(Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh)
Tidak satupun di antara kita, para pembaca yang mengatakan bahwa sekolah itu tidak penting. Pasti, kita sependapat bahwa sekolah itu penting. Karena sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dipercaya sebagai lembaga yang menyiapkan masa depan kita dan anak cucu kita untuk meraih masa depan yang gemilang. Karena sekolah itu penting dan perlu bagi masa depan anak-anak, maka kalau ada anak – anak yang putus sekolah, ya bisa berabe. Anak-anak akan kehilangan masa depan.. Kalau tidak sekolah, maka masa depan pun suram. Kalau tidak sekolah, maka anak-anak kita akan menjadi gelandangan (walau sekarang sarjana saja menganggur). Barangkali, para pembaca masih ingat ketika Mandra mempromosikan sekolah dalam pariwara “AYO SEKOLAH” yang disponsori oleh UNICEF beberapa tahun lalu. Ungkapan Mandra itu masih segar terngiang. Katanya begini, “ Jangan sampai putus sekolah……….kalau putus sekolah bisa berabe. Begitulah pentingnya posisi sekolah bagi anak-anak kita. Oleh sebab itu, wajar kalau masyarakat kita sangat menggantungkan harapan masa depan anak terhadap sekolah. Seakan sekolah adalah dewa penyelamat bagi sebuah kehidupan yang lebih baik bagi masa depan anak-anak kita. Mungkin bukanlah hal yang keliru kalau Roem Topatimasang pada tahun 1998 menyebutkan “Sekolah itu Candu”. Roem mengkritik eksistensi sekolah yang telah menjadi tumpuan harapan kita itu. Kalau sekolah menjadi candu, kita bisa bayangkan bagaimana kala kita kecanduan. Ini yang namanya berabe bukan?
Ya, mungkin berabe. Tetapi semakin berabe, tatkala sekolah yang selama ini kita harapkan mampu membangun masa depan yang cerah dan gemilang bagi anak cucu kita, dalam realitasnya sangat jauh berbeda. Agaknya, kita terlalu menggantungkan harapan besar terhadap sekolah. Padahal sekolah kita saat ini sangatlah tidak berdaya. Sekolah kita sangat terseok-seok. Sekolah kita sedang sakit, bahkan berada pada kondisi yang sekarat. Karena sekolah dihimpit oleh berbagai persoalan yang mendasar, mulai dari persoalan kualitas dan kuantitas guru, peralatan, kurikulum serta manajemen sekolah yang amburadul, yang bermuara pada rendahnya kualitas intelektual anak-anak kita. Nah, kalau begini kondisi sekolah kita, bagaimana sekolah mampu membangun masa depan anak cucu kita yang gemilang? Sangat tidak mungkin bukan ?
Ironisnya, ketika kondisi sekolah kita kini banyak yang impotent, berkualitas rendah untuk melahirkan lulusan-lulusan yang ideal, kebanyakan kepala sekolah, terutama sekolah-sekolah yang sudah terlanjur dilabelkan dengan status favorit atau sejenisnya, sering kelihatan pongah dan bangga,karena capaian angka UAN tinggi. Para pejabat pendidikan di dinas pendidikan dan Depdiknas banyak pun ikut syur (birahinya naik) dengan hasil (baca angka) yang dicapai oleh anak-anak usai Ujian Nasional (UN) digelar. Seakan-akan semua angka tinggi yang diraih anak didik adalah hasil dari kerja keras sekolah. Padahal, capaian itu tidak semata-mata diraih oleh keberhasilan sekolah. Kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan selayaknya tidak mengklaim kalau hasil (angka yang belum tentu diperoleh dengan jujur itu) adalah sebuah keberhasilan sekolah. Karena dalam realitas kontemporer, sekolah saja kini tidak cukup. Karena kebanyakan sekolah di daerah kita maupun di Indonesia kini telah gagal memanusiakan peserta didik. Jangankan untuk memanusiakan peserta didik, untuk memperoleh nilai UN saja banyak sekolah yang tidak mampu.
Bimbel Masuk Sekolah
Kepala sekolah, guru, pejabat atau birokrat pendidikan akan kebakaran jenggot atau marah, apabila dikatakan bahwa sekolah telah gagal untuk menyiapkan masa depan anak didik yang gemilang. Mereka pasti akan membantah. Tentu saja tidak jadi masalah. Kita bisa menggunakan banyak alat ukur untuk membuktikan kegagalan tersebut. Salah satu indicator kegagalan sekolah menyiapkan peserta didik menjadi manusia yang cerdas dan berkualitas bisa diukur dengan muncul lembaga-lembaga pendidikan non formal di dalam masyarakat. Ketika sekolah gagal mengajarkan bahasa Inggris di sekolah, orang tua terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk mengantarkan anak-anak mereka ke kursur bahasa Inggris. Ketika sekolah gagal membuat peserta didik bisa terampil dengan matematika, fisika dan biologi, maka orang tua harus mengantarkan anak-anak mereka ke kursus matematika, fisika, kimia dan biologi. Ketika sekolah gagal mengajarkan pelajaran akuntansi dan lainhya, maka orang tua, sekali lagi harus mengantarkan anak-anak mereka ke kursus-kursus. Kegagalan sekolah ini kemudian dimanfaatkan oleh lembaga pendidikan non formal. Walaupun kursus mahal dan waktu belajar lebih pendek dibandingkan dengan waktu di sekolah, lembaga –lembaga ini dari waktu ke waktu terus tumbuh menjamur. Biaya mahal tidak begitu dipersoalkan, asal nilai anak setelah ujian nasional tetap tinggi. Yang penting nilai tiga mata pelajaran yang diuji dengan standard nilai yang sudah ditetapkan bisa tercapai.
Nah ketika pemerintah terus menaikkan standard kelulusan ujian nasional (UN), sekolah-sekolah menjadi kalangkabut. Sekolah-sekolah semakin kehilangan rasa percaya diri. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kulaitas sekolah dan juga semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah. Ujian nasional di satu sisi dapat dijadikan sebagai pemantik peningkatan kualitas sekolah (peserta didik). Namun di sisi lain, ujian nasional (UN) menjadi sesuatu yang menakutkan. Ujian nasional menjadi tujuan, bukan sesuatu yang dijadikan sebagai alat evaluasi saja. Banyak sekolah yang tidak mampu menyiapkan anak didik untuk bisa mencapai angka atau standar kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya, peserta didik, orang tua, bahkan guru di sekolah berpaling untuk mengirimkan anak-anak (peserta didik) ke lembaga Bimbingan Belajar.
Kehadiran lembaga bimbingan belajar yang kini menjamur di seluruh Indonesia, bukan lagi sebagai sebuah alternatif bagi anak-anak, tetapi sudah menjadi sekolah kedua dan bahkan utama. Karena lembaga bimbingan belajar dipandang mampu menjawab persoalan peserta didik dalam menghadapi ujian nasional. Celaka bukan ? Inilah realitas dunia pendidikan formal kita saat ini, yang harus segera menjadi perhatian setiap orang, tertama mereka para pejabat yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Kehadiran banyak lembaga bimbingan belajar (Bimbel) di dalam masyarakat kita akhir-akhir ini, pada dasarnya dapat menjadi sebuah alternatif bagi peserta didik yang menghadapi kesulitan belajar di sekolah. Namun, sangat disayangkan bahwa lembaga bimbingan belajar tersebut bukan saja membuka praktek di luar sekolah. Akan tetapi sejak beberapa tahun yang lalu, banyak sekolah yang mengundang dan menggunakan jasa lembaga bimbingan belajar untuk mendongkrak kualitas lulusan sekolah. Untuk kota Banda Aceh, hal ini banyak dilakukan oleh sekolah-sekolah yang sudah terlanjur difavoritkan yakni SMA-SMA yang dijuluki sebagai sekolah favorit. Caranya adalah dengan membuka program belajar pada sore hari di sekolah. Fenomena ini, terjadi di banyak kota, terutama kota besar. Majalah Tempo edisi 26 Maret-1 April 2007 di halam 76 menuliskan “ banyak sekolah menggandeng lembaga bimbingan belajar untuk membantu siswa menghadapi ujian nasional. Hasilnya tak selalu meyakinkan. Lembaga ini semakin beken di kalangan siswa dan guru sekolah. Dulu lembaga semacam ini hanya digunakan siswa SMA untuk membantu persiapan ujian masuk perguruan tinggi negeri.Kini, bimbingan belajar juga menjadi semacam obat penangkal kecemasan menghadapi ujian nasional. Tak cuma siswa SMA tetapi juga siswa SMP. Begitu popularnya lembaga bimbingan belajar saat ini.
Nah, ketika sekolah semakin loyo dan tidak mampu menyiapkan peserta didik menghadapi ujian nasional yang setiap tahun semakin meningkat standardnya. Saat sekolah sudah tidak berdaya menyiapkan peserta didik menjadi manusia Indonesia yang cerdas. Kini telah hadir bimbingan belajar yang menjawab persoalan dan kebutuhan peserta didik dan keinginan orang tua yang mengejar angka. Kehadiran lembaga ini kian menjamur dan bahkan langsung mengintervensi sekolah. Bertumbuh kembangnya lembaga bimbingan belajar di satu sisi memang sangat baik,karena bisa dijadikan sebagai alternatif bagi para peserta didik. Namun, kala bimbingan belajar kini menjadi “pelipur lara”bagi peserta didik dan orang tua, maka pertanyaan kita, apakah kita masih membutuhkan sekolah ?
Selayaknya, para praktisi pendidikan di sekolah seperti guru dan kepala sekolah, para birokrat pendidikan yang bersinggsana di Dinas pendidikan kota dan provinsi, secepatnya melakukan introspeksi. Secepatnya memperbaiki citra sekolah dengan meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini perlu, agar masyarakat tidak dibebani oleh kegagalan sekolah dalam menyiapkan peserta didik. Secepatnya para ahli pendidikan yang ada di Dinas Pendidikan kota dan Dinas Propinsi turun tangan menangani pendidikan secara sungguh-sungguh dan selalu committed terhadap pencapaian visi pendidikan yang sudah disusun dalam strategic planning yang sudah disusun oleh Dinas pendidikan. Apabila hal ini tidak diperbaiki, sebaiknya sekolah kita tutup. Kita pun merasa kasihan terhadap peserta didik dan orang tua yang tidak mampu mengantarkan anak ke lembaga bimbingan belajar karena tidak mampu membayar biaya bimbingan belajar yang cukup besar. Kondisi ini akan berbahaya bagi dunia pendidikan kita. Semoga saja, para birokrat pendidikan kita mau membuka mata.
Sumber : Mailinglist Klub Guru Indonesia
Ditulis dalam Artikel & Opini
Posted by
4:59 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar