OLeh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Apa yang terlintas dalam fikiran siswa Sekolah Dasar di zaman dulu bila lonceng pulang segera berdering, misal tahun 197O-an dan 1980-an, tentu saja mereka ingin segera pulang agar bisa menyantap nasi dengan lauk pauk, goreng tempe, goreng terong dan sepotong goreng ayam (seperti dideskripsikan dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia saat itu) kemudian melakukan petualangan, bersepeda-sepeda, main layang-layang, memanjat pohon manggis, membantu orang tua menggembalakan ternak sampai kepada memancing belut dan berburu burung pipit di sawah dengan catapel. Siswa SD yang berorientasi ingin maju mungkin ingin masuk les bahasa Inggris, les mengetik, sampai kepada les elektronika.
Kata sebahagian orang bahwa sikap anak anak sekitar 20 atau 30 tahun silam menghadapi sekolah penuh dengan tanggung jawab. Mereka takut dan malu bila ternyata memperoleh nilai merah dalam rapor, mengikuti ujian dalam keadaan tidak siap dan tidak naik kelas. “Itu kan dulu, dimana motivasi instrinsik- motivasi yang berasal dari dalam diri- sangat tinggi”. Bagaimana kenyataanya dengan anak zaman sekarang ?
Cukup aneh dan bisa membuat kita kaget. Bahwa sebahagian anak anak sekarang ada yang masa bodoh dan kurang peduli dengan urusan sekolah. Mereka kurang peduli dengan PR, kurang peduli apakah guru mau memberi mau ujian atau tidak, apakah mau remedial atau mau tinggal kelas. Yang merasa lebih peduli dan jantungnya bisa copot adalah orang tua mereka sendiri. “sekarang tampaknya yang bersekolah itu adalah orang tua, sementara sang anak cuek cuek saja”, demikian komentar salah seorang orang tua siswa.
Apa yang terlintas dalam fikiran siswa Sekolah Dasar sekarang (dan juga dalam fikiran siswa SMP dan SLTA) bila mendengar bel tanda waktu pulang ?Belum tentu mereka membayangkan untuk buru buru menemui ayah ibu, ingin menyantap hidangan makan siang yang lezat, ingin sholat zuhur, ingin membuat PR, atau ingin untuk segera bertualang hingga main bola sepuas puasnya. Namun yang terlintas dalam fikiran mereka adalah bagaimana agar bisa segera memperoleh tempat duduk didepat komputer pada cafenet atau warung net. Membayangkan betapa asyiknya bisa main game on line.
Ada dua permainan game on line yang popular diantara permainan lain yaitu permainan empire dan poker. “Permainan empire adalah permainan koloniaL, ada yang menjajah dan ada yang terjajah. Pemain sendiri berperan sebagai penjajah yang menyerbu negeri orang dengan menunggang kuda. Permainan ini membuat kita punya strategi dan lebih agresif. Kalau permainan poker adalah semacam permainan berjudi, pakai kartu dan ada taruhannya, walau tidak memakai uang yang sebenarnya. Pemain bisa jadi emosional dan marah marah. Kalau ada orang dalam box internet berkata jorok, marah marah, pasti mereka sedang main game on line yang bernama poker”, kata Muhammad Fachrul Anshar (12 tahun ) menjelaskan. Pemilik cafenet dan warnet yang peduli tentu sangat tepat bila memberi peringatan agar pengguna internet tidak membuka situs porno dan berkata jorok dan kasar.
Permainan game on line memang sangat mengasyikan, ditambah lagi karena pemilik warnet juga memanjakan pengunjung cilik dengan fasilitas box yang sejuk, tempat duduk nyaman dan headphone yang bagus serta harga agak yang miring. Sekarang internet sudah menjadi industry ICT milik rumah tangga, apalagi dengan modal cuma pulsa telpon namun bisa meraup uang jajan siswa sampai mereka tekor atau deficit. Memang dalam pengamatan bahwa banyak siswa SD sampai siswa yang lebih besar menjadi pencandu internet- game on line- lebih betah berada dalam box net selama berjam-jam, menahan lapar, enggan untuk pulang, menahan panggilan orang tua sampai uang jajan dan kalau perlu uang sekolah mereka dihamburkan di sana.
Inilah yang menjadi keluhan banyak orang tua terhadap prilaku anak mereka yang timbul akibat menjamurnya industry internet- ada internet yang diberi izin sampai kepada internet liar. Dahulu orang tua protes dan mengutuk usaha hiburan yang bernama play station. Karena perhatian anak anak banyak terfokus hanya untuk datang ke play station dan enggan untuk belajar di dalam kelas. Sering siswa membolos dan lari ke play station. Sejak saat itu play station liar dan play station pengganggu telah menjadi musuh guru, orang tua dan musuh siswa dalam belajar, karena ia mampu menghancurkan minat dan motivasi belajar mereka.
Tentu saja banyak orang tua berharap agar play station penganggu segera lenyap. Kini play station mungkin sudah agak lenyap atau kurang diminati karena suasananya terlalu hiruk pikuk. Namun timbul lagi gangguan belajar yang lebih dahsyat bagi siswa yang tidak bisa mengontrol diri yaitu game on line. Sekali lagi bahwa game on line bisa membuat pengguna internet – para siswa- tergila gila, terbius hingga lupa diri untuk pulang.
Industry internet yang menjamur di suatu kota/ desa atau nagari mampu menyedot banyak pelajar. Orang tua yang anak mereka masih belajar di SD atau SMP sering cemas. “wah anak ku selalu lambat pulang, aku cemas kalau ia tertabrak motor, atau memperoleh gangguan dari orang yang jahat”. Orang tua yang selalu menunggu dengan harap harap cemas, namun sang anak tenang tenang saja dalam box internet.
Benar bahwa tumbuhnya industry internet yang dikelola oleh bisnis rumah tangga atau bisnis hiburan kecil kecilan telah membuat prilaku baru bagi generasi junior ini. Mereka tidak lagi gagap teknologi, mereka telah mampu mengotak atik key board computer dan kaya dengan pengalaman dalam dunia maya. Namun mereka menjadi lebih agresif, kurang sabaran di rumah. Karena game on line juga mendorong mereka untuk agresif. Mereka juga menjadi kurang gerak dan kurang berkeringat, adakalanya mereka terbiasa senang menahan lapar, menahan kencing (maaf). Kalau ini terbiasa dipastikan mereka akan kronis untuk sakit lambung, sakit usus dan sakit ginjal kelak.
Kalau semua siswa di Indonesia sudah pada kecanduan dengan game on line sampai berjam-jam, kurang gerak dan kurang keringatan, maka diduga bahwa akan tidak ada bangsa Indonesia lagi yang mampu memenangkan kejuaraan olah raga di tingkat Asean, Asia apalagi tingkat dunia. Negara luas tetapi kualitas tenaga manusianya “letoi tidak berdaya”. Juga bila banyak siswa yang cuma jadi kerajingan dengan game tetapi pemalas dalam bergerak dan berkarya, maka kelak bila telah dewasa mereka akan menjadi orang dewasa yang juga pemalas dan jadi beban hidup bagi orang lain “yang cuma cerdas otak, pintar berangan angan tetapi malas dalam melakukan action. Kecanduan game on line pada sebagian siswa membuat mereka punya karakter baru. Yaitu karakter boros, pemalas dan sampa kepada karakter suka mencuri uang teman atau uang orang tua.
Rasanya anak laki-laki penulis yang sekolah di SD sudah menjadi anak yang baik, karena santun, taat, patuh, suka belajar dan suka membantu. Namun akhir akhir ini sering telat sampai berjam-jam pulang ke rumah. Tentu saja ibunya jadi cerewet dan rewel. Kadang- kadang ia juga suka bertengkar dengan adiknya gara gara uang dalam celengannya dicongkel. Atau ibunya separoh menuduh karena dompetnya sering berantakan. Sampai suatu hari ia jadi malu tertangkap tangan menghela uang yang cuma dua ribuan. Tapi itu kan karakter mencuri. “Apakah ayah mengajar mu untuk mencuri uang ?” Bisik penulis padanya agar ia tidak merasa dipermalukan.
Penyebab prilaku mencurinya adalah karena ia merasa uang jajannya tidak cukup karena ternyata setiap hari menjadi pelanggan game on line. Karena uangnya habis di internet ia pun sering pulang jalan kaki sejauh 4 km “Oke, ayah tambah uang jajan kamu dan kamu hanya boleh pergi ke internet hanya untuk satu jam. Sisakan uang untuk ditabung. Bila melanggar aturan kamu dihukum dan mencangkul rumput depan rumah selama satu jam !”. Sangat bijaksana bila orang tua selalu berbahasa santun pada anak dan menjauhkan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Namun bagaimana nasib anak lain yang sama karakternya, namun orang tua mereka suka melakukan KDRT?
Internet dan game on line punya manfaat positif, seperti diungkapkan di atas. Anak jadi cerdas, kaya dengan kosa kata, tangkas, wawasan luas dan tidak gagap teknologi. Namun efek negatif akibat ketidak mampuan mereka dalam mengendalikan diri, maka mereka menjadi “addicted” atau ketagihan, lupa pulang, malas belajar hingga bermasalah dengan orang tua dan guru di sekolah. Solusinya adalah agar ada pengaturan. Sudah saatnya ada penertiban internet liar, walau telah menjadi industry rumah tangga, karena sudah menyangkut kenyamana anak anak secara umum. Guru di sekolah mungkin juga harus menyediakan internet di pustaka tetapi tidak untuk game melulu (namun dalam kenyataan bahwa banyak kodisi SD yang sangat parah- dinding kelas jorok dan bangku reot). Orang tua juga perlu bijaksana dalam memahami dan memberi anak tanggung jawab dan perhatian. Yang lebih penting lagi agar para penguasa public (pemerintah) mulai dari ketua RT, ketua pemuda, kepala Desa, Wali nagari, sampa kepada pemberi izin warnet (legislatiif, eksekutif dan yudikatif) juga perlu mengatur kepemilikan warnet terhadap siswa SD dan SMP yang tidak mungkin mampu mengendalikan diri dan emosi mereka.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar