Oleh Drs.Marijan
Praktisi Pendidikan di SMPN 5 Wates Kulonprogo Yogyakarta
Menyimak berita dari berbagai media masa, kita bisa menyebutkan perilaku kebrutalan pelajar dalam sederetan tindak negatif . Misalnya adanya tawuran antar kelompok pelajar, penodongan dan pembajakan taxi, pencurian sepeda motor, pelecehan seks, pemuja pil koplo dan budaya konvoi setelah lulus UNAS yang menggunakan seluruh ruas jalan.
Penstiwa tersebut jelas sangat ironis dengan tujuan pendidikan nasional. Di satu sisi institusi pendidikan diidealkan sebagai tempat menempa manusia agar menjadi beriman, bertaqwa, cerdas dan segenap indikator kualitas manusia lainnya tetapi di lain pihak ada kesan melahirkan manusia yang tak berperikemanusiaan terhadap orang lain.
Siapa penyebab para pelajar itu berperilaku beringas dan agresif itu ? -Masyarakat yang masih awam dengan dunia pendidikan melihat dengan sebelah mata ‘ bergegas langsung tampil bicara ” Guru sebagai insan yang paling bertanaggung jawab terhadap sederetan tindak negatif siswa tersebut,” tegasnya tanpa menghiraukan eksistensi dirinya. Anggapan yang sama pun muncul dari kaum melek kawruh yang sengaja mengkambinghitamkan dan memojokkan guru sebagai biang kerok penyelewengan sikap perilaku peserta didik kita.
Jika kita mau membuka mata, menguak arsip-arsip masa lalu timbul pertanyaan, benarkah guru sebagai insan paling durhaka ? Dalam perspektif ini rasanya sebagai orang tua tidak bisa menyalahkan penuh gurunya jika melihat putranya acap mbalelo.Kalau mau jujur sampai batas – batas tertentu kita punya andil besar atas kebrutalan anak kita. Menurut pengertian di atas serta kenyataan siswa mendominasi waktunya untuk berkiprah adalah bukan di sekolah kita pun bisa menganalisir komponen yang terkait dalam pembentukan pribadi siswa.
Pertama, orang tua siswa. Di dalam keluarga orang tua dikenal sebagai “pendidik alami ” yang berperan memberi warna pada anak. Anak ibarat kertas putih tak berwarna ( meminjam istilah John Loocke ). Orang tua dalam kondisi apa pun tak pernah memberi warna seburam dirinya. Hal yang perlu dimengerti bahwa memberi warna anak tidaklah cukup sekali akan tetapi terus tak berhenti. Inilah yang dirasa sebagai problem kondisi keluarga, sekarang. Betapa tidak ! Orang tua selalu sibuk dengan tugas kesehariannya. Si anak dengan sang dayang, rindu dan kasih hanya terbayang. Ini dialami oleh orang tua yang berstatus tinggi. Kurangnya perhatian secara dekat besar sekali kemungkinan sebagai penyebab terlalu bebasnya si anak bertindak, seakan tidak ada kendali. Apa yang diminta selalu dituruti dan bukan tidak mungkin pada gilirannya orang tuapun jadi sasaran kebebasannya. Di lain tempat masih banyak orang tua merasa kalah kaweruh terhadap anaknya. Ini dijumpai di desa di mana orang tua banyak yang masih berpengetahuan rendah. Dalam kondisi yang demikian ini siswa berlagak pandai dan tahu segala-galanya serta ujungnya yang paling tragis seringnya menipu orang tua. Dalam menggunakan waktu dan dana selalu dibubuhi sekeranjang penipuan atas orang tua yang malang itu.
Kedua terjeratnya warisan budaya santai dan profil priyayi. Budaya santai selalu menggumuki perasaan siswa dan mengangkangi proporsi waktu dalam kesehariannya. Waktu yang 75 % ada di luar sekolah digunakan untuk hura-hura bersama, teman sebaya menghabiskan waktu untuk tindak durjana. Budaya priyayi juga mendominasi. Tak mau kerja kasar, main perintah dan apa yang diminta harus siap di depannya. Bukankah sifat ini telah melanda siswa sekarang ?. Sementara idealismenya sangat muluk ingin menjadi orang berstratilikasi tinggi dan kualifikasi hebat. Namun kenyataan hidup yang penuh kompetitif, menghadang malang melintang di arah depan maupun belakang tidak mau mencari mekanisme untuk mensiasatinya .
Ketiga masih adanya oknum perangkat pemerintah yang rapuh menjaga kode etiknya. Perangkat pemerintah diharapkan ada di barisan paling depan dalam kancah sosial. ‘ Terlebih guru sebagai tumpuan ketauladanan dalam segala sikap. Apresiasi masyarakat terhadap guru agaknya sudah terpatri sehingga manakala ada segelintir oknum guru yang lepas dari simpul kode etiknya maka populasi manusia sejagat mencatat sejarahnya. Jika demikian adanya refleksi balik akan merambat pada siswa hingga tak lagi menghormati guru dan pula sebagai pangkal modal dalam melanggar aturan. Mereka sengaja menerapkan pepatah, “Guru kencing berdiri murid pun kencing berlari
Keempat pengaruh lingkungan yang ditontonnya. Film misalnya, selalu menampilkan adegan memamerkan kelincahan, kekuatan otot dan adegan yang merangsang bagi penontonnya. Pengaruh ini sangat terasa bagi kaum muda. Sehingga dalam lamunannya dipenuhi adegan film yang ditontonnya. Yaitu ingin menjadi jagoan dengan ketrampilan silatnya dan ingin melampiaskan nafsu jantannya terhadap wanita yang dicintainya. Untuk memenuhi keinginan yang terakhir ini minuman keras dan pil koplo sebagai bahan pendukungnya. Tidak sedikit teman sekolah menjadi korban kebrutalan tersebut. Hal ini sangat terasa di perkotaan.
Kelima emosi remaja belum stabil. Menurut HETZER ( dalam buku Psichologi Perkembangan II, Suryobroto. S,1978 ) masa remaja ditandai dengan keagresifan jiwanya yang selalu protes terhadap sekitarnya yang dirasakan sekonyong-konyong bersikap memusuhinya. Ini menunjukkan emosi remaja (pelajar) belum stabil adanya. Disebut “bocah” mereka’ tak mau, disebut dewasa mereka belum matang kendali emosinya. Pada kondisi demikian ini pelajar mudah sekali terseret arus sosial yang mungkin menjerumuskannya. Melihat analisis di atas kiranya membuat guru sedikit lega. Pasalnya, tidak berdiri sendiri sebagai arca bak sampah tempat pembuangan sisa ulah manusia seperti keagresifan pelajar yang selalu, guru sebagai penerima dampaknya. Kemudian bagaimana untuk mengatasi agresi dan kebringasan remaja (pelajar) yang makin merebak ini ? Jelas hal ini melibatkan berbagai pihak yaitu orang tua, masyarakat, dan pemerintah sebagai penanggung jawab seperti diungkapkan dalam UU No. 20 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Langkah pertama untuk mengatasi hal ini adanya kekompakan nyata antara orang tua, masyarakat, dan pemerintah untuk membentengi para pelajar kita agar berjalan di atas rel tujuan pendidikan nasional. Orang tua berperan sebagai kompas yang waspada bagi perjalanan anaknya. Bukan mengekang dan bukan melepaskan anak, tetapi memberi kesempatan berpikir dan menentukan pilihan di bawah bimbingan dan kendali serta pengawasan orang tua secara demokratif. Guru pun dituntut selalu memberi wawasan ke depan seiring dengan perkembangan jaman. Selanjutnya perluasan lapangan kerja dari pemerintah selalu ditunggu-tunggu dari sekian banyak pencari kerja. Karena hal ini sering digunakan sebagai kedok munculnya berbagai kerusuhan.
Langkah kedua perlunya ketauladanan orang tua, masyarakat dan pemerintah. Profesi dan jabatan apa saja menempati ruang acuan di benak setiap siswa sehingga diperlukan sikap-sikap mendidik. Ketauladan mutlak diperlukan. Ingat pepatah, jangan harap penonton bisa tertawa jika dia (pemain) tak bisa tersenyum barang sedikitpun.
Langkah ketiga perlunya hati-hati pihak pemerintah menelurkan kebijakan dan pelayanannya kepada masyarakat. Harus diakui birokrasi yang makin ruwet hanya akan melahirkan rasa jenuh dan jengkel masyarakat terhadap perangkat pemerintah sebagai penyusun rantai birokrat. Pada gilirannya kaum muda ( pelajar ) menyimpan dendam yang setiap waktu dapat diledakkan dengan segenap model kebringasannya.
Langkah keempat diharapkan adanya pengertian pihak swasta yang merupakan bagian dari masyarakat peduli terhadap pengendalian agresivitas pelajar kita. Film porno, penjual miras dan pil koplo serta alat-alat perjudian adalah sederetan komponen yang besar pengaruhnya terhadap perilaku sehari-hari pelajar kita manakala mereka berhubungan dengan komponen tersebut.
Kesimpulannya adalah adanya keterkaitan antara orang tua, guru, masyarakaat dan pemerintah sangat diperlukan dalam mengantisipasi kenakalan, keagresivan dan kebringasan pelajar kita
Posted by
4:03 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar