Oleh Drs Ma’ruf MPd
Konsultan pendidikan, aktif membantu guru dalam membuat desain penelitian tindakan kelas.
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sistem pendidikan nasional kita, eksistensi guru sangat penting. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini di jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Pasal 1 ayat 1 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Guru merupakan sebutan dari istilah pendidik yang memegang peranan penting dalam pendidikan. Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian sebagai guru.
Profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. Berdasarkan prinsip ini, maka agar guru mampu menyandang predikat sebagai seorang professional Ia harus selalu mengembangkan diri agar profesionalismenya mampu menjawab permasalahan-permasalahan pendidikan yang setiap saat terus berubah karena tuntutan masyarakat dan perubahan global.
Hingga kini persoalan guru belum pemah terselesaikan secara tuntas. Persoalan guru di Indonesia terkait dengan masalah-masalah kualifikasi yang rendah, pembinaan yang terpusat, perlindungan profesi yang belum memadai dan persebarannya yang tidak merata sehingga menyebabkan kekurangan guru di beberapa lokasi (Purwanto, 2002). Segala persoalan guru tersebut timbul oleh karena adanya berbagai sebab dan masing-masing saling mempengaruhi. Pada penulisan ini difokuskan pada masalah rendahnya profesionalisme guru.
Tidak berlebihan jika profesionalisme guru saat ini dinilai masih memprihatinkan. Kiranya data lebih 10 tahun lalu sebagaimana dilaporkan Bahrul Hayat dan Umar (Adiningsih: 2002) yang mengemukakan nilai rerata nasional tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval 0-100 masih dapat untuk menggambarkan kualitas calon guru saat ini, artinya mereka hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya dikuasai. Hal serupa juga terjadi pada bidang studi fisika (27,35%), biologi (44,96%), kimia (43,55%), dan bahasa Inggris (37,57%). Nilai-nilai di atas tentu jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik.
Temuan lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu Pendidikan (2000) yang memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya.
Paparan di atas menggambarkan sekilas kualitas guru di Indonesia, bagimana dapat dikatakan profesional jika penguasaan materi matapelajaran yang diajarkannya masih kurang, dan bagaimana dikatakan profesional jika masih ada 33% guru yang mengajar di luar bidang keahliannya. “Professionals are specialists and experts inside their fields; their expertise is not intended to be necessarily transferable to other areas, consequently they claim no especial wisdom or sagacity outside their specialties” (Geist, 2002). Profesional adalah seorang spesialis dan ahli di bidangnya; keahlian mereka tidak dimaksudkan untuk digunakan pada bidang lainnya, mereka menilai dirinya tidak memiliki kecerdikan khusus di luar spesialis mereka sebagai guru.
Rendahnya profesionalisme guru juga tercermin pada fenomena kinerja guru dalam pengelolaan program pembelajarannya sesehari. Kita amati misalnya dalam menyusun program pembelajaran guru kebanyakan tidak menyusun sendiri, melainkan tinggal menggunakan karya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Bagaimana kreativitas guru dapat berkembang dalam menyusun program pembelajaran jika program tinggal menggunakan yang sudah jadi. Dalam melaksanakan prosedur pembelajaran pun kebanyakan guru tidak mengacu pada rencana pembelajaran yang mereka miliki, penggunaan metode dan media pembelajaran kebanyakan masih tradisional dan kurang inovatif. Dalam menyusun dan melaksanakan evaluasi hasil pembelajaran pun juga kebanyakan guru tidak menyusun instrumen tes sendiri, melainkan tinggal menggunakan instrumen produk MGMP. Penggunaan media komputer dan internet dalam pembelajaran masih jarang dilakukan. Riset aksi untuk mengembangkan profesinya dalam mengelola pembelajaran jarang sekali dilakukan. Kiranya masih banyak fenomena lain yang mencerminkan masih rendahnya profesionalisme guru.
Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, di antaranya faktor eksternal berupa penghargaan atas prestasi guru yang masih kurang (Raka Joni, 1998). Di samping itu lingkungan eksternal guru, khususnya sekolah dan Dinas Pendidikan setempat masih belum memberdayakan guru secara maksimal, tuntutan administratif lebih diutamakan ketimbang pembinaan profesionalisme guru.
Teramat penting faktor internal guru, yakni kemauan untuk menjadi seorang professional yang masih kurang. kemalasan berinovasi, kemalasan mengembangkan diri melalui autodidact dan riset aksi, serta rendahnya kompetisi berprestasi semuanya itu menjadi sumber internal rendahnya profesionalisme guru. Kebijakan sertifikasi yang memberikan peluang kepada guru untuk diakui sebagai tenaga profesional melalui uji sertifikasi masih direspon keliru oleh guru. Guru lebih tertarik mengakumulasi bukti sertifikat berbagai diklat peningkatan profesionalisme guru yang pernah mereka ikuti guna mendongkrak nilai portofolio mereka daripada menguasai materi diklatnya. Untuk itu berikut diajukan beberapa alternatif upaya meningkatkan profesionalisme guru untuk meningkatkan mutu pendidikan di Negara kita yang hingga kini masih memprihatinkan dibandingkan dengan negera-negara lain di Asia.
B. Rumusan Masalah
Penulisan ini difokuskan pada pertanyaan “siapa sebenarnya guru profesional itu dan bagaimana menjadi guru profesional?”
C. Pembahasan
1. Profil Guru Profesional
Guru merupakan salah satu komponen pendidikan di sekolah yang memiliki peran penting dan strategis. Dikatakan demikian sebab guru tidak hanya mengajar dan mendidik saja, namun sesungguhnya meliputi : (1) guru sebagai pengajar (teacher as instructor); (2) guru sebagai pembimbing (teacher as counsellor); (3) guru sebagai ilmuwan (teacher as scientist); (4) guru sebagai pribadi (teacher as person); (5) guru sebagai penghubung (teacher as communicator); (6) guru sebagai pembaharu (inovator); dan (7) guru sebagai pembangun (teacher as constructor (Adams dan Dickey dalam Hamalik, 2003). Peran guru tersebut menuntut sejumlah kompetensi. Oleh karena itu profesionalisme guru dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut menurut Purwanto (2002) meliputi: kompetensi bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, kompetensi bidang pendidikan, nilai dan bimbingan serta kompetensi bidang hubungan dan pelayanan/pengabdian masyarakat. Kompetensi-kompetensi tersebut kini menjadi standar kompetensi guru yang nota-bone sekaligus menjadi profil guru profesional, yakni sebagai berikut.
1. Memahami landasan dan wawasan pendidikan, meliputi:
a. landasan pendidikan, filosofis, sosilogis, kultural, psikologis, ilmiah dan teknologis;
b. asas-asas pokok pendidikan;
c. aliran-aliran pendidikan;
d. teori belajar;
e. perkembangan peserta didik;
f. pendekatan sistem dalam pendidikan;
g. tujuan pendidikan nasional;
h. kebijakan-kebijakan pendidikan nasional; dan
i. kebijakan pendidikan lokal.
2. Menguasai materi pembelajaran yang menjadi spesifikasinya.
3. Menguasai pengelolaan pembelajaran.
4. Menguasai evaluasi pembelajaran.
5. Memiliki kepribadian, wawasan profesi dan pengembangannya
Di antara sejumlah kompetensi guru tersebut yang paling menjadi sorotan adalah kompetensi dalam pengelolaan pembelajaran, yang berarti guru dituntut mampu menyusun program pembelajaran, serta memilih dan menggunakan media serta metode pembelajaran yang tepat. Guru dituntut mampu berkomunikasi yang dapat memotivasi belajar siswa.
Seiring dengan perubahan teknologi dan informasi, kompetensi pengelolaan pembelajaran tersebut di masa mendatang akan berubah, sebab sekolah di masa depan akan berubah dari format kelas menjadi sekolah bersama dalam satu kota, sekolah bersama dalam satu negara, bahkan bersama di dunia atau sekolah global. Berkat kemajuan teknologi informasi sekolah bersama yang diikuti oleh siswa dalam jumlah besar tersebut dapat terlaksana. Kehadiran secara fisik dalam ruangan yang di sebut kelas tidak lagi menjadi keharusan, yang menjadi keharusan adalah adanya perhatian dan aktivitas secara mandiri terhadap sesuatu persoalan yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi interaktif. Oleh karena itu, sejalan dengan perubahan format belajar klasikal ke belajar bersama secara global tapi mandiri tersebut maka dapat dipastikan bahwa peran guru juga akan berubah.
Guru di masa depan dituntut mengusai dan mampu memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi dan berubah peran menjadi fasilitator yang membelajarkan siswa sampai menemukan sesuatu (scientific curiosity). Selain itu guru harus bersikap demokratis serta menjadi profesional yang mandiri dan otonom. Peran guru seperti itu sejalan dengan era masyarakat madani.
Lebih jauh lagi akibat adanya sinergi dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta perubahan masyarakat yang lebih demokratis dan terbuka akan menghasilkan suatu tekanan serta tuntutan terhadap profesionalisme guru dalam mendayagunakan teknologi komunikasi dan informasi tersebut, termasuk dalam hal pertanggungjawaban atau akuntabilitasnya. Sebagaimana profesi-profesi lain, profesi guru adalah profesi yang kompetitif. Oleh karena itu guru harus siap untuk diuji kompetensinya secara berkala untuk menjamin agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus berkembang. Kebijakan sertifikasi guru dimaksudkan untuk keperluan ini.
Di masa depan dapat dipastikan bahwa profil kelayakan guru akan ditekankan kepada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa, dimulai dari menganalisis, merencanakan atau merancang, mengembangkan, mengimplemen-tasikan, dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan. Kemampuan-kemampuan yang selama ini harus dikuasai guru juga akan lebih dituntut aktualisasinya, misalnya kemampuannya dalam: (1) merencanakan pembelajaran dan merumuskan tujuan; (2) mengelola kegiatan individu; (3) menggunakan multi metoda dan memanfaatkan media; (4) berkomunikasi interaktif dengan baik; (5) memotivasi dan memberikan respons; (6) melibatkan siswa dalam aktivitas; (7) mengadakan penyesuaian dengan kondisi siswa; (8) melaksanakan dan mengelola pembelajaran; (9) menguasai materi pelajaran; (10) memperbaiki dan mengevaluasi pembelajaran; (11) memberikan bimbingan; berinteraksi dengan sejawat dan bertanggungjawab kepada konstituen; serta (12) mampu melaksanakan penelitian.
Secara spesifik pelaksanaan tugas guru sehari-hari di kelas seperti membuat siswa berkonsentrasi pada tugas, memonitor kelas, mengadakan, penilaian dan seterusnya, harus dilanjutkan dengan aktivitas dan tugas tambahan yang tidak kalah pentingnya seperti membahas persoalan pembelajaran dalam rapat guru, mengkomunikasikan hasil belajar siswa dengan orangtua dan mendiskusikan berbagai persoalan pendidikan dan pembelajaran dengan sejawat. Bahkan secara lebih spesifik guru harus dapat mengelola waktu pembelajaran dalam setiap jam pelajaran secara efektif dan efisien. Untuk dapat mengelola pembelajaran yang efektif dan efisien tersebut, guru harus senantiasa belajar dan meningkatkan keterampilan dasarnya.
Menurut Rosenshine dan Stevens (Purwanto, 2002) ada sembilan keterampilan dasar yang penting dikuasai oleh guru dalam pengelolaan pembelajaran, yakni keterampilan: (1) membuka pembelajaran dengan mereview secara singkat pelajaran terdahulu yang terkait dengan pelajaran yang akan disajikan; (2) menyajikan secara singkat tujuan pembelajaran; (3) menyajikan materi dalam langkah-langkah kecil dan disertai latihannya masing-masing; (4) memberikan penjelasan dan keterangan yang jelas dan detil; (5) memberikan latihan yang berkualitas; (6) mengajukan pertanyaan dan memberi banyak kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pemahamannya; (7) membimbing siswa menguasai keterampilan atau prosedur baru; (8) memberikan balikan dan koreksi; dan 9) memonitor kemajuan siswa. Selain itu, tentu saja masih ada keterampilan lain yang harus dikuasai guru, misalnya menutup pelajaran dengan baik dengan membuat rangkuman dan memberikan petunjuk tentang tindak lanjut yang harus dilakukan siswa.
Khusus dalam pengelolaan pembelajaran, Usman (2004) mengemukakan bahwa kemampuan guru dalam manajemen pembelajaran paling tidak meliputi: (1) kemampuan dalam menyusun program pembelajaran; (2) kemampuan dalam melaksanakan prosedur pembelajaran; dan (3) kemampuan dalam melaksanakan hubungan antar pribadi dengan siswa.
Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran meliputi: (1) penguasaan materi; (2) kemampuan menganalisis materi pelajaran; (3) kemam-puan menyusun program tahunan dan program semester; (4) kemampuan menyusun satuan pelajaran/persiapan mengajar; serta (5) kemampuan menyusun rencana pembelajaran.
Kemampuan menyusun rencana pembelajaran meliputi : (1) kemampuan dalam merencanakan pengelolaan kegiatan pembelajaran; (2) kemampuan dalam merencanakan pengorganisasian bahan pengajaran; (3) kemampuan dalam merencanakan pengelolaan kelas; (4) kemampuan dalam merencanakan penggunaan alat dan metode pembelajaran; dan (5) kemampuan dalam merencanakan penilaian prestasi belajar siswa untuk kepentingan pembelajaran.
Kemampuan guru dalam melaksanakan prosedur pembelajaran meliputi kemampuan: (1) memulai pelajaran; (2) mengelola kegiatan pembelajaran; (2) mengorganisasi waktu, siswa, dan fasilitas belajar; (4) melaksanakan penilaian proses dan hasil pembelajaran; dan (5) mengakhiri pembelajaran.
Kemampuan guru dalam berkomunikasi antar pribadi dengan siswa meliputi: (1) kemampuan dalam membantu mengembangkan sikap positif pada diri siswa; (2) kemampuan dalam menampilkan kegairahan dan kesungguhan dalam kegiatan pembelajaran; dan (3) kemampuan dalam mengelola interaksi perilaku di dalam kelas. Pendeknya banyak hal-hal kecil yang harus diperhatikan dan dikuasai oleh guru sehingga secara kumulatif membentuk suatu keutuhan kemampuan profesional yang bisa ditampilkan dalam bentuk kinerja yang optimal.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diringkas bahwa profil guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, kompetensi bidang pendidikan, nilai dan bimbingan serta kompetensi bidang hubungan dan pelayanan/pengabdian masyarakat.
2. Beberapa Alternatif Meningkatkan Profesionalisme Guru
Beberapa alternatif untuk meningkatkan profesionalisme guru dapat dilakukan sebagai berikut.
1. Identifikasi Kompetensi Aktual Profesi Guru
Peningkatan profesionbalisme guru apa pun akan kurang efektif jika tidak didasarkan atas kompetensi aktual guru yang hendak ditingkatkan. Oleh karena itu penyelenggaran diklat harus terlebih dulu memetakan profil aktual kebutuhan kompetensi guru secara individual melalui analisis kebutuhan kompetensi guru. Purwanto (2002) memberikan istilah untuk langkah pertama ini dengan “memahami tuntutan standar profesi guru yang ada.” Memahami yang dimaksud dalam hal ini adalah memahami kebutuhan standar profesi/ kompetensi berdasarkan kinerja aktual guru saat ini. Upaya ini dikenal dengan istilah identifikasi kompetensi aktual profesi guru.
Hasil identifikasi berupa deskripsi kebutuhan kompetensi guru berdasarkan kompetensi dan kinerja aktual profesi keguruan mereka. Hal itu dapat diklasifikasi berdasarkan kesamaan rumpun atau jenis kompetensi untuk memudahkan dalam menyusun program diklat.
Upaya identifikasi tentunya dilakukan oleh lembaga yang berwewenang untuk itu, misalnya Lemdiklat Guru dan Pusat Pendidikan dan Pengembangan Guru (PPPG). Teknik untuk identifikasi dapat dilakukan baik dengan tes maupun non tes yang hal itu dapat dikembangkan lebih lanjut oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu.
Identifikasi kebutuhan kompetensi guru ini seyogyanya dilakukan kepada semua guru yang dipandang masih potensial untuk dikembangkan. Guru-guru yang mendekati masa MPP dan atau yang berdasarkan pengamatan memang kurang layak/kurang berbakat menjadi guru tidak ada kemauan mengembangkan karir dan profesinya sebagai guru sebaiknya tidak diprioritaskan, disediakan program tersendiri untuk mereka.
2. Pendidikan dan Pelatihan berbasis Kebutuhan Kompetensi Guru
Hasil penelitian Wardani (1998) menunjukkan bahwa keba-nyakan kebutuhan guru akan kompetensi keguruannya terfokus pada dua hal, yakni penguasaan materi pelajaran dan pengelolaan kelas. Oleh karena itu program diklat hendaknya diprioritaskan pada upaya meningkatkan kompetensi guru untuk menguasai materi pelajaran dan mengelola kelas selain berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan kompetensi guru sebagaimana dikemukakan di atas.
Pendalaman materi pelajaran dapat dilakukan dengan memberi informasi tambahan kepada guru diikuti dengan diskusi intensif melalui wadah organisasi guru mata pelajaran, yakni MGMP untuk tingkat Kota/Kabupaten dan MGMPS untuk tingkat sekolah. Untuk guru-guru tertentu yang memiliki bakat akademik tinggi kiranya dapat diberi kesempatan dan fasilitas untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Guru-guru inilah yang kelak dijadikan pionir membantu guru lainnya dalam meningkatkan pemahaman materi pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya melalui wadah MGMP atau sejenisnya.
Kebutuhan guru akan pengelolaan kelas dapat dipenuhi dengan menyelenggarakan diklat khusus terkait dengan pengelolaan kelas, mulai menyusun program pembelajaran, memilih metode dan media pembelajaran yang tepat, mengelola pembelajaran, membangkitkan motivasi belajar siswa, dan melakukan evaluasi hasil belajar. Selain materi diklat yang harus disesuaikan dengan kebutuhan guru, proses diklat hendaknya disesuaikan dengan materi dan karakteristik peserta diklat. Evaluasi diklat hendaknya tidak hanya dilakukan pada evaluasi proses seperti yang selama ini sering dilakukan, tetapi evaluasi hasil juga harus dilakukan dengan instrumen evaluasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Lembaga diklat harus tegas menyatakan tingkat kelulusan peserta diklat berdasarkan hasil evaluasi, jika peserta diklat belum menguasai batas minimal target diklat, sebaiknya dengan tegas tidak diluluskan sehingga menambah motivasi peserta diklat dalam mengikuti proses diklat.
Tidak kalah pentingnya adalah tindak lanjut diklat. Kebanyakan diklat-diklat peningkatan profesionalisme guru selama ini tidak diikuti dengan tindak lanjut secara memadai. Lembaga diklat seolah telah putus hubungan kerjasama dengan lembaga/sekolah tempat peserta diklat bekerja. Hal ini menyebabkan program-program diklat efektivitasnya dipertanyakan, dan terkesan hanya menghabiskan anggaran Pemerintah. Untuk diklat-diklat pemenuhan kebutuhan kompetensi utama guru, seperti pengelolaan program pembelajaran, seharusnya diikuti tindak lanjut pasca diklat. Penyelenggara diklat harus mampu dan siap menjadi nara sumber dan tauladan peserta diklat jika sewaktu-waktu dibutuhkan guru pasca diklat.
3. Meningkatkan Kemampuan dan Minat Baca
Fenomena empiris menunjukkan bahwa minat baca guru sangat kurang. Oleh karena itu Yuwono Sudarsono ketika menjadi Mendiknas memasukkan keterampilan membaca pada kategori kompetensi guru yang pertama (Kompas, 24 Agustus 1998). Kunci pengembangan pengetahuan dan teknologi terletak pada aktivitas membaca. Dalam ajaran Islam pertama kali adalah perintah membaca (iqro’). Diberi fasilitas bacaan apa pun, jika guru kurang mampu dan kurang mau membaca, maka kiranya akan sulit guru tersebut untuk disebut profesional. Sebab, tuntutan profesi guru akan terus berkembang seirama dengan perkembangan tuntutan masyarakat akan kualitas guru. Kendatipun setiap guru diberi fasilitas komputer dan internet jika kemampuan membaca, khususnya referensi berbahasa Inggris lemah, maka kiranya guru akan sulit mengembangkan diri, sulit memahami jurnal-jurnal hasil penelitian yang saat ini mudah didapat melalui internet.
Untuk meningkatkan minat baca di kalangan guru dapat dilakukan dengan menerbitkan jurnal-jurnal, dan buletin-buletin rutin tentang perkembangan profesi keguruan. Guru diberi kesempatan untuk menyusun karya, diberi imbalan setimpal untuk karya yang bagus, dan guru lain diminta untuk memberikan respon atas artikel yang dimuat. Setiap guru diwajibkan memiliki bacaan tersebut.
4. Penelitian Tindakan Kelas
Seperti telah dikemukakan, bahwa tuntutan kompetensi guru selalu berubah seiring dengan tuntutan masyarakat akan kompetensi guru. Siswa dan orang tua siswa adalah individu yang juga terus belajar melalui media yang ada, oleh karena itu mereka bisa menilai bagaimana kinerja gurunya di sekolah. Untuk mengetahui efektivitas pembelajarannya, guru hendaknya membudayakan penelitian tindakan kelas (PTK). Respon siswa terhadap metode dan media pembelajaran yang digunakan akan terlihat jelas jika guru melakukan PTK. Perbedaan efektivitas antar metode dan media pembelajaran juga akan terlihat jelas jika guru melakukan PTK. Metode-metode pembelajaran baru akan dapat diadaptasi guru dengan mudah jika guru mencobanya dalam tindakan kelas melalui PTK. Oleh karena itu Hopkin (1993) dan McNiff (1992) sebagaimana dikemukakan Wardani (1998) mengemukakan bahwa tujuan PTK adalah untuk memperbaiki praktek pendidikan/pembelajaran yang dilakukan guru dan meningkatkan pemahaman guru terhadap praktek itu.
Upaya meningkatkan kompetensi guru dalam melakukan PTK di antaranya selain melalui berbagai diklat PTK, kepala sekolah mewajibkan guru untuk melakukan PTK ini. Untuk itu kepala sekolah harus terlebih dulu kompeten dalam melakukan PTK ini dan siap menjadi tauladan serta sumber informasi bagi guru. Jika kepala sekolah kurang kompeten, kiranya dapat bekerjasama dengan Litbang Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) terdekat. Untuk meningkatkan kegairahan guru melakukan PTK ini seyogyanya Kepala Sekolah dan atau Kepala Dinas Pendidikan setempat memberikan apresiasi atau penghargaan kepada guru-guru yang berhasil melaksanakan PTK. Budaya kompetisi antar guru perlu ditumbuhkan untuk melakukan PTK ini. Kelayakan penelitian guru perlu diuji dalam forum tertentu, misalnya dalam forum MGMP. Karya yang berkualitas dipublikasikan ke jurnal-jurnal pendidikan.
5. Diskusi Ilmiah
Fenomena empiris menunjukkan bahwa diskusi di kalangan guru masih kurang membudaya. Memang, untuk guru-guru SMP dan SMA/K di Kota Sura-baya, diskusi telah diprogramkan dilakukan secara rutin minimal 1 bulan 1 kali dalam pertemuan rutin anggota MGMP yang dilakukan secara bergilir. Untuk diskusi dengan mendatangkan nara sumber diprogramkan minimal 1 tahun 1 kali sertiap akhir tahun pelajaran. Namun, realisasinya untuk diskusi rutin bulanan karena berbagai kesibukan guru dan berbagai keterbatasan pengurus MGMP, jumlah guru yang hadir sangat minim, rata-rata kurang dari 50%. Forum pertemuan rutin yang telah berjalan lebih digunakan untuk media informasi, bukan untuk media diskusi peningkatan kompetensi guru. Kondisi ini menunjukkan bahwa diskusi belum membudaya di kalangan guru. Untuk itu perlu lebih dibudayakan.
Pembudayaan penelitian tindakan kelas (PTK) sebagaimana telah dikemukakan seyogyanya diikuti dengan peningkatan budaya diskusi. Forum MGMP yang selama ini ada merupakan wadah yang tepat untuk itu. Kepala Sekolah dan kepala Dinas Pendidikan setempat tinggal memberikan bantuan yang diperlukan. Agar lebih termotivasi, hendaknya aktivitas diskusi guru-guru tersebut mendapatkan penghargaan Dinas Pendidikan, minimal berupa sertifikat yang hal itu diperlukan untuk akumulasi poin angka kredit guna mempermudah kenaikan pangkat guru.
6. Meningkatkan Hubungan Kesejawatan
Upaya membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru dengan membina jaringan kerja atau networking. Guru harus berusaha mengetahui apa yang telah dilakukan oleh sejawatnya yang sukses sehingga bisa belajar untuk mencapai sukses yang sama atau bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui networking guru memperoleh akses terhadap inovasi-inovasi di bidang profesinya. Forum MGMP merupakan wadah yang tepat untuk ini.
Networking bisa juga dibina melalui jaringan kerja yang lebih luas dengan menggunakan teknologi komunikasi dan informasi, misalnya melalui korenspondensi dan mungkin melalui internet untuk skala yang lebih luas. Apabila korespondensi atau penggunaan internet ini dapat dilakukan secara intensif akan dapat diperoleh kiat-kiat menjalankan profesi dari sejawat guru di seluruh dunia. Pada dasarnya networking/jaringan kerja ini dapat dibangun sesuai situasi dan kondisi serta budaya setempat.
7. Membangun Etos Kerja Guru
Upaya membangun etos kerja atau budaya kerja difokuskan pada peningkatan pelayanan bermutu tinggi kepada konstituen (siswa, orang tua dan sekolah). Hal ini saat ini merupakan suatu keharusan. Semua bidang dituntut untuk memberikan pelayanan prima. Guru pun harus memberikan pelayanan prima kepada konstituennya yaitu siswa, orangtua dan sekolah sebagai stakeholder. Terlebih lagi pelayanan pendidikan adalah termasuk pelayanan publik yang didanai, diadakan, dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik. Oleh karena itu guru harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik.
Upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru tersebut pada akhirnya memerlukan adanya dukungan dari semua pihak yang terkait agar benar-benar terwujud. Pihak-pihak yang harus memberikan dukungannya tersebut adalah kepala sekolah tempat guru dinas, organisasi profesi seperti PGRI dan MGMP, pemerintah dan juga masyarakat.
Drs. Ma’ruf, M.Pd. adalah konsultan pendidikan, aktif membantu guru dalam memuat desain penelitian tindakan kelas, Ketua Pusat Studi Kebijakan dan Pemberdayaan Publik ELMAS Surabaya, konsultan Monev Proyek DBEP Propinsi NTT sampai sekarang. Alamat Jl. Manukan Lor II/44 Surabaya, (031) 7407783, HP. 081330696988. Email: makruf_indra@yahoo.co.id dan elmass_surabaya@yahoo.com
DAFTAR PUSTAKA
* Adiningsih, NU. “Kualitas dan Profesionlisme Guru”. Pikiran Rakyat Online. Diambil pada Nopember 2006 dari http://www.pikiranrakyat.com.
* Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
* Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
* Balitbang Diknas. (2000). Peningkatan Kemampuan Profesional dan Kesejahteraan Guru. Departemen Pendidikan Nasional Online. Diambil dari http://www.diknas.go.id pada tgl. 5 Oktober 2003
* Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.
* Danin, Sudarwan. (2002). Inovasi Pendidikan: Dalam Upaya Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
* Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
* Geist, J.R. (2002). “Predictors of Faculty Trust in Elementary Schools: Enabling Bureaucracy, Teacher Professionalism, and Academic Press.” Disertation of The Ohio State Universty, diakses dari http://www.osu.edu.com pada tgl. 25 Nopember 2006
* Joni. T. R. (1998). “Hasil Telaah & usulan PTK PPGSD”. Makalah. Disampaikan untuk Pertemuan PTK di Yogjakarta tgl. 5 Januari 1998.
* Purwanto. (2002). “Meningkatkan Profesionalisme Guru.” Jurnal Teknodik No.10/VI/Teknodik/Oktober. Diambil pada tgl. 7 Desember 2006 dari http://www.duniaguru.com/index.html
* Wardani. (1998). “Program Pemberdayaan Guru.” Jurnal Ilmu Pendidikan, November 1999, Jilid 6. No. 4 Hal. 289-301.
* Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta: Gramdeia.
* Pantiwati, Y. 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.
* Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.
* Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.
* Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or “We’re Wired, Webbed, and Windowed, Now What”? Educational Technology may-June 1999. Hlm. 5-18.
* “Unas SMP-SMA Maju Satu Bulan”. Jawa Pos, 27 November 2006
* UU Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Posted by
7:21 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar