Oleh : Wildan Rasyid
SMA Negeri 3 Batusangkar
Dewasa ini, sudah banyak guru yang pintar secara akademis, lulus dengan IP (Indeks Prestasi) yang tinggi, 3,5: 3,8, atau bahkan ada yang mendapatkan IP 4.0 sewaktu di perguruan tinggi. Namun setelah jadi guru, ada kalanya kepintarannya kurang mengalir kepada muridnya. Tak selamanya guru yang pintar, cerdas intelektualnya dapat mendidik dan menghasilkan siswa yang pintar juga. Katakanlah gurunya tamatan universitas favorit di Indonesia, seperti : UNJ (universitas Negeri Jakarta), UNP (Universitas Negeri Padang), UNIMED (Universitas Negeri Medan) dan lain-lain. Tetapi di dalam proses belajar, hanya sepersekian siswa saja yang mampu menerima pelajaran dengan baik. Kenapa demikian? Apakah siswanya yang bodoh, sehingga tidak dapat menyerapkan pelajaran dengan baik?
Tidak…! Pada dasarnya, siswa tidak ada yang bodoh, yang ada hanyalah perbedaan daya tangkap dan daya serap, namun itu tak dapat dijadikan alasan dalam proses belajar mengajar. Ada banyak factor penyebabnya, satu di antaranya adalah factor kehangatan emosional guru yang terekspresi lewat senyuman. Ada apa dengan senyuman?
Kurangnya ekspresi senyum dari guru kepada murid memang bisa membuat transfer ilmu jadi agak mandek. Bagaimana pun pintarnya sang guru, jika siswa kurang senang dengan gurunya, maka ilmu yang diberikan dalam proses belajar mengajar mustahil dapat diterima dengan baik. Apalagi kalau sang guru kurang ikhlas dalam mengajar, mengajar hanya karena tuntutan pekerjaan belaka. Oleh karena itu ciptakanlah suasana yang menyenangkan dengan membudayakan senyuman.
Jika ditanyakan kepada sang siswa, “mana yang kamu suka belajar dengan guru yang kualitasnya biasa-biasa tapi baik, ramah (mudah senyum) atau belajar dengan guru pintar tapi galak? ” Pasti siswa-siswa akan serempak menjawab “guru yang biasa biasa tapi ramah dan mudah senyum”.
Terkadang senyuman dianggap hal yang sepele, namun dibalik itu terdapat nilai estetika, rasa cinta, kasih sayang, kekeluargaan yang tentunya mempengaruhi psikologi dan sikap orang yang melihatnya. Ibarat sakit, senyuman adalah paracetamol yang dapat meredakan sakit. Bedanya senyuman tidaklah berbentuk atau berwujud, tapi secara rohaniahnya langsung mengobati hati yang gundah. Senyuman juga disebut dengan emulgator, yang mengangkat noda-noda, mengikis dendam-dendam, keluh kesah dan perasaan tak senang, sehingga yang tinggal hanyalah hati yang sejuk dengan pancaran senyuman yang bersahabat.
Banyak ungkapan yang dibuat murid, yang kemudian dipajang di dinding kelas. “Senyum adalah ibadah”, “Senyummu semangat belajar kami”, ” Senyummu jembatan ilmuku”, “ Senyum guru adalah obat belajar mujarat” Dan banyak lagi kata-kata indah untuk menerjemahkan senyum, menandakan perlunya senyuman guru bagi murid. Namun kenapa jarang sekali guru-guru yang mengindahkan kata-kata yang keluar dari hati murid-muridnya, yang mengharapkan ulasan senyum guru ketika masuk kelas.
Bisa kita bayangkan, guru yang dikenal killer, ditakuti para siswa karena kebringasannya, tiba-tiba hari ini berubah menjadi ramah, murah senyum. Tentunya para siswa akan bertanya-tanya, “Tuh bapak ke sambet dimana ya…? Jika saja hal itu berlangsung setiap hari, tentu siswa yang selama ini merasa takut , suka dongkol dan malas untuk belajar, terutama dengan sang guru, akan ada perubahan. Ia akan menjadi rajin, bahkan menyenangi sang guru. Selain itu siswa yang dulunya penakut akan jadi lebih berani untuk bertanya. Siswa yang dulunya pemalas akan mau memotivasi dirinya agar lebih rajin, dan siswa yang dulunya pelawan (pelaku rawan pencurian), suka dongkol, akan merubah akhlaknya. Senyumannya jadi ibadah bukan?
Sungguh luar biasa nilai sebuah senyuman yang dianggap sepele itu, nilai senyuman sama dengan sedekah, seperti sabda Rasulullah, “ Senyum adalah shadaqoh”
Sekarang telah disediakan program sertifikasi guru, yang dikenal dengan penggandaan gaji guru, itu terlepas dari plus minusnya, menuntut guru menjalankan profesi dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab. Jika guru mampu memenuhi itu, mereka akan memperoleh imbalan layaknya pekerja keras yang profesional di bidangnya.
Dalam pentransferan ilmu untuk mengembangkan kreativitas dan inovatif proses belajar mengajar guru mesti lebih banyak mengutamakan sikap santun dan rendah hati. Berbagai kekerasan oknum guru terhadap murid, yang belakangan mencuat, sungguh tak selayaknya terjadi, itu sama halnya guru mencoreng system pendidikan di tanah air.
Rekontruksi pendidikan yang akrab dikenal dengan Paikem (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) tidak akan dapat berjalan dengan baik, kalau tidak dengan kerja keras, tidak dapat dilakukan dengan setengah hati. Di tambah lagi zaman globalisasi sekarang yang membuat siswa berkembang lebih cepat, berbeda dengan siswa-siswa dulu, yang hidup dengan ilmu dan teknologi yang terbatas.
Bagaimana jika dalam pembelajaran guru berwajah garang dan ketus ?
Secara teknis, ketika guru masuk kelas dengan wajah yang garang, ketus, masam, atau dibilang angker, dipastikan kelas yang sedang ribut akan tersentak menjadi tenang. Baru saja sang guru berjalan dengan entakan kakinya yang kuat, siswa-siswa sudah pada cemas, “Pak Jhon datang…pak jhon datang…!” teriak mereka sambil berlarian ke tempat duduk. Suasana kelas berubah tegang dan murung. Sikap ketus dan masam guru secara spontan menular kepada semua siswa. Dengan bersikap demikian sang guru sepertinya bermaksud menampakkan kewibawaannya di hadapan murid-murid. Namun secara psikologi, sikap itu malah menghambat kelancaran proses pembelajaran. Bagaimana tidak…? Siswa merasa tertekan, siswa akan cenderung acuh tak acuh, kalau pun mengikuti pelajaran, itu hanya karena terpaksa dan terasa tersiksa. Jika siswa jadi masa bodoh terhadap pembelajaran dan gurunya, berarti proses belajar mengajar bisa di klaim gagal.
Lain halnya jika guru masuk kelas dengan wajah yang cerah, ramah, dan memancarkan seulas senyuman diwajahnya. Senyum yang tulus dari sang guru dengan akan cepat merembah, mengubah suasana kelas menjadi bergairah. Istilahnya, senyum merupakan bumbu dalam system pentransferan ilmu dari guru kepada murid-muridnya. Sebaik apapun model pembelajaran atau metode mengajar, yang telah dirancang sedemikian rupa, jika guru menyampaikan dengan sikap kaku dan ketus, terlebih lagi dengan tampang yang angker, singkatnya tanpa bumbu senyuman, maka hasilnya akan kurang maksimal. Namun sebaliknya, sesulit apapun pelajarannya, jika disampaikan dengan hal yang menarik yang dibumbui dengan senyum simpatik guru, maka gairah belajar itu akan timbul, hingga usaha dan kerja keras siswa untuk mendapatkan pelajaran itu akan terlihat jelas. Inilah pembelajaran yang diharapkan.
Tapi ingat janganlah menampilkan senyum yang dibuat-buat, siswa pantang dibohongi guru. Senyum guru mesti murni, muncul dari hati, sehingga jatuhnya juga ke hati. Karena senyum yang ikhlas, menandakan kasih sayang guru terhadap muridnya. Tapi bagaimana kalau ada masalah dengan mulut atau giginya? Seperti gigi ompong atau gingsul, bahkan mengeropos…? Yakinlah wahai guru-guruku! Siswa tak akan mempedulikan itu, mereka akan menghargai wajah teduh guru yang sedang tersenyum manis. Karena senyum adalah rahmat, yang mendatangkan kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain. Mengapa disia-siakan?
Orang yang mudah tersenyum menandakan ia orang yang dermawan. Tapi jangan terjemahkan dalam bentuk materi dulu. Orang Arab paling senang melihat orang yang mudah tersenyum dan selalu terlihat bersemangat dan ceria. Mereka menandakan orang seperti itu pertanda kemurahan hati, sikap lapang dada, dan ketanggapan pikiran. Sebuah syair mengatakan, ”Ketika kau melihat (senyuman) senantiasa seolah kau mendapatkan apa yang kau inginkan selama ini, sungguh tak ternilai harganya, karena, memang ia tak dapat untuk kau beli.”
Bagaimana keindahan senyuman itu ?
Berikut ini ada sedikit cerita ulasan tentang senyuman!
Pagi itu Pak Anto diserang oleh MKKS, Uuups…bukannya Musyawarah Kerja Kepala Sekolah, tapi “Masalah Klasik Keluarga Sederhana”, yaitu kekurangan uang belanja, istrinya marah-marah, siswa-siswanya bertengkar memperebutkan celana, baju, dan kaus kaki, itu karena ibunya suka membelikan barang yang sama untuk siswa-siswanya, ditambah mereka juga saudara kembar. Walau pertengkarannya kecil, tidak sampai ada piring yang terbang, bagaikan ufo melayang di angkasa, tidak ada piring yang pecah, tetapi cukup membuat kepala pak Anto pusing. Kemudian ia meninggalkan kesemberawutan keluarganya dengan hati yang gelisah, ia bawa pergi tancap gas dengan Honda Sebe-er nya alias Supra Fit Biru. Perjalanan pak Anto dipenuhi wajah yang cemberut dan tegang, hingga ia memacu sepeda motor tuanya itu dengan kecepatan penuh. Otaknya pun terasa berputar-putar memikirkan masalah rumah tangganya.
Setelah sampai di gerbang sekolah, tampak siswa-siswa berseragam putih abu-abu berduyun-duyun memasuki gerbang, pak Anto memperlambat laju sepeda motornya dan membuka helmnya. “Pak…!” Sapa seorang murid, “Assalamu’alaikum, Pak ! sahut murid-murid lainnya sambil tersenyum, menyapa dan bergantian menyalami tangan pak Anto. Pak Anto menjawab salam dan tanpa disadarinya, terasa senyuman siswa-siswa muridnya telah menghipnotis pikirannya, melupakan kegelisahan dan masalah yang ia hadapi di rumah tadi. Pada akhirnya ia pun tersenyum lebar. Suatu keajaiban baru saja terjadi. Pak Anto yang awalnya berada dalam kedumelan hati, kegelisahan, marah , kacau dan pusing yang bersatu membuat otak pak Anto rasanya mau pecah, sekarang hilang begitu saja, seolah telah larut oleh pancaran senyuman yang ia ulaskan kepada murid-muridnya. Dengan muka berseri-seri, kini pak Anto memasuki ruang guru dan menyapa, “Assalamu’alaikum sahabat-sahabatku…!” sahut pak Anto. Guru-guru lainnya pada terkejut, melihat wajah pak Anto yang berseri-seri, dengan ulasan senyumnya yang menyinari ruang majelis guru. Ajaibnya, senyuman pak Anto mampu meluluhkan hati rekan-rekan guru lainnya, ketika ia mengajak para guru untuk bersalaman dan menyambut kedatangan murid-murid dengan senyuman yang penuh dengan kasih sayang di teras depan sekolah. Sungguh indah hari itu, siswa-siswa murid yang melihat guru-gurunya kompak menjadi bersemangat untuk belajar. Disanalah keindahan senyuman yang selama ini dilakukan oleh SMA N 3 Batusangkar, yang merupakan sekolah (Program Layanan Keunggulan Tanah Datar) sejak awal berdirinya tahun 2004, dengan membiasakan budaya salam.
Apa yang dialami pak Anto diatas, mungkin pernah kita alami, tapi kenapa kita tidak selalu mengamalkannya. Senyum, salam, dan sapa adalah perbuatan yang sepele, dan sangat kecil. Tetapi perbuatan itu mampu mengobati dan menyembuhkan kekesalan, kegundahan hati, kepanikan dan bahkan kesedihan. Kenapa siswa tidak nyaman belajar? Salah satu penyebab karena siswa tidak menemukan cinta, dan kasih sayang ditempat dimana ia belajar. Ibarat sebuah kapal layar, bagaimana kita dapat beristirahat tenang, sementara ada badai yang sedang menggoncang. Begitu juga di sekolah bagaimana siswa akan dapat belajar dengan baik, sementara di depan matanya ia melihat guru-gurunya saling hina dan saling ejek mengejek. Bagaimana ia akan tenang, jika siswa hanya menjadi tempat pelampiasan kemarahan sang guru, sehingga ia masuk ke kelas dengan wajah yang masam dan garang. Mungkin karena urusan rumah tangganya, atau pun karena masalah dengan guru lainnya. Coba bayangkan, kalau kejadian itu berlangsung setiap harinya di sekolah. Apakah kita mampu menciptakan pendidikan yang maju dengan kondisi seperti itu?
Beberapa penelitian dari para ahli mengatakan, “Orang yang biasa senyum lebar berumur lebih panjang, ketimbang yang senyum seadanya” Hal ini merupakan temuan studi Ernest Label, profesor kebidanan, ginekologi, dan psikolog di Wayne State University , Amerika Serikat. Ada juga yang mengatakan ciri-ciri orang yang jarang senyum itu, pada bagian sekitar matanya akan berkerut. Untuk itu, biasakanlah tersenyum, menebarkan senyuman berarti memberikan kebahagian terhadap sesama. Siswa-siswa, terutama untuk diri sendiri. Niscaya amalan yang dianggap sepele dan kecil itu, jika dilakukan dengan ikhlas dan penuh ketulusan akan jadi catatan kebaikan yang sangat besar, seperti hadits Rasulullah, “Jangan meremehkan suatu perbuatan kebaikan, walau sekadar menyambut kawan dengan muka yang manis.”
Jadi, Ayo teman-teman, dan guru-guruku, kita lestarikan budaya senyuman, karena senyuman adalah obat mujarat bagi hati yang gundah.
Posted by
8:49 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar