Bunga Kehidupan sebuah blog membahas tentang pernik pernik kehidupan yang terfokus pada masalah pendidikan (The life flower one blog discussed about something that was interesting to the world of education)

Perkenalkan, Nama Saya Egois

Perkenalkan, Nama Saya Egois


Oleh Samuel Mulia

Teman saya bercerita, akhir pekannya bersama beberapa orang dua minggu
lalu berlangsung dalam adu mulut dengan salah satu pengguna ATM.
Sementara teman lain menghabiskan akhir pekan dengan mabuk di sebuah
kelab malam. Saya lebih tertarik dan mungkin juga Anda, pembaca, untuk
mendengarkan cerita teman saya yang bersilat lidah ketimbang yang mabuk.

Sabtu malam, sekitar pukul sembilan, teman wanita saya itu pergi ke
ATM. Tiba di tempat itu, dua wanita ada di dalam ruang ATM. Setelah
menunggu cukup lama, dua wanita itu tak usai juga menyelesaikan urusan
mereka.

Teman saya memutuskan untuk menegur dengan halus, “Ibu masih lama?”
Satu dari wanita itu menjawab, “Enggak, bentar lagi, kok.”

Bentar lagi kok-nya itulah yang mengundang sederet manusia yang
mengantre di belakang teman saya itu gerah, karena ternyata tidak
sebentar.

Akhir kata kedua wanita itu menyelesaikan urusan mereka. Teman saya
tak mempermasalahkan, tetapi seorang di belakang teman saya nyeletuk,
“Bentar, bentar. Lo pikir ATM punya emak lo?”

Maka kedua wanita itu membalas, “Kami lagi transfer uang.” Dijawab
lagi, “Ya…, tetapi kelamaan.”

Mempersingkat cerita, kedua wanita itu naik pitam sambil masuk ke
dalam mobil dan pergi sambil membunyikan klakson mobil keras-keras.
Manusia-manusia yang sudah kalap mengantre kelamaan membalas
ramai-ramai, “Biar mam–s. Mam—-s.”

Egois I

Mendengar cerita itu, saya seperti merasa teman saya sedang membuka
borok saya. Karena saya itu, yaa… juga suka begitu. Bisanya hanya
memikirkan diri sendiri.

Karena ATM bisa untuk mentransfer segala rupa, maka aktivitas berdiri
di depan benda canggih itu bisa berlama-lama. Dari membayar air,
listrik, kartu kredit yang jumlahnya ada enam, bayar utang ke sana,
bayar utang ke sini, bayar tagihan telepon rumah, sampai telepon genggam.

Saya senang-senang saja, dengan satu mesin tak perlu lagi ke
mana-mana. Teknologi memang benar-benar memanjakan dan membuat segala
sesuatu begitu mudah, praktis, dan cepat. Meski buat orang macam saya,
akan berakibat membuat orang harus menunggu kelamaan dan menjadi kesal
karenanya.

Mau keluar dan mengantre lagi? Ogahlah ya. Hare gene ngantre? Mungkin
mulai sekarang semua ATM harus memprogram waktu sekian menit untuk
transaksi, seperti telepon saya dulu di kantor yang setiap enam menit
putus sendiri. Meminjam istilah di dunia bursa saham, harus ada auto
rejection.

Demikian juga kalau sedang ingin membeli bensin bersama teman, karena
saya tak punya mobil. Uang pembayaran bensin tak disiapkan terlebih
dahulu. Saya atau teman baru mengeluarkan dompet, menanyakan harga,
dan baru membayar tepat kalau sudah selesai kendaraan diberi minum.

Padahal, kami membeli bensin sudah berulang kali, selalu memberi tahu
berapa liter yang kami butuhkan, dan kami tahu harga bensin per liter
berapa. Yaaa…, tetapi begitu deh. Berulang kali ke pompa bensin,
berulang kali kebiasaan buruk itu dilakoni.

Kejadian macam itu tak hanya dalam soal membayar bensin, membayar tol
pun demikian. Saya tahu benar ke bandara itu ada tiga pintu tol yang
harus saya lewati dan untuk melewati ketiga pintu itu, membutuhkan
uang sebesar sepuluh ribu lebih seribu rupiah. Saya tahu itu, tetapi
tak mempersiapkan dananya lebih dahulu. Saya baru menyiapkan uang
setelah berhenti tepat di muka loket pembayaran.

Di depan loket itu, saya baru merogoh-rogoh dompet, cari uang receh ke
sana-kemari. Nanti kalau mobil di belakang mulai tak sabar dengan
menyalakkan klakson, tuat… tet… tuat… tet, maka saya mengomel dan naik
pitam, “Sabar dikit, napa? Penjaga tolnya cakep, nih. ”

Di mal pun demikian, apalagi kalau sudah berjalan bersama teman-teman.
Naik eskalator terus menguasai eskalatornya dengan berdiri berjejer
tiga orang ke samping sehingga pengunjung yang mau lewat terlebih
dahulu harus sampai berkata permisi.

Sudah mendengar kata permisi itu saja, saya dan teman-teman pun tak
mengubah formasi yang merepotkan orang banyak itu. Kami tak pernah
berniat berdiri berjajar di pinggir kanan dan membiarkan sisi kiri
menjadi kosong sehingga orang yang hendak terburu-buru bisa berjalan
tanpa harus dihalangi.

Egois II

Kejadian hanya memikirkan diri sendiri itu pun terjadi di eskalator
datar yang tersedia di lapangan terbang. Eskalator disediakan agar
dapat digunakan untuk berjalan lebih cepat dibandingkan jalan kaki biasa.

Biar begitu, saya berdiri di tengah eskalator, atau kalau sedang
sedikit waras, di salah satu sisinya, tetapi membiarkan kopor
tergeletak di tengahnya. Dengan demikian, orang harus diam di belakang
saya dan tak bisa maju. Kalaupun mau maju, mereka perlu menegur saya.

Entah sadar atau tidak, saya menganggap ATM itu punya saya, eskalator
ini punya saya, pompa bensin juga punya saya. Jadi, ngapain saya
memikirkan orang lain, lha wong itu punya saya.

Saat teman wanita saya melaporkan cerita akhir pekannya seperti itu,
kepala saya mulai berpikir, sebaiknya saya harus sering menulis
kejadian sederhana yang setiap hari saya lakukan dan yang
menyengsarakan orang lain.

Sebuah kebiasaan sederhana yang seharusnya tak perlu dipelihara,
tetapi saya malah memupuk dan menyiangi dengan rajin. Mungkin karena
saya mengingat kalau di rumah ibadah tempat saya memanjatkan doa ada
fasilitas pengakuan dan pengampunan dosa. Jadi, mengapa perbuatan
buruk itu tidak disiangi? Kalau fasilitas itu ada dan disediakan,
sayang beneuuuur… kalau tak dimanfaatkan, bukan?

Maka, falsafah mari kita berbuat dosa, yang salah satu bentuknya hanya
memikirkan diri sendiri itu, menjadi falsafah saya setiap hari.
Padahal, katanya, kepentingan orang banyak harus didahulukan ketimbang
kepentingan pribadi. Tetapi, itu kan katanya. Katanya siapa? Saya
enggak tahu. Mungkin karena saya enggak tahu dan kadang enggak mau
tahu, maka saya menjadi manusia seperti itu.

Jadi sebaiknya, tulisan-tulisan saya itu sebetulnya tak perlu
berat-berat, tak perlu sampai harus mengernyitkan dahi pembaca. Apalah
arti tulisan kalau mereka sampai mengernyitkan dahi dan kemudian tak
mengerti mengapa mereka sampai mengernyitkan dahi.

Tak perlu juga membuat tulisan yang membuat orang terkagum-kagum akan
cerita dan filosofi yang dituangkan ke dalamnya, yang membuat saya
bisa jadi salah satu calon penerima hadiah Nobel, tetapi dalam
kehidupan di luar menjadi penulis, kehidupan sebagai manusia yang
katanya makhluk sosial, saya malah tetap memilih menjadi manusia yang
senangnya diumpat orang. “Mam—-s aja lo.”

Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup
http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2008/11/02/ 01562522/ perkenalkan. nama.saya. egois




Posted by Health Care , Published at 5:04 PM and have 1 comments

1 komentar :

tidar mengatakan...

hehehe ... artikelnya nyentil banget