Titik sebagai kalimat memiliki peran sebagai penanda bahwa kalimat telah selesai menyampaikan artinya. Entah kalimat itu dimengerti atau tidak, yang jelas kalimat setidaknya sudah puas mewartakan dirinya. “Cukup sudah…” kira-kira kalau titik bisa bicara dia bilang begitu. Sebenarnya titik mengajarkan kehidupan bagi kita manusia. Kita sebagai manusia, sebagai rangkaian kata-kata (jadi teringat kutipan sebuah buku yang mengatakan, “pada mulanya adalah firman”, untuk menyampaikan makna bahwa sebelum mengejawantah seseorang itu adalah kumpulan kata-kata yang disampaikan) akan menjadi berarti ketika kita memiliki titik. Apakah titik itu? Khotbah Pastor Simon Lili Tjahjadi Pr pada suatu misa pagi membuat saya tersadar bahwa titik itu ternyata adalah spiritualitas cukup yang harus dihayati oleh manusia. Memang pada dasarnya manusia mengejar kesempurnaan, tetapi manusia juga harus sadar bahwa mengejar kesempurnaan adalah kesia-siaan belaka, Kesempurnaan cuma Tuhan yang punya. Spiritualitas cukup yang dimaksud misalnya, saya sebagai anak asrama harus cukup makan, cukup belajar, cukup tidur, cukup olah raga, cukup bergaul, cukup berdoa. Memang itu adalah ideal yang sulit dicapai, tapi dengan spiritualitas cukup seseorang menjadi pribadi yang seimbang.
Secara lebih luas sebagai manusia, seorang manusia harus bisa berkata “sudah cukup bagi saya untuk…” titik-titik itu bisa diisi dengan berbagai hal yang sedang diperjuangkan. Misalnya: mengejar harta, berfoya-foya, bermain-main, makan, bekerja, tidur, belajar, belajar ilmu gaib, dan lain sebagainya. Standard kecukupan itu yang hanya bisa dirasakan oleh masing-masing orang. Standard itu pula yang dibutuhkan manusia untuk menyatakan cukup pada dirinya. Masalahnya sekarang adalah sering kali terjadi orang tidak tahu sampai mana ia harus berkata cukup. “aku bingung dengan diriku sendiri, aku selalu merasa kurang dengan apa yang aku miliki” demikian sebuah sinetron pernah meluncurkan sebuah dialognya. Pertanyaan yang bisa kita refleksikan bersama adalah sampai mana batas titik itu aku hayati dalam diriku? Kalau saya ditanya, sampai mana standar kecukupan mu? Saya akan menjawab samapai saya merasa tidak lagi nyaman dengan apa yang saya kejar. Ya, standar saya baru sampai batas nyaman dan tidak nyaman, sebuah standar yang dalam perkembangan hidup spiritual/hidup rohani baru sampai pada tahap “anak-anak-remaja”.

Timbul pertanyaan kritis juga tentang kata cukup ini. Jika seseorang terus merasa cukup sampai kapan manusia bisa maju, kata cukup justru memberikan halangan bagi manusia untuk maju. Wow… itu sanggahan yang salah alamat tampaknya. Kata cukup itu justru tak membuat orang mengalami kebuntuan dalam berkembang. Justru kata cukup itu memberikan perkembangan yang tak terduga. Seseorang menjadi lebih mampu mengendalikan diri. Semakin realistis terhadap dirinya sendiri. Dengan kata cukup ia pun dapat mengatakan pada diri sendiri “cukup bagi saya untuk kegagalan, saya harus berhasil” maka dari sana terciptalah bola lampu hasil kerja keras Thomas Alfa Edisson. Setelah 1000 kali percobaan gagal ia berani mengatakan cukup untuk kegagalan.

Lalu bagaimana saya, kita...

Pada hal apa kita berani mengatakan cukup? Ataukah kita hanya seorang pengecut yang menunggu kehancuran diri dengan tidak berani mengatakan cukup pada diri sendiri? Tidakkah manusia tanpa “kecukupan” hanya seperti sebuah kalimat tanpa titik, tanpa makna?

Emanuel Triadmojo Suryokusumo
Untuk seseorang di sana…



Posted by Health Care , Published at 3:27 PM and have 0 comments

Tidak ada komentar :