Uji sertifikasi guru kini berada di antara harapan dan ketidakmungkinan. Semula sertifikasi guru dianggap enteng-enteng saja. Kenyataannya, hingga saat ini rupanya hal itu belum sepenuhnya berjalan, terutama disebabkan oleh kendala teknis.
Sejalan dengan itu, di lapangan, guru-guru pada umumnya pesimistis karena untuk lolos uji sertifikasi ternyata tidak mudah. Siapakah mereka yang pesimistis itu?
Mereka adalah guru-guru yang telah dikonstruksi "dalam mitos yang serba buruk" dalam profesi kependidikan dan kepengajaran di negara ini. Merekalah tipe guru kita yang senyatanya, yang diberi tugas amat "berat" oleh negara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena tanpa idealisme dan nasionalisme yang menjadi spirit jiwanya, guru-guru kita sama saja dengan para buruh di pabrik sepatu.
Guru-guru kita adalah guru-guru yang serba tertinggal: tertinggal informasi mutakhir dalam bidangnya dan tertinggal teknologi. Hal ini lebih nyata lagi dalam kehidupan guru-guru di daerah, di pedesaan dan pesisir, atau di daerah-daerah yang jauh dari kota. Segala rupa ketertinggalan itulah "diwariskan" kepada murid-murid di kelasnya. Murid pun dididik di tengah iklim panjang serba ketertinggalan.
Guru-guru Indonesia adalah guru-guru yang tidak mau lagi belajar, membaca, dan berpikir. Sesuatu yang harus dilakukan secara mandiri, yang harus dilakukan sebagai kesadaran diri, yang harus dilakukan sebagai panggilan mulia.
Sejak mendapatkan nomor induk pegawai alias NIP, guru memulai kehidupan di sekolah-sekolahnya dan di masyarakat tempat mereka tinggal dengan stagnasi. Guru Indonesia tidak lagi belajar untuk dirinya sendiri, yang berkontribusi besar bagi murid-muridnya. Guru Indonesia tidak lagi membaca buku, majalah atau surat kabar, apalagi melakukan akses internet. Kalau ditelusuri, guru pasti berkilah bahwa di daerahnya bertugas, bacaan, buku, koran, dan sejenisnya tidak mudah diperoleh. Apalagi internet. Guru awam komputer dan internet.
Pemerintah Indonesia sadar, semampu keuangan negara, kualitas guru senantiasa ditingkatkan. Misalnya dengan penyelenggaraan seminar-seminar, lokakarya, pelatihan, dan penataran. Di lapangan justru ditemukan kondisi yang sebaliknya; seminar, lokakarya, pelatihan itu menjadi ritual.
Ketika guru ditunjuk menjadi peserta, mereka sama sekali tidak menyambutnya dengan kegairahan, tetapi dengan rasa malas. Jadi, guru tidak memiliki niat meremajakan dan mengembangkan dirinya sebagai SDM berkualitas. Hal lain, pada konteks ini, sambutan guru soal ini adalah, "Ada uang saku?"
Setelah di dalam kegiatan ilmiah atau di suatu pelatihan yang telah direncanakan dengan sebaik mungkin oleh panitia, guru-guru, peserta, mencampuri kerja panitia. Akhirnya, terjadilah pemadatan jadwal. Jika keinginan guru dituruti, kegiatan semacam itu dilakukan secara fiktif saja. Guru-guru siap menandatangani daftar hadir. Hal ini sering kita temukan. Ide baik penyelenggaraan kegiatan peningkatan kualitas guru pun tidak pernah dicapai karena guru-guru selalu diberi fasilitas untuk menolaknya.
Guru yang andal
Di balik kenyataan tersebut, bangsa ini masih memiliki sedikit guru yang andal. Guru-guru yang penuh dedikasi bagi bangsa ini. Guru-guru yang sadar akan pilihan profesinya, yang tidak henti belajar dan menjadikan guru sebagai pilihan profesinya. Mereka adalah guru-guru yang menikmati pekerjaannya dan bertanggung jawab atas pilihannya sebagai guru. Mereka ini sama sekali tidak menganggap kerja guru sebagai sambilan. Guru-guru yang benar-benar bekerja secara total.
Pemerintah juga tidak berdalih dalam hal mutu guru-guru Indonesia. Pemerintah berbesar hati mengakui bahwa kualitas guru Indonesia pada umumnya sangat rendah. Peningkatan kualitas guru adalah isu terpenting dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Ujungnya adalah uji sertifikasi guru. Semula, ketika pada awal digulirkan, guru menyambutnya dengan gempita. Mereka memandang hal ini sebagai hak istimewa bagi guru dan bersifat pemerataan, bukan sebagai suatu kompetisi peningkatan karier atau harga mahal bagi suatu kualitas guru yang distandarkan. Pemerintah juga tidak gegabah dan tidak "pemurah hati" dalam soal ini.
Di mata guru Indonesia pada umumnya, uji sertifikasi adalah "revolusi" peningkatan gaji guru. Inilah yang dipahami oleh guru Indonesia. Padahal, ini adalah pilihan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru yang sangat besar kontribusinya bagi peningkatan mutu pendidikan bangsa ini. Guru yang bagus mendapatkan "imbalan" atau penghargaan yang lebih nyata (berupa gaji yang dibayarkan) dari negara, tidak lagi berupa simbol-simbol (lencana, piagam, trofi, dan lain-lain).
Dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah guru di Bali yang telah "ditunjuk" tengah menyiapkan satu portofolio dalam rangka uji sertifikasi. Ada sepuluh butir isian beserta rinciannya, harus pula dilampiri bukti-bukti fisik yang sah. Portofolio itu merekam dan mendokumentasi kinerja guru dalam suatu periode. Hal ini tidak sulit jika guru benar-benar berdedikasi tinggi dalam bidangnya.
Yang patut dipertimbangkan adalah bagaimana tim penilai portofolio itu bekerja. Apakah sanggup menembus etika buruk guru karena memalsukan suatu dokumen prestasi atau dokumen kinerjanya?
Guru malas menulis
Pada salah satu item portofolio itu diminta agar guru menuliskan buku, diktat, serta modul pembelajaran yang telah disusunnya minimal dalam satu semester dan telah diterbitkan di tingkat nasional, lokal, atau daerah. Hal ini sangat sulit dipenuhi karena guru paling antimenulis. Pokoknya, dalam butir "karya tulis" pasti banyak guru Indonesia yang gagal.
Kalau benar adanya bahwa sepuluh butir portofolio tersebut dan telah distandarkan, uji sertifikasi guru tidaklah sesuatu yang sulit atau sesuatu yang tidak mungkin. Bagi guru yang belum menjalani uji sertifikasi, lima tahun ke depan harus menyiapkan diri, bekerja dengan baik, menulis buku, menyelenggarakan penelitian, melakukan bimbingan terhadap teman sejawat, mengikuti berbagai pertemuan ilmiah, dan lain-lain, yang dilakukan demi peningkatan kualitas diri dan persembahan terbaik kepada murid-muridnya.
Portofolio tersebut tidak bisa diisi dalam setahun karena banyak butir yang diminta. Itu adalah rekaman atau dokumentasi kinerja guru. Itu dinilai atau dikaji oleh tim penilai, lalu dihargai, untuk dicatat berapa poin yang dicapai. Poin itu, dalam perjalanannya, bisa bertambah bisa juga berkurang, bergantung pada kinerja guru. Jadi, kehidupan guru-guru Indonesia dalam pekerjaannya menjadi lebih dinamis dan tidak stagnan sebagaimana saat ini.
Di sini, guru harus mengubah pandangannya soal sertifikasi. Bukan gaji tinggi sebagai yang pertama, melainkan kinerja yang hebat, bernilai tinggi, dan inilah yang patut kiranya dihargai mahal oleh negara. Dalam hal ini, negara berasumsi, semua itu akan berdampak sangat baik terhadap peningkatan mutu pendidikan bangsa.
I Wayan Artika Dosen Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Bali
Kompas 6 Agustus 2007 - kolom Humaniora
Sejalan dengan itu, di lapangan, guru-guru pada umumnya pesimistis karena untuk lolos uji sertifikasi ternyata tidak mudah. Siapakah mereka yang pesimistis itu?
Mereka adalah guru-guru yang telah dikonstruksi "dalam mitos yang serba buruk" dalam profesi kependidikan dan kepengajaran di negara ini. Merekalah tipe guru kita yang senyatanya, yang diberi tugas amat "berat" oleh negara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena tanpa idealisme dan nasionalisme yang menjadi spirit jiwanya, guru-guru kita sama saja dengan para buruh di pabrik sepatu.
Guru-guru kita adalah guru-guru yang serba tertinggal: tertinggal informasi mutakhir dalam bidangnya dan tertinggal teknologi. Hal ini lebih nyata lagi dalam kehidupan guru-guru di daerah, di pedesaan dan pesisir, atau di daerah-daerah yang jauh dari kota. Segala rupa ketertinggalan itulah "diwariskan" kepada murid-murid di kelasnya. Murid pun dididik di tengah iklim panjang serba ketertinggalan.
Guru-guru Indonesia adalah guru-guru yang tidak mau lagi belajar, membaca, dan berpikir. Sesuatu yang harus dilakukan secara mandiri, yang harus dilakukan sebagai kesadaran diri, yang harus dilakukan sebagai panggilan mulia.
Sejak mendapatkan nomor induk pegawai alias NIP, guru memulai kehidupan di sekolah-sekolahnya dan di masyarakat tempat mereka tinggal dengan stagnasi. Guru Indonesia tidak lagi belajar untuk dirinya sendiri, yang berkontribusi besar bagi murid-muridnya. Guru Indonesia tidak lagi membaca buku, majalah atau surat kabar, apalagi melakukan akses internet. Kalau ditelusuri, guru pasti berkilah bahwa di daerahnya bertugas, bacaan, buku, koran, dan sejenisnya tidak mudah diperoleh. Apalagi internet. Guru awam komputer dan internet.
Pemerintah Indonesia sadar, semampu keuangan negara, kualitas guru senantiasa ditingkatkan. Misalnya dengan penyelenggaraan seminar-seminar, lokakarya, pelatihan, dan penataran. Di lapangan justru ditemukan kondisi yang sebaliknya; seminar, lokakarya, pelatihan itu menjadi ritual.
Ketika guru ditunjuk menjadi peserta, mereka sama sekali tidak menyambutnya dengan kegairahan, tetapi dengan rasa malas. Jadi, guru tidak memiliki niat meremajakan dan mengembangkan dirinya sebagai SDM berkualitas. Hal lain, pada konteks ini, sambutan guru soal ini adalah, "Ada uang saku?"
Setelah di dalam kegiatan ilmiah atau di suatu pelatihan yang telah direncanakan dengan sebaik mungkin oleh panitia, guru-guru, peserta, mencampuri kerja panitia. Akhirnya, terjadilah pemadatan jadwal. Jika keinginan guru dituruti, kegiatan semacam itu dilakukan secara fiktif saja. Guru-guru siap menandatangani daftar hadir. Hal ini sering kita temukan. Ide baik penyelenggaraan kegiatan peningkatan kualitas guru pun tidak pernah dicapai karena guru-guru selalu diberi fasilitas untuk menolaknya.
Guru yang andal
Di balik kenyataan tersebut, bangsa ini masih memiliki sedikit guru yang andal. Guru-guru yang penuh dedikasi bagi bangsa ini. Guru-guru yang sadar akan pilihan profesinya, yang tidak henti belajar dan menjadikan guru sebagai pilihan profesinya. Mereka adalah guru-guru yang menikmati pekerjaannya dan bertanggung jawab atas pilihannya sebagai guru. Mereka ini sama sekali tidak menganggap kerja guru sebagai sambilan. Guru-guru yang benar-benar bekerja secara total.
Pemerintah juga tidak berdalih dalam hal mutu guru-guru Indonesia. Pemerintah berbesar hati mengakui bahwa kualitas guru Indonesia pada umumnya sangat rendah. Peningkatan kualitas guru adalah isu terpenting dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Ujungnya adalah uji sertifikasi guru. Semula, ketika pada awal digulirkan, guru menyambutnya dengan gempita. Mereka memandang hal ini sebagai hak istimewa bagi guru dan bersifat pemerataan, bukan sebagai suatu kompetisi peningkatan karier atau harga mahal bagi suatu kualitas guru yang distandarkan. Pemerintah juga tidak gegabah dan tidak "pemurah hati" dalam soal ini.
Di mata guru Indonesia pada umumnya, uji sertifikasi adalah "revolusi" peningkatan gaji guru. Inilah yang dipahami oleh guru Indonesia. Padahal, ini adalah pilihan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru yang sangat besar kontribusinya bagi peningkatan mutu pendidikan bangsa ini. Guru yang bagus mendapatkan "imbalan" atau penghargaan yang lebih nyata (berupa gaji yang dibayarkan) dari negara, tidak lagi berupa simbol-simbol (lencana, piagam, trofi, dan lain-lain).
Dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah guru di Bali yang telah "ditunjuk" tengah menyiapkan satu portofolio dalam rangka uji sertifikasi. Ada sepuluh butir isian beserta rinciannya, harus pula dilampiri bukti-bukti fisik yang sah. Portofolio itu merekam dan mendokumentasi kinerja guru dalam suatu periode. Hal ini tidak sulit jika guru benar-benar berdedikasi tinggi dalam bidangnya.
Yang patut dipertimbangkan adalah bagaimana tim penilai portofolio itu bekerja. Apakah sanggup menembus etika buruk guru karena memalsukan suatu dokumen prestasi atau dokumen kinerjanya?
Guru malas menulis
Pada salah satu item portofolio itu diminta agar guru menuliskan buku, diktat, serta modul pembelajaran yang telah disusunnya minimal dalam satu semester dan telah diterbitkan di tingkat nasional, lokal, atau daerah. Hal ini sangat sulit dipenuhi karena guru paling antimenulis. Pokoknya, dalam butir "karya tulis" pasti banyak guru Indonesia yang gagal.
Kalau benar adanya bahwa sepuluh butir portofolio tersebut dan telah distandarkan, uji sertifikasi guru tidaklah sesuatu yang sulit atau sesuatu yang tidak mungkin. Bagi guru yang belum menjalani uji sertifikasi, lima tahun ke depan harus menyiapkan diri, bekerja dengan baik, menulis buku, menyelenggarakan penelitian, melakukan bimbingan terhadap teman sejawat, mengikuti berbagai pertemuan ilmiah, dan lain-lain, yang dilakukan demi peningkatan kualitas diri dan persembahan terbaik kepada murid-muridnya.
Portofolio tersebut tidak bisa diisi dalam setahun karena banyak butir yang diminta. Itu adalah rekaman atau dokumentasi kinerja guru. Itu dinilai atau dikaji oleh tim penilai, lalu dihargai, untuk dicatat berapa poin yang dicapai. Poin itu, dalam perjalanannya, bisa bertambah bisa juga berkurang, bergantung pada kinerja guru. Jadi, kehidupan guru-guru Indonesia dalam pekerjaannya menjadi lebih dinamis dan tidak stagnan sebagaimana saat ini.
Di sini, guru harus mengubah pandangannya soal sertifikasi. Bukan gaji tinggi sebagai yang pertama, melainkan kinerja yang hebat, bernilai tinggi, dan inilah yang patut kiranya dihargai mahal oleh negara. Dalam hal ini, negara berasumsi, semua itu akan berdampak sangat baik terhadap peningkatan mutu pendidikan bangsa.
I Wayan Artika Dosen Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Bali
Kompas 6 Agustus 2007 - kolom Humaniora
Posted by
11:15 AM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar