Oleh : Wildan Rasyid
WILDAN RASYID, Siswa SMAN 3 Batusangkar
Tentu kita semua tahu dengan kata “sekolah”, yaitu tempat belajar dan menuntut ilmu bersama teman-teman dan guru (guru, yang tentunya lebih pintar dari murid yang diajar). Belajar sangat identik dengan sekolah, sebuah lembaga formal perdidikan. Namun aktifits belajar tidaklah hanya terjadi di sekolah. Jauh dari itu belajar bisa dilakukan dimana saja, seperti yang terungkap dalam pepatah Minng, “Alam Takambang Jadi Guru”, Apa saja yang ada di dunia ini, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan semuanya disebut dengan alam, sehingga kita dapat belajar dari nya.
Siapa bilang orang tidak bersekolah itu bodoh, dan tidak semua orang yang tidak bisa kuliah berarti gagal dalam hidup. Buya Hamka, orang yang tidak lama mendapatkan pendidikan formal, namun ia mampu menjadi sastrawan terkenal dengan karya-karyanya, menjadi ulama besar dan berperan penting dalam kancah politik bangsa ini. Thomas Alfa Edison, siapa menyangka, ia yang mendapatkan pendidikan formal hanya sampai Elementary School (Sekolah Dasar) di Port Huron, Michigan, USA, dikeluarkan dari sekolah karena dianggap idiot. Namun ia mampu menjadi penemu terkenal di seluruh dunia. Tercatat 1000 macam penemuan yang telah dipatenkannya, seperti : lampu listrik, fonograf, aki, telegram, piringan hitam, kamera film, serta proyektor, bahkan ia juga menyempurnakan telepon agar dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ada pendapat beberapa pakar yang rada-rada “sinis” dengan sekolah, misalnya Edward de Bono, penulis buku New Thingking For The New Millenium, yang mengatakan bahwa sekolah adalah academics games (permainan akademis) yang memberi kontribusi bagi pengkerdilan cara berpikir. Menurutnya, sekolah atau yang ia sebut dengan academics games itu adalah permainan yang khusus sekali, yang mana manusia diharuskan menyerap, mengingat, atau menghafal banyak hal, baik berupa informasi yang disampaikan melalui tulisan, maupun dengan metode ceramah yang biasa dilakukan guru-guru yang pemalas. Semua harus disimpan baik-baik, dan bila diminta kembali (yang dikenal dengan ujian) kita harus mengeluarkannya dalam bentuk tulisan di lembaran jawaban. Seorang pelajar yang tidak terampil dalam mengingat dan menyimpan informasi akan mengalami KO (knock out), kalah telak. Padahal ia memiliki potensi yang amat dahsyat, karena di dalam dirinya terdapat otak yang cerdas yang tidak tergantung pada pengetahuan yang disimpan.
Hal ini juga didukung oleh Paulo Freire, seorang pakar pendidikan asal Brazil, yang menyebutkan bahwa sekolah hanya menjadikan otak manusia laksana bank informasi. Informasi itu didepositokan ke dalam sel-sel otak . Dan pada suatu saat, kita harus menarik deposito itu kembali. Artinya apa ?, otak kita yang berharga ini, super canggih dengan komponen-komponennya (made by Allah) ini, hanya sekadar tempat persinggahan dan pelabuhan atau tempat penampungan informasi saja.
Apakah sekolah yang demikian, yang diharapkan mampu menghasilkan anak bangsa yang dapat merubah bangsa ini menjadi lebih baik ? Tentu tidak dan sekarang bagaimana lagi ? Adalah sangat perlu bagi kita para pelajar untuk mencari sekolah yang dapat membangun kita, untuk bisa menatap masa depan.
Kalau kita pikir-pikir bahwa pendapat Edward de Bono itu, ada benarnya juga bukan? Terkadang, anak didik seolah-olah dijadikan alat, demi menjaga nama baik sekolah. Namun kita harus berpikiran positif juga, bahwa tidak semua sekolah yang memiliki pemikiran yang rendah demikian. Saran buat pelajar yang mau melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan sekolah yang lebih tinggi, yaitu pilihlah sekolah yang tepat dengan segala mutu dan kualitasnya yang dapat bersaing (kompetisi) dalam rangka meningkatkan Sumber Daya Manusia anak bangsa ke depan. Pilihlah sekolah yang tidak menjadikan kita sebagai alat, tapi sekolah yang menjamin masa depan kita. OK !
Dewasa ini mencari sekolah dengan guru-guru yang sejati, sungguh sulit. Kebanyakan sekolah yang ada hanya menjadi tempat orang-orang penghafal, yang hasil hafalannya itu harus dimuntahkan dalam lembaran-lembaran kertas ujian, yang akhir dari semua itu diberikan nilai. Jika ingin mengetahui potret kemampuan otak, kita bisa melihat dari hasil atau nilai yang diberikan, “Wah…nilaiku 95, aku 90…! Kalau aku 100..!” Apakah nilai otak kita, cukup dihargai hanya dengan nilai 100 ?
Sebenarnya, banyak orang yang telah menganut “ No School” atau tidak mengikuti sekolah formal, bahkan menyorakkannya melalui kampanye kesana-kemari, yang tentunya dengan alasan tersendiri yang cukup logis. Namun kita tak usahlah memikirkan hal itu, atau bahkan ikut dalam kampanye anti terhadap sekolah formal. Tapi kita perlu berpikir bijak untuk mempersiapkan sekolah dengan cara yang pas. Singkatnya, jangan jadikan sekolah hanya tempat sekedar untuk menghafal, utnuk mencari nilai semata, namun kita harus menjadikan sekolah sebagai tempat yang betul-betul dapat mengembangkan dan menumbuhkan kembangkan daya potensi dan bakat diri kita, serta dapat menyalurkan daya kreasi, imajinasi dan apresiasi yang ada dalam diri kita.
Penciptaan generasi yang unggul itu tidaklah instant, alias Bim Sa La Bim, namun butuh proses dan langkah-langkah jitu, yang timbul dari interaksi di lingkungan sekolah, mulai dari stakeholder, guru, dan murid, serta karyawan yang ada di sekolah itu. Untuk itu ada beberapa strategi untuk dilakukan agar kita tidak menjadi pelajar pasif atau konseptor, yang menjadikan sekolah hanya sebagai tempat mengahafal :
1. Kita harus mempersepsikan sekolah sebagai tempat memikirkan ciptaan Allah. Karena alam ini diciptakan Allah untuk kita manusia, maka wajib bagi kita untuk menjaga dan melestarikannya. Buang jauh-jauh pikiran bahwa the last target kita adalah nilai. Nilai memang penting, tapi bukan satu-satunya yang harus dipentingkan di sekolah.
2. Mengembangkan rasa ingin tahu. Caranya dengan banyak membaca buku-buku yang diminati. Jangan hanya memabca buku pelajaran karena ia bukan sumber utama, masih banyak sumber lain yang dapat membuat rasa ingin tahu kita berkembang. Kalau masalah harga, jangan terlalu dipaksakan, kita bisa membeli buku-buku itu diemperen atau loakan, Toh tidak ada bedanya dengan buku yang dijual di toko-toko besar dan mewah. Janganlah membeli buku karena luarnya saja, tapi terawanglah bahwa buku itu pas buat kita dan dapat membuat kita terinspirasi untuk lebih maju.
3. Menciptakan suasana yang kondusif untuk kita membaca dan belajar di kelas, rumah, minimal di kamar sendiri. Janganlah membatasi subjek buku yang kita baca hanya buku pelajaran tok, karena itu tak ada salahnya kalau kita setarakan posisi buku pelajaran dengan buku-buku inspirasi atau motivasi, buku pelajaran yang berisi kurikulum itu, bukanlah kitab suci. Tapi yang perlu dibuang ke tong sampah adalah buku-buku porno atau buku yang mengundang libido (nafsu seks). Kita tak layak mengkonsumsinya.
4. Ajaklah guru dan komponen sekolah utnuk mengkaji ulang cara belajar yang baik, tentunya dengan maksud agar pembelajaran lebih menarik dan efektif. Artinya bawalah ke ruang kelas media atau benda yang menjadi objek yang sedang dipelajari. Contoh : ketika belajar kesenian, yaitu mempelajari alat-alat musik, hadirkanlah berbagai alat-alat musik itu dan pelajarilah cara menggunakan dan memainkannya. Itukan lebih menarik dari pada hanya sekedar mengetahui dari buku dan membayangkannya. Kemudian kalau belajar biologi, misalnya mengenai peredaran darah. Kan lebih bagus dan menarik kalau menggunakan media, seperti menampilkan gambarnya dan peredarannya melalui infokus. Atau minimal, menggambarkannya di papan tulis. Jangan hanya mengandalkan gambar di buku. Agar anak tidak kaku dan mampu menganalisakan bentuk peredaran dan bagaimana peredarannya itu. Karena kalau tanpa dilengkapi dengan gambar, anak akan menghayalkan dan membuat penafsiran sendiri yang jauh dari yang diharapkan. Menurut penelitian, anak didik, khususnya remaja yang dalam pubersitas, cenderung mudah bosan dengan kegiatan yang kaku dan tidak menarik, atau istilah trennya tidak memacu adrenalin.
Kemudian mengingat daya tangkap anak didik yang berbeda, terkadang bagi anak yang bersifat fisual (memahami lewat penglihatan) metode yang disampaikan dengan metode ceramah (ucapan kata-kata semata, akan sulit baginya menangkap informasi atau pelajaran yang disampaikan.
5. Hilangkan budaya membuat contekan-contekan yang digunakan untuk menghafal atau bahkan disimpan sebagai “jimat” di kala ujian. Namun berusahalah pelajari subjek-subjek yang ada secara natural dengan menggalinya dari berbagai sumber.
6. Bersikap pantang menyerah ! “Orang kuat bukanlah orang yang selalu menang, tetapi adalah orang yang tegar dalam menghadapi kekalahan”
7. Jangan pernah berhenti utnuk belajar, jangan pernah puas dengan prestasi kita sekarang. Mario teguh pernah berpesan, ”Kenapa harus puas, kalau kita masih bisa berprestasi, kenapa harus puas, kalau kita bisa lebih sukses, dan kenapa kita harus berhenti bersyukur, kalau nikmat tuhan tak henti-hentinya mengalir kepada kita” Ingatlah kata pujangga kecil, ”Orang lemah itu adalah orang yang menjadi pemilik dari masa lalu, sedangkan masa itu sedikitpun tidak akan pernah dijumpai lagi” orang ini hanya membanggakan masa lalunya, “Di waktu SMP aku anak tim olimpiade Biologi (tapi sekarang selalu remedial). Aku dulu adalah anak juara kelas (tapi sekarang tinggal kelas), waktu aku SD dan SMP aku menjadi juara umum (tapi sekarang terancam di Drop Out/DO). Banyak lagi orang yang membanggakan masa dulu, dengan berbagai bahasanya. Hindarilah hal ini, jangan sampai kita menjadi pemilik masa lalu yang tak kunjung kembali. Tataplah masa depan, raihlah masa depan yang cemerlang, jadilah orang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, nusa, bangsa, dan agama. Karena Rasulullah bersabda, ”Sebaik-baik kamu adalah orang yang memberikan manfaat kepada orang lain”
Oleh karena itu, ubahlah pandangan yang menjadikan sekolah sekedar dalam konteks penghafalan informasi. Semua itu dapat kita ubah dengan memulainya dari diri kita sendiri. Mengubah diri sendiri jauh lebih baik dari pada tidak sama sekali.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar