Oleh Denny Siregar
"Kamu agamanya apa ?"
"Budha..."
"Ayo coba berdoa.. biar teman-teman semua disini bisa tahu doa di agama Budha.."
Dan si anak pun berdoa keras-keras didengarkan ratusan teman lainnya yang beragama Islam, Kristen dan Hindu. Kudengar celetuk seorang anak yang memakai peci dan sarung berbicara pada temannya, "O, gitu ya doa agama Budha.."
"Budha..."
"Ayo coba berdoa.. biar teman-teman semua disini bisa tahu doa di agama Budha.."
Dan si anak pun berdoa keras-keras didengarkan ratusan teman lainnya yang beragama Islam, Kristen dan Hindu. Kudengar celetuk seorang anak yang memakai peci dan sarung berbicara pada temannya, "O, gitu ya doa agama Budha.."
Pikiranku melayang jauh, terlempar kembali ke masa lalu, masa kecil yang
bahagia. Aku punya teman dekat yang beragama Budha, yang ketika aku
pindah sekolah keluar kota, dia menghadiahiku rautan pensil berwujud
apel. Ia berlari dan memelukku seakan tahu bahwa kami akan sulit kembali
bertemu. Kami kelas 5 SD waktu itu...
"Ayo, kalau sudah berdoa.. cium tangan pak Pendeta ya.. Nah sekarang kita denger doa yang Katholik. Siapa yang Khatolik?".
Beberapa anak mengangkat tangannya. Dan seorang anak maju lalu berdoa secara Katholik, dengan suara keras yang di dengar teman2nya yang beragama Islam, Hindu dan Budha.
Sungguh beruntung mereka, pikirku. Masa kecil mereka ini sangat indah.
Mereka sudah diperkenalkan keragaman sejak dini, bahwa tidak ada
perbedaan diantara mereka semua. Tidak ada yang lebih hebat dari yang
lainnya. Bahkan -sudah pasti- mereka belum mengenal konsep mayoritas dan
minoritas.
Terlempar kembali diriku ke masa lalu, ketika bersekolah di sekolah
Khatolik di Bandung. Aku bahkan tidak tahu apa itu Khatolik. Bagiku
mereka sama saja, teman baikku semua. Kami bermain galah asin,
boy-boy-an sampai petak umpet bersama. Dan sampai sekarang aku tetap
Islam.
Entah kenapa ada rasa haru mengalir di hatiku. Membayangkan betapa sulitnya menjadi anak-anak di masa sekarang. Yang terus menerus diperlihatkan bahwa ia berbeda dengan anak lainnya.
Mereka melihat perilaku orang dewasa sekitarnya yang sibuk berteriak, "China, kafir.." belum lagi telinganya yang masih murni mendengar kata, "Penggal, bunuh, darahnya halal.." Entah apa yang akan terjadi di masa depan mereka nanti..
Tidak terasa pelupuk mataku berat meski cuaca hari itu panas. Kulihat
Kang Dedi Mulyadi sedang bersenda gurau dengan mereka, menyatukan mereka
semua dan memberikan pemahaman bahwa mereka semua saudara meski
agamanya berbeda..
Aku tahu bahwa ia sedang melawan sekuat tenaga punahnya toleransi yang
sedang mewabah. Ia tidak hanya melakukan dialog lintas agama, ia
menanamkan pemahaman itu pada tubuh-tubuh kecil yang sedang berkembang.
"Ayo, yang barusan doa.. Cium tangan pak Kyai... " Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku mendengar suara Kang Dedi dengan jelas ditengah riuhnya suara anak-anak yang tertawa melihat temannya yang sempat grogi ketika menjadi pusat perhatian.
Ah, aku teringat temanku yang memberikan ku pengraut. Aku terbayang teman-temanku yang sedang mengejar sambil berusaha melempar bola tenis ke punggungku. Kami dulu begitu ceria... Dan itu masa-masa yang indah.
Aku tahu, Kang Dedi juga sedang membangkitkan memori masa kecilnya yang indah di pendopo itu....
Daripada malu karena pelupuk mataku semakin berat, aku berdiri mencari secangkir kopi...
sumber dennyriregar.com
Posted by
8:42 AM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar