Oleh: Markus Mardianto,
Program Developer and Facilitator Pedagogy di Sampoerna Foundation Teacher Institute
Teknologi tak bisa dikendalikan. Google, Yahoo, Blog, Wikipedia, Youtube, Facebook, serta nama-nama lain dalam teknologi Web 2.0 saat ini seolah bagian dari keseharian para siswa, anak-anak didik
kita. Meski hanya sehari, tanpa telepon genggam pun hati mereka rasanya tak tenang. Sesaat, tanpa itu semua hidup serasa hampa.
Cukup lewat jari-jari, segalanya pun begitu mudah dan ringkas tersaji di depan mata. SMS, kamera, MP3/MP4 Player, Bluetooth, 3G, GPRS, GPS, dan banyak lagi yang membuat mereka sangat mudah menjalani hari demi
harinya. Oleh mereka, dunia serasa semakin kecil, karena kini memang sudah tergenggam di tangannya.
Interaksi sosial pun mereka lalui tanpa melewatkan teknologi. Warnet atau kafe-kafe hotspot seakan "rumah kedua". Kafe bukan lagi milik orang dewasa, melainkan "milik bersama" mereka, yang rutin mereka sambangi. Di situlah mereka kerap berkenalan, berbincang, serta membangun jaringan sosial sambil menyeruput segelas coklat atau kopi panas.
Sulit dimungkiri, seperti itulah kiranya sebagian besar wajah generasi muda kita saat ini. Wajah, yang pada tahun 1980-an silam, mungkin tak sempat atau pernah kita bayangkan bakal terjadi.
Ya, mereka memang terlahir dan hidup dalam dunia digital, dunia yang diadopsi sebagai bagian keseharian, gaya belajar, serta berinteraksi sosial. Mereka adalah generasi digital natives, penduduk asli dunia digital. Mereka, melalui naluri alamiahnya, bisa dengan mudah mencari berbagai informasi, belajar dan memecahkan masalahnya sendiri, serta menciptakan berbagai inovasi kreatif dengan segala pernak-pernik teknologi.
Mereka nikmati musik secara digital, bermain pun secara online. Mereka cenderung menyukai komputer, gambar, animasi, video, dan terakhir barulah dokumen berbentuk teks.
Mereka pun menghayati perannya sebagai multi tasking. Mereka menyukai pekerjaan yang dilakukan dengan cara dan dalam waktu bersamaan. Sementara kita, orang dewasa, adalah digital immigrants. Kita adalah warga pendatang di dunia digital mereka itu. Kita cenderung menyukai informasi dalam bentuk kertas dangan banyak teks, barulah kemudian gambar dan video.
Kini, bagaimana kita (para pendidik dan orang tua) menyikapi fenomena ini? Apa solusinya?
http://www.kompas.com/read/xml/2009/04/13/15041824/generasi.digital.siapkah.kita.menghadapinya.bagian.i.
Keberadaan siswa dan anak kita sebagai "penduduk asli" dunia digital bukan berarti membebaskan tanggung jawab dan kewajiban kita untuk terus membimbing mereka tentang manfaat teknologi. Bahkan, saat melihat mereka lebih menguasai dalam penggunaan teknologi ketimbang kita sebagai orang dewasa, mereka bukan tidak butuh perhatian dan pendampingan kita.
Memang, berbeda dengan kita, mereka tidak takut mencoba apapun yang belum mereka kuasai. Harus diakui, inilah kali pertama dalam sejarah umat manusia, bahwa generasi muda memiliki pengetahuan dan pemahaman lebih luas dalam aspek pendidikan dibandingkan generasi sebelumnya, yang biasanya berperan sebagai instruktur dan narasumber bagi mereka.
Melihat fenomena itu, salah satu aspek yang erat sekali hubungannya adalah aspek pendidikan. Tiga pilarnya yang langsung menyentuh dengan kehidupan digital mereka itu adalah sekolah, guru, dan orang tua. Adalah tanggung jawab guru dan orang tua untuk memilah dan memaksimalkan peran teknologi sebagai alat dalam proses pembelajaran di sekolah maupun di rumah.
Dalam forum Educator Sharing Network (ESN) dengan topik 'Digital Natives vs Digital Immigrants' yang diselenggarakan oleh Sampoerna Founda tion Teacher Institute (SFTI), di Jakarta, bulan Januari lalu, seorang praktisi pendidikan, Agus Sampurno dari Sekolah Global Jaya, memaparkan fenomena ini di depan lebih dari 100 audiensi. Mereka datang dari kalangan guru, orangtua, kepala sekolah dan pemerhati pendidikan lainnya.
Di forum itu, Agus menyatakan, sebagai pendidik kita tak bisa lagi mengajar anak didik dengan cara-cara seperti dulu. Kita perlu memahami apa yang disukai anak kita saat ini. Untuk itulah, "jurang pemisah" antara warga asli dan warga pendatang harus dijembatani, sehingga akan terjadi sinergi yang baik antara kedua generasi itu.
Selang dua minggu kemudian, SFTI kembali memfasilitasi kegiatan serupa dengan tema yang masih berkaitan dengan dunia digital. Dibawakan oleh Jane Ross, seorang guru kelas 5 SD dari Sinarmas World Academy, topik diskusi kali itu bertajuk 'Karya Anak Online'. Rose memaparkan, dengan teknologi sederhana seperti kamera pada telepon genggam ternyata dapat menciptakan pembelajaran menarik bagi siswa. Namun beliau menambahkan, sayangnya banyak guru yang belum menyadari hal tersebut.
Untuk itulah, masih dalam rangka menindaklanjuti refelksi kedua forum tersebut, SFTI kembali menggelar serangkaian seminar sehari dan pelatihan dua hari. Dilaksanakan pada tengah Februari 2009 lalu, seminar bertajuk 'The Gap Between Digital Natives and Digital Immigrants' kali ketiga ini dibawakan oleh tandem Agus Sampurno dan Gerald Donovan, Wakil Direktur sekaligus Guru Bahasa Inggris di Sekolah Bogor Raya. Seminar berupaya membuka jendela informasi bagi peserta, bahwa perubahan global yang dulu diperkirakan hanya akan terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, ternyata telah terjadi di negara-negara Asia seperti India dan Cina.
Sejatinya lewat penyelenggaraan forum tersebut, banyak guru dan pemerhati pendidikan yang kemudian terbuka paradigmanya. Bahwa, teknologi tidak selalu mutlak dikaitkan dengan mata ajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Sebaliknya, mata ajaran apapun dapat terintegrasi dengan penggunaan TIK, selama guru mulai mencoba dan mengembangkan kurikulumnya dengan maksimal.
Refleksi positif lainnya dari kedua forum itu, guru pun perlu dibekali pelatihan penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Karena untuk mencapai hasil belajar maksimal, guru harus mengenali dan menyelami cara mereka belajar saat ini. Mereka adalah digital natives, yang sangat mementingkan peran digital tecnology dalam proses pembelajarannya.
Terkait dunia mereka, beberapa keadaan yang tidak mudah dikendalikan adalah soal kekerasan dan pelecehan di internet. Keadaan itu biasa dikenal dengan istilah cyber bullying. Mereka mampu melakukan segala sesuatu yang tidak dapat dilakukan di dunia nyata. Dan jika hal itu ditanggapi dengan positif, guru akan memahami bahwa siswa yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi di dunia nyata akan terfasilitasi dengan teknologi Web 2.0.
Ya, di situlah peran guru dimulai, yaitu untuk ikut berkomunikasi dengan mereka, membimbing mereka di dunia nyata. Apalagi saat ini, banyak anak didik kita yang memiliki sifat ’pendiam’, namun memiliki blog pribadi yang berisi ekspresi-ekspresi nan lugas dan karya tulis mengagumkan. Sebaliknya, semua ekspresi itu belum pernah ditunjukkannya di dunia nyata.
Sejatinya, hal tersebut menggambarkan, betapa peran orang dewasa sangat diperlukan untuk mendampingi mereka dalam proses belajar. Alhasil, kalau orangtua dan guru tidak terlibat, kita tidak tahu apa yang telah dilewatkan. Untuk itu, perlu kiranya para digital immigrants seperti kita pun mengenal beberapa contoh situs terkait langsung dengan nilai-nilai sebagai warga digital.
http://www.kompas.com/read/xml/2009/04/13/1741027/generasi.digital.siapkah.kita.menghadapinya.bagian.ii..
Dengan begitulah tercipta sinergi antara guru, orang tua, dan murid. Jika murid dan orang tua kemudian bisa berkomunikasi di rumah, sinergi itu kemudian mencipta komunikasi antara guru dan murid untuk berbagi pengalaman saat kembali menerapkan teknologi di dalam kelas.
Di beberapa pelatihan yang digelar oleh Sampoerna Foundation Teacher Institute (SFTI), para pendidik diberi kesempatan mengembangkan cara merancang kebijakan dalam penggunaan teknologi di sekolah dengan melibatkan partisipasi siswa. Tujuannya, proses pembelajaran menggunakan teknologi ini memungkinkan terciptanya rasa tanggung jawab yang tumbuh dari diri siswa untuk menjaga nama baik siswa, guru, dan sekolahnya.
Setelah peserta mengetahui upaya menciptakan guru dan siswa menjadi warga digital yang baik tersebut, Gerald Donovan, Wakil Direktur sekaligus Guru Bahasa Inggris di Sekolah Bogor Raya, melengkapi sesi pelatihan berikutnya dengan judul 'How to Utilize Web 2.0 in Learning Processes'. Di sini, peserta diperlihatkan berbagai contoh situs pembelajaran online, baik yang dikembangkan oleh guru maupun oleh siswa.
Pada sesi pelatihan terakhir itu, Gerald, yang rajin menggunakan teknologi dalam proses pembelajarannya, mengajak peserta berpraktek langsung melakukan interaksi secara online menggunakan beberapa teknologi Web 2.0. Mereka, para guru itu, dikenalkan mulai dari Google Earth, Google Sketch Up, Delicious, Youtube, Wiki, serta beberapa online games yang dapat digunakan guru dan orangtua dalam memfasilitasi proses pendidikan, baik di sekolah maupun rumah.
Berangkat dari situ, Gerald kembali menggaris bawahi kebijakan sekolah dalam penggunaan internet, yang disebutnya dengan Acceptable Used Policy (AUP). Dalam hal ini, beliau menegaskan anak yang terlibat dalam situs terlarang adalah anak yang memang berniat mengaksesnya. Sebaliknya, mereka akan mengalihkan situs tersebut bila mereka tidak menginginkannya.
Jadi, kunci utama sebenarnya adalah empowerment, bukan control terhadap anak maupun kebijakan sekolah itu sendiri. Lalu, Gerald pun mengajak peserta yang terdiri dari guru dan orang tua murid agar memiliki keinginan untuk memulai dan terus belajar menggunakan teknologi di setiap saat membimbing anak dan siswanya dalam menggunakan teknologi. Gerald mengharapkan, para guru dan orang tua bisa berkomunikasi dan berbagi pengalaman saat mereka kembali ke sekolah ketika menerapkan teknologi di kelasnya.
Tentu hal ini tidaklah mudah bagi seorang guru ataupun orangtua dalam mempersiapkan anaknya sebagai ahli waris teknologi di dunia pendidikan. Perlu adanya komitmen yang kuat dan jalinan kerjasama yang baik antara pemerintah, kepala sekolah, guru, siswa dan orangtua serta masyarakat dalam merubah paradigma ini.
Ya, sebuah perubahan yang baik perlu diselaraskan dengan cara pandang yang baik pula. Kita tak lagi dapat bersembunyi dari pesatnya perkembangan teknologi dan informasi. Banyak aspek kehidupan yang belum lahir 20 tahun yang lalu, kini hadir di tengah-tengah kita, di jenis lapangan kerja baru, materi perkuliahan baru, serta bisnis dan industri baru, baik skala kecil, menengah, maupun besar.
Perubahan akan terus berlanjut, namun paradigma kita, khususnya guru dan orangtua, pun harus mampu menyesuaikan diri dengan positif. Sekarang, apakah sistem pendidikan, kurikulum dan staf pengajar di sekolah Anda siap menghadapi tantangan ini?
Harus siap. Karena, kita tidak akan pernah tahu perubahan apalagi yang akan terjadi 20 tahun lagi. Untuk itulah, kita harus mempersiapkan dan membekali generasi penerus kita menjadi pembelajar sepanjang hayat untuk dapat menciptakan inovasi baru dalam memberikan solusi bagi kehidupan masyarakat di masa mendatang.
http://www.kompas.com/read/xml/2009/04/14/08054874/hadapi.generasi.digital.kita.harus.siapbagian.iii-habis..
Posted by
6:01 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar