Arswendo Atmowiloto, siapa yang tidak kenal dengan sosok sastrawan ini? Sastrawan dan budayawan yang lahir di Surakarta, 26 November, 69 tahun yang lalu itu, menulis banyak sekali cerpen. Cerpennya juga menunjukkan pendekatan yang humanis. Cerpen karangannya antara lain Bu Geni di Bulan Desember, Suamiku Jatuh Cinta pada Jam Dinding, Penjual Koran Satu Lengan, Kucing yang Berubah Jadi Manusia, dan masih banyak lagi.
Salah satu cerpen karangan Arswendo, “Penjual Koran Satu Lengan,” menceritakan kehidupan seorang penjual koran yang berlengan satu. Meskipun ia harus menjual koran di jalanan hanya dengan satu lengan, ia tetap bekerja keras, tidak mengemis demi mendapatkan rezeki. Ia menjalani hari-harinya dengan penuh rasa syukur, tegar, dan tidak pernah mengeluh. Meskipun lembaran-lembaran yang ia bawa begitu berat, ia tidak mengasihani nasibnya yang berlengan satu. Walaupun matahari yang terik menyinari wajahnya, atau air hujan yang turun dari langit membasahi tubuh berlengan satunya itu, tak pernah sekalipun terucap kata-kata keluhan yang ia keluarkan dari lidahnya.
Cuplikan sinopsis dari cerpen tersebut menggambarkan kondisi sosial masyarkat Indonesia dalam bekerja untuk bertahan hidup. Namun, tidak semua orang menggunakan kelemahan untuk bekerja keras seperti penjual koran satu lengan. Banyak orang menggunakan kelemahannya untuk dikasihani, bahkan dijadikan sebuah pekerjaan, seperti pengemis.
Selain latar belakang kondisi sosial masyarakat yang ditonjolkan, Arswendo juga memperlihatkan nilai moral yang ada di dalam cerpen ini bahwa kita harus rendah hati dan tidak boleh gila hormat. Selain itu, kita juga harus berterimakasih kepada orang yang telah menolong kita.
”Menjadi sangat berguna tidak selalu harus menjadi lebih mahal.”
“Sewaktu listrik di rumah kontrakannya sering mati mendadak, ia tidak berteriak atau memaki. Ia bahkan memuji petugas listrik yang baik hati,”
Penokohan juga digambarkan dengan jelas yaitu melalui kutipan dalam cerpen sebagai berikut:
. “Entah kenapa tampilannya tidak terlihat resah, dan tidak pernah menyalahkan. Bahkan ketika perempatan jalan tempatnya bekerja menjadi bubrah lantaran di atasnya akan dibangun jembatan layang, dia sama sekali tidak gundah. Langkahnya tetap gagah meloncati batu atau semen berbongkah, dengan wajah tetap tengadah ke jendela mobil mewah atau biasa. Semangatnya sama sekali tidak goyah.” Si penjual koran tidak pernah terlihat resah, tidak pernah gunda dan langkahnya tetap gagah. Kutipan ini memperlihatkan betapa kerasnya sang penjual koran bekerja. Meskipun ada hal yang tidak menguntungkan, ia tetap berjualan dengan sepenuh hati.” Watak yang dimiliki oleh penjual koran adalah pekerja keras. Meskipun ada banyak hal yang tidak menguntungkan dan menyebabkan menjual koran lebih sulit, ia tetap bekerja tanpa keluhan.
Cerpen Arswendo lainnya, Bu Geni di Bulan Desember, lebih menonjokan nilai budaya ketimbang nilai moral. Cerpen ini menceritakan seorang perias pengantin yang dikenal dengan nama Bu Geni. Ia memang ahli dalam merias pengantin wanita, sampai orangtuanya sendiri tidak bisa mengenali wajah anaknya sendiri. Di dalam cerita ini, Bu Geni selalu memberikan pandangan-pandangannya mengenai pernikahan. “Perkawinan adalah upacara yang paling tidak masuk akal, sangat merepotkan. Kalian semua ribut memperhitungkan hari baik, pakaian seragam apa, dan itu tak ada hubungannya dengan perkawinan itu sendiri. Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan.” Agak aneh juga perkataan itu keluar dari Bu Geni, yang hidupnya justru dari adanya upacara perkawinan. ”Ya memang aneh, perkawinan kan keanehan. Karena yang aneh dianggap wajar, maka yang tidak menikah, yang janda atau duda, malah dianggap aneh.”
Pada kesempatan berbeda, Bu Geni berkata: ”Jodoh adalah kata yang aneh untuk menyembunyikan ketakutan atau hal yang tak berani kita jawab. O, itu jodoh saya, biasanya orang bilang begitu. Atau kalau gagal, o, itu bukan jodoh saya.” Lalu Bu Geni tertawa lama sekali. ”Memangnya jodoh saya Pak Geni? Karena saya menikah dengan Pak Geni, itu jadi jodoh saya. Bukan karena jodoh saya Pak Geni kemudian saya menikah dengan dia. Lain kalau saya tidak jadi menikah dengan Pak Geni dulunya. Itu bukan jodoh saya.”
unsur penokohan yang ada di dalam cerpen. Dari kutipan cerpen seperti berikut: “Padahal Bu Geni tidak selalu menyenangkan. Suara keras, dan membuat pendengarnya panas. ”Ini anak sudah hamil. Kenapa kamu sembunyikan. Kenapa malu? Mempunyai anak, bisa hamil itu anugerah. Bukan ditutup-tutupi, bukan dipencet-pencet dengan kain. Itu kan anak kamu sendiri.” Kalau tak salah, kejadian itu berlangsung di rumah Pak Bupati. Sehingga, kabar menyebar dan masih tergema, jauh setelah peristiwa itu usai. Pernah pula nyaris menggagalkan upacara perkawinan hanya karena Bu Geni melihat wajah calon pengantin suram. Biasanya dua atau tiga hari sebelumnya, Bu Geni memerlukan bertemu langsung dengan calon pengantin perempuan. Kenapa bukan dengan calon pengantin laki-laki? ”Lho kan nasib dia berasal dari sini,” watak Bu Geni bisa dilihat dari perilakunya. Meskipun anak bupati, ia tidak segan-segan mengatakan bahwa anaknya itu telah hamil duluan. Perilaku Bu Geni menunjukkan bahwa dia adalah orang yang ceplas-ceplos dalam berkata-kata. “ Watak Bu Geni yang bisa dilihat dari kutipan di atas, menunjukkan bahwa Bu Geni adalah orang yang berbicara secara terang-terangan. Meskipun yang ia tahu hamil adalah anak bupati, dia tetap mengatakannya tanpa keraguan.
Gambaran fisik Bu Genipun diperlihatkan dengan jelas. Melalui kutipan berikut: “Para pejabat di desa ikut gembira, karena kalau Bu Geni tidak mengibarkan bendera pada peringatan kemerdekaan bisa jadi masalah. Tanggal 31 Desember berikutnya Bu Geni tidak berkeberatan ada pesta di rumahnya. Namun esok harinya tidak berarti tahun baru, melainkan 1 Desember lagi. Banyak yang mengatakan itu ngelmu Bu Geni sehingga selalu tampak muda. Dan Bu Geni memang selalu nampak sama, ketika seorang tetangga dirias, sampai anaknya dirias juga. Wajah dan penampilannya tetap sama. Ini bisa dibuktikan dengan potret yang diambil saat itu, dan 20 tahun berikutnya. Atau mungkin juga 20 tahun sebelumnya.” Dalam kutipan tersebut, bisa dibuktikkan bahwa Bu Geni selalu tampak muda, 20 tahun sebelumnya, ataupun 20 tahun berikutnya, tampangnya selalu sama.
Cerpen Arswendo menampilkan suatu kesamaan yang menjadi gaya bahasanya. Dalam cerpennya, dia selalu menggunakan kalimat-kalimat yang kontroversial, dan cenderung bersifat vulgar.
“Gadis itu mau, dan meyakini bahwa dengan tangan satu, lelaki itu mampu merayu. Lelaki itu juga memberi saran, sementara gadis bertubuh sintal itu bekerja sebagai pembantu interval yang sangat dibutuhkan. Lumayan dapat duit tambahan, dan siapa tahu ketemu majikan yang khilaf. Dari koran pula didapat alamat, dan sejak pergi ke sana, tak pernah kembali lagi. Lelaki itu juga tidak mencari, tidak merasa rugi, meskipun kadang ingat saat mandi bersama.”
“Ini anak sudah hamil. Kenapa kamu sembunyikan. Kenapa malu? Mempunyai anak, bisa hamil itu anugerah. Bukan ditutup-tutupi, bukan dipencet-pencet dengan kain. Itu kan anak kamu sendiri.”
Dua cuplikan diatas, menunjukkan bahwa Arswendo menggunakan kalimat yang bersifat vulgar. Pada cerpen yang berjudul Penjual Koran Satu Lengan, ia menuliskan kalimat mandi bersama. Sementara di cerpen “Bu Geni di Bulan Desember,” ia menulis anak yang sudah hamil di luar nikah, dan memencet-mencet anak dengan kain, yang menunjukkan bahwa anak itu ingin di aborsi.
Arswendo adalah seorang pengarang yang hebat. Menuliskan cerpen-cerpen dengan alur yang menarik, serta pendekatan yang humanis, membuat cerpennya dikenal banyak orang. Akan tetapi, ia juga menggunakan bahasa-bahasa yang kadang sulit dimengerti, dan tidak jarang vulgar. Jika hal ini bisa diperbaiki, maka cerpennya akan semakin dikenal banyak orang, dan nama Arswendo akan menjadi sorotan bangsa. (Giovani Lemuel, 12 IPA 1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)
Posted by
8:09 AM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar