Seleksi menjadi guru baru ke depan akan lebih diperketat seiring dengan banyaknya kasus malpraktik yang dilakukan oleh guru akibat rendahnya kemampuan guru melakukan penyesuaian diri pada lingkungan sekolah.
“Kita sudah dengar banyaknya kasus bullying atau berupa tindakan yang membuat seseorang merasa teraniaya yang dapat dilakukan antara lain oleh guru kepada siswanya di lingkungan sekolah sehingga siswa merasa terancam, ketakutan dan sebagainya sehingga tindakan guru tersebut dapat dikategorikan sebagai malpraktik,” kata Kepala Subdit Program Direktorat Tenaga Kependidikan Depdiknas, Abi Sujak.
Serangkaian kasus malpraktik oleh guru kepada siswa nyaris menjadi persoalan rutin yang mewarnai proses belajar mengajar di sekolah meski dalam kadar yang bervariasi mulai dari tindakan ringan seperti penggunaan istilah atau panggilan yang berkonotasi negatif sampai pada bentuk tindak kekerasan seperti memukul, menendang atau hukum jemur.
Namun demikian pengamat dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof Dr Said Hamid Hasan berpendapat bentuk malpraktik dalam dunia pendidikan harus diakui, bahwa kerugian atau dampak negatif bagi penerima layanan pendidikan lebih sulit dikenali/ diukur dibandingkan profesi lain seperti dokter atau insinyur.
“Dampak negatif dalam dunia pendidikan seringkali tidak seketika atau langsung bisa dilihat orang lain atau dirasakan yang bersangkutan dan seringkali terasakan pada waktu lama setelah suatu kejadian malpraktik terjadi,” ungkapnya.
Prof Hamid Hasan yang juga Guru Besar UPI mengatakan terdapat tiga kategori tindakan malpraktik dalam dunia pendidikan.
Yang pertama, pelaksanaan tugas oleh seseorang yang tidak sesuai dengan latar belakang yang dipersyaratkan oleh peraturan tentang profesi guru.
Dalam kategori ini, menurut dia banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan persyaratan yang seharusnya ketika yang bersangkutan diangkat. Malpraktik dalam kategori ini bisa dilakukan oleh pemerintah, yayasan, sekolah negeri atau pun swasta. Ketika pemerintah/yayasan/sekolah/madrasah menugaskan seseorang untuk melaksanakan pekerjaan profesi guru padahal pemerintah/ yayasan/ sekolah/madrasah tersebut tahu dan sadar bahwa hal itu merupakan suatu pelanggaran persyaratan profesional untuk seseorang diangkat dalam jabatan guru.
Kategori kedua, malpraktik dalam dunia pendidikan terjadi ketika seseorang yang memang memiliki latar belakang pendidikan guru tetapi dia melaksanakan tugas yang tidak sesuai dengan kualifikasinya. Katakan seorang guru bahasa Indonesia mengajar matematika atau mata pelajaran lain.
“Setiap guru yang berpendidikan sebagai guru untuk jenjang pendidikan itu tetapi mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kewenangannya melakukan malpraktik. Yang bersangkutan mungkin saja dapat melakukan transfer pengetahuan dari apa yang dibacanya tetapi dengan demikian dia bukan guru yang berdasarkan UU Guru dan Dosen adalah seorang pendidik. Dia hanyalah seorang pengajar/ instruktur karena itu dia dapat ?teach what she/he knows?, ujarnya.
Padahal, berdasarkan kompetensi yang dipersyaratkan oleh UU Guru dan Dosen seorang guru harus lah pendidik dan sebagai pendidik maka “she/he can educate what she/he is”.
Kategori ketiga. malpraktik dalam dunia pendidikan adalah guru yang memang memiliki kewenangan sebagai guru tetapi melakukan suatu tindakan profesi yang salah seperti bullying, memberi penjelasan yang menyesatkan, melakukan diskriminasi terhadap peserta didik karena latar belakang sosial-ekonomi-psikologi-agama-etnis-gender, menilai prestasi belajar peserta didik salah dan mengambil keputusan/tindaan salah.
Bentuk lain memungut uang dari peserta didik dengan alasan apa pun, memberikan keuntungan atau pun kerugian karena preferensi pribadi terhadap salah seorang atau sekumpulan peserta didik.
Dalam kategori ini, apabila perbuatan itu dilakukan oleh guru berulang kali dan menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidakpercayaan dari peserta didik maka guru itu telah melakukan malpraktik, ujarnya.
Secara teori tindakan malpraktik oleh guru utamanya dalam bentuk tindakan kekerasan yang masuk dalam kategori bullying tidak dapat dibenarkan apalagi dalam kapasitas sebagai seorang pendidik.
“Kita sebenarnya tidak tahu berapa banyak guru yang melakukan “bullying” dan apakah cukup kuat untuk menyimpulkan hanya karena sejumlah kasus tindakan kekerasan guru terhadap murid,” katanya sambil menyatakan keyakinan bila praktik yang mengarah kepada “bullying” terjadi sejak masa dulu karena pihaknya pun memiliki pengalaman dengan guru yang demikian.
Jadi, kalau ada yang menyatakan bahwa banyak guru yang melakukan “bullying” sebaiknya dibuktikan dengan angka yang benar-benar valid. Kalau tidak maka itu adalah bentuk ancaman terhadap guru yang selalu disudutkan sebagai fihak yang “salah” dan “kurang” padahal guru berada dalam keadaan demikian disebabkan antara lain oleh lingkungan dan suasana kerja guru yang tidak mendukung pengembangan profesional dan sebagian lagi disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak utuh dan tidak berdasarkan visi yang benar mengenai guru dan profesi guru, tambahnya.
Tindakan malpraktik dalam bentuk bullying oleh oknum guru yang banyak diberitakan melalui media massa memberikan kesan menyamaratakan seolah-olah guru zaman kini adalah guru ringan tangan dalam pengerian negatif.
Padahal menurut Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof Bejo Suyanto tindakan malpraktik harus ditelusuri secara jelas sehingga tidak menyudutkan profesi guru.
“Guru dari lulusan mana? Banyak perguruan tinggi secara ketat mempersiapkan calon guru sehingga akibat ketatnya proses pematangan calon guru, maka setiap tahunnya hanya sedikit lulusan sarjana pendidikan guru yang dihasilkan,” ungkapnya.
Namun Rektor UNJ ini pun mengakui, banyak pula perguruan tinggi yang cenderung bersikap “asal-asalan”, dalam meluluskan sarjana pendidikan guru tanpa memperhatikan syarat-syarat dan kompetensi yang harus dimiliki calon sarjana sebelum menjadi guru.
Pendidikan guru Kasus malpraktik guru kepada murid dalam proses belajar mengajar ditengarai sebagai akibat lemahnya pembekalan ilmu sejak di bangku perguruan tinggi bagi mahasiswa jurusan ilmu pendidikan. Guru-guru tamatan IKIP dianggap kurang menguasai materi pelajaran sehingga pemerintah membuat kebijakan untuk mengembangkan pendidikan guru agar penguasaan materi pelajaran ditambah.
Bahkan dibuat proyek di beberapa perguruan tinggi non LPTK agar guru yang dihasilkan betul-betul hebat dalam penguasaan materi. Hasil evaluasi proyek menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hasilnya tidak sebagaimana yang dihipotesiskan.
Proyek dibubarkan dan kemudian muncul pula dugaan atau persepsi bahwa guru tidak menguasai bidang keguruannya. Dibuat lagi proyek yang demikian.
Menurut Prof Hamid, asumsi yang salah itu adalah kalau ada praktik salah yang dilakukan guru maka kesalahan itu disebabkan oleh pendidikan awal guru. Kesalahan kedua adalah kalau guru sudah mendapat pendidikan maka performansi guru akan terus berlanjut dalam suatu garis lurus.
Kedua asumsi ini yang digunakan untuk membangun pendidikan guru dan pembinaan guru yang telah terjadi selama ini. Mungkin ada baiknya kita mulai berpikir lebih baik dan mengembangkan visi pendidikan awal guru dan pendidikan dalam jabatan serta pembinaan profesi guru secara lebih profesional dan didasarkan pada hasil kajian yang akademik.
Lebih lanjut Prof Hamid menyoroti sikap pemerintah yang dinilai sudah mengambil posisi salah mengenai pendidikan prajabatan guru dengan mengambil model “consecutive” atau “end-on” yang banyak dilakukan di Amerika Serikat padahal guru yang baik dan memiliki kemampuan tinggi banyak di negara-negara Eropa dan pendidikan guru di negara tersebut dikembangkan berdasarkan model “concurrent”.
“Siapa yang dapat mengatakan bahwa masa pengembangan keprofesian (antara lain sikap terhadap pendidikan, sikap pendidik terhadap peserta didik, kemampuan mengembangkan proses pendidikan, kristalisasi kepribadian sebagai pendidik) lebih berhasil dikembangkan dalam waktu satu tahun dengan pemadatan materi yang banyak dibandingkan dikembangkan dalam waktu empat tahun secara terjalin dan saling menguat antara materi pedagogik dengan materi bahan ajar,” ujarnya.
Selama ini telah terjadi asumsi yang salah bahwa guru akan melaksanakan profesinya dengan baik dari awal karier sampai akhir masa pengabdiannya tanpa adanya program pengembangan profesi yang baik dan suasana serta lingkungan kerja yang mendukung.
Prof Hamid menyarankan untuk dilakukan peninjauan yang sangat mendasar kebijakan tentang guru baik mengenai pendidikan pra-jabatan, pendidikan dalam jabatan, dan pembinaan profesi guru. Kebijakan itu harus mencakup keseluruhan sebagai suatu sistem dan bukan parsial dan temporal.
Guru harus dibina dalam suatu sistem yang berkelanjutan agar mereka selalu siap dan berada dalam posisi terdepan untuk melaksanakan tugas profesinya.
Mengajar adalah ujung tombak dari keseluruhan pembinaan tersebut dan sebagian kecil atau maksimum setengah dari keseluruhan beban kerja profesional. Untuk bandingan negara OECD mewajibkan guru SD mengajar 803 jam setahun sedangkan guru sekolah menengah sebanyak 664 jam dalam satu tahun. Amerika Serikat sebesar 1080 jam dan sama jumlahnya dengan guru di Indonesia dalam jam tetapi dalam jumlah peserta didik yang dilayani guru jumlahnya tiga sampai empat kali jumlah peserta didik dibandingkan guru di Amerika Serikat.
Terkait dengan rencana Depdiknas menyelenggarakan program induksi bagi guru baru mulai tahun 2010, baik Prof Hamid Hasan menyatakan dukungannya.
Program induksi ditujukan bagi guru baru sebelum terjun langsung mengajar di kelas harus melewati proses penyesuaian selama satu tahun sehingga guru harus benar-benar siap dan profesional.
Program induksi bagi guru pemula dimaksud pula untuk memperbaiki kondisi siswa karena dari sebuah hasil penelitian anak-anak di masa prasekolah bisa berperilaku ceria tetapi setelah masuk ke SD di awal-awal kelas menjadi pasif dan penakut.
Menurut Prof Hamid, guru yang dipersiapkan dalam pendidikan prajabatan apa pun dan bagaimana pun tidak pernah terkait langsung dengan sekolah dan lingkungan sekolah dimana dia ditempatkan. Sedangkan suatu satuan pendidikan selalu memiliki keunikan sendiri dalam dalam tradisi, masalah, dan hal-hal yang terkait dengan karakteristik peserta didik dan masyarakat yang dilayani.
Oleh karena itu, ketika seseorang baru diangkat menjadi guru di suatu sekolah maka dapat dikatakan bahwa sekolah itu adalah sesuatu yang asing baginya. Menyatakan bahwa dia sudah sering berada di sekolah pada waktu pendidikan prajabatan dan mengatakan bahwa setiap sekolah adalah sama merupakan suatu kesalahan besar. Setiap sekolah selalu unik, tambahnya.
Tentu saja pandangan, bahwa guru akan belajar tentang sekolah tersebut secara mandiri sudah tidak bisa dipertahankan karena mengandung banyak kelemahan. Oleh karena setiap guru, apakah guru baru atau sudah berpengalaman, diangkat di suatu satuan pendidikan berhak dan berkewajiban mendapatkan sosialisasi dalam bentuk program induksi mengenai satuan pendidikan tersebut. Ini harus menjadi bagian dari sistem pengembangan pendidikan dan pembinaan profesi guru, ujarnya.
Sumber : (Finroll News)
Ditulis dalam Artikel & Opini
Posted by
4:08 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar