Bunga Kehidupan sebuah blog membahas tentang pernik pernik kehidupan yang terfokus pada masalah pendidikan (The life flower one blog discussed about something that was interesting to the world of education)

BERSYUKUR VS TIDAK BERSYUKUR

BERSYUKUR VS TIDAK BERSYUKUR

Bersyukur bukan perkara mudah. Orang yang terus menerus dirundung kemalangan sejak usia balita, rasanya sulit untuk mengucapkan kata syukur. Sebaliknya, orang yang sejak kecil telah mengalami kebaikan, mengucapkan kata syukur tidaklah sukar. Sebenarnya, nilai apakah yang terkadung di balik kata "bersyukur" dan "tidak bersyukur" itu? Tertarik pada pertanyaan ini, ada lima hal yang mendasari seseorang untuk bisa bersyukur secara lahir dan batin.

Pertama, mengakui dan percaya penyelenggaraan llahi.
Setiap orang diciptakan secara unik dan personal. Tidak ada duanya di dunia ini.Yang mirip mungkin ada. Tetapi persis sama, menurut hukum logika tidak ada. Tuhan menciptakan manusia tanpa pamrih. Dasarnya adalah kasih. Bukankah kasih Tuhan begitu melimpah yang telah kita terima? Kasih tanpa batas lewat orangtua dan saudara. Kasih dari suami atau istri dan sebaliknya. Kasih dari anak-anak. Kasih dari para pekerja rumah tangga. Kasih dari pendidik. Kasih dari tempat kerja. Kasih dari tetangga dekat dan warga masyarakat. Kasih dari aparat pemerintah dan negara. Singkat kata, akumulasi kasih yang telah kita terima begitu banyak. Jumlahnya tak terhitung. Kesimpulannya, secara otomatis seharusnya setiap manusia bisa "bersyukur" Begitu baik Tuhan itu, sehingga kita diberi nafas, kesehatan, dan berbagai fasilitas kehidupan lain.
Namun, ada banyak orang yang mengalami kesulitan untuk bersyukur. Bukan kasih yang dialami dalam hidupnya. Petaka demi petaka datang terus menerus. Pepatah mengatakan: "Sudah jatuh masih tertimpa tangga: Orang semacam ini sering bertanya: "Apa dosaku Tuhan? Mengapa cobaan ini terus menerus terjadi pada diriku/ keluargaku? Mengapa ini tidak terjadi pada keluarga yang lain?" Bila pertanyaan ini dilanjutkan, bisa jadi akan sampai pada kesimpulan: "Kalau hidup terus menerus menderita dan sengsara seperti ini, lebih baik saya tidak dilahirkan di dunia ini': Secara psikologis, orang seperti ini menderita sakit. Hidupnya dirundung kegelapan. Masuk akal jika tipe orang seperti ini tidak bisa bersyukur dan berterimakasih.

Kedua, mengakui keberadaan saya seperti apa adanya.
Bahwa saya dilahirkan bukan dari orang kaya, tetapi dari petani miskin di daerah pegunungan. Saya berbadan agak gemuk dan berkulit sawo matang. Sebagai anak yatim, sejak kecil saya sudah harus bekerja keras. Minimnya sarana dan fasilitas tidak membuat "minder': Lewat "learning by doing” ternyata banyak memberikan nilai yang berharga. Misalnya, saya bisa hidup seperti sekarang ini, karena banyak orang baik yang telah campur tangan dalam diri saya. Bukan hanya orangtua dan keluarga, tetapi juga para tetangga, pendidik dan teman-teman di sekolah, dan orang-orang yang tergerak hatinya yang dengan hati tulus dan ikhlas telah membantu saya baik secara finansial maupun spiritual. Jumlahnya terlalu banyak untuk disebutkan. Mereka sungguh berhati mulia, balasan tidak mereka harapkan. Layak dan pantas, bila dalam situasi seperti ini, hanya kata "syukur" yang saya ucapkan. Bersyukur karena begitu banyak kebaikan diberikan kepada saya.
Tanpa mengalami kebaikan yang diolah dalam dirinya, sulit orang mengucapkan kata syukur. Bisa jadi orang hanya akan mengomel dan menggerutu terus menerus. Mengapa saya dilahirkan dari keluarga miskin. Mengapa ayah meninggal selagi anak-anak masih kecil. Mengapa saya berkulit hitam. Mengapa sejak kecil sudah harus askese/matiraga, karena terbatasnya makanan yang bisa dikonsumsi. Mengapa saya dilahirkan di dunia ini. Dan masih sederet pertanyaan mengapa yang tidak pernah akan habis dijawab. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanya akan membawa orang pada sikap menuntut, kekanak-kanakan, cengeng, negative thinking, dan akhirnya menyalahkan siapa saja. Sulit baginya untuk bersyukur secara tulus.

Ketiga, menghormati martabat sesama manusia.
Menghormati martabat manusia berarti menghormati kemahadaulatan Tuhan. Masing-masing orang diciptakan oleh Tuhan berdasarkan kasih-Nya. Di hadapan Tuhan, setiap orang itu sama-sama dihargai dan dikasihi. Derajat mereka sama. Nilainya sama. Penghormatan kita tidak boleh didasarkan pada warna kulit, SARA, keyakinan politik, jenis kelamin, paras wajah, tingkat ekonomi, pendidikan, kedudukan, dan lain sebagainya. Penghormatan dan pengakuan ini merupakan syarat untuk bisa mengucapkan syukur dari hati yang murni. Syarat pula demi terwujudnya hidup aman, damai, dan sejahtera bersama saudara-saudara lain yang tinggal bersama di Nusantara ini. Sebaliknya, relasi manusia yang hendak melepaskan diri dari pengakuan terhadap Tuhan akan menjadi dangkal. Umat beragama yang melepaskan sikap hormat terhadap setiap orang akan menjadi bengis dan kejam. Bukan perdamaian yang dicari, tetapi permusuhan. Orang lain tidak dihargai sebagai "subyek, tetapi "obyek': Tidak ada kebenaran pada orang lain. Sikap seperti ini, selain tidak menghormati manusia, juga jelas tidak menghormati Tuhan. Sulit bagi orang seperti ini untuk bersyukur secara sungguh-sungguh.

Keempat, bersikap dan berperilaku solider pada orang lain, terlebih yang miskin dan menderita.
Harus diyakini bahwa setiap orang tidak boleh dibiarkan menderita, apalagi sampai dibuat menderita, kalau memang dapat dicegah. Penderitaan seseorang tak pernah boleh menjadi sarana bagi masyarakatatau aparat negara untuk meraih keuntungan apa pun. Kemajuan pembangunan yang dibeli dengan penderitaan orang lain, sungguh merupakan tindakan kotor dan jahat. Perlindungan kepada semua orang, terlebih pemberdayaan bagi saudara dan saudari kita yang menjadi korban penindasan dan pemiskinan, harus diperjuangkan oleh setiap orang. Perlindungan dapat diberikan secara fisik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan sosial, atau pun dalam bentuk perhatian dan pendampingan yang didasari oleh kasih. Cara ini, sekaligus juga sebagai ucapan syukur dan terimakasih. Meskipun dirinya mungkin masih dalam kekurangan tetapi mau berbuat bagi orang lain, itu sungguh perbuatan mulia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang tidak mau peduli pada orang lain, terlebih yang mengalami penderitaan dan kemiskinan, berarti ia juga tidak peduli pada Tuhan. Ini berarti bahwa penderitaan, yang dimaksudkan untuk mengkuduskan mereka yang menderita, juga dimaksudkan untuk menyucikan mereka yang membantu dan menghibur mereka. Bila pesan ini tidak dihiraukan, rasanya sukar untuk bersyukur secara utuh.

Kelima, menaruh peduli pada lingkungan hidup bersih.
Betapa berharganya lingkungan bersih dan sehat bagi manusia. Bersyukur karena kita bisa menghirup udara bersih. Kita mendapatkan air untuk keperluan apa saja. Saatnya bagi kita untuk merawat anugerah Tuhan yang cuma-cuma itu untuk kehidupan anak dan cucu kita kemudian hari. Banyak cara bisa kita perbuat. Misalnya, sedapat mungkin membuat sumur resapan, agar air hujan tidak lewat begitu saja. Urusan sampah pun jangan hanya diserahkan pada pekerja rumah tangga. Buatlah penghijauan di depan rumah, meskipun hanya menggunakan kantong plastik, kaleng bekas, ban bekas, dsb, karena tidak memiliki pekarangan kosong. Kebiasaan membersihkan rumah dan segala isinya adalah tugas semua anggota keluarga. Prinsip hidup rapi dan bersih mesti ditanamkan sejak usia dini. Tidak ada kata terlambat. Kalau belum mulai, saatnya kita mulai sekarang ini. Tempatkanlah sampah rumah tangga sesuai jenisnya. Satukan sampah organik, agar dapat didaur ulang menjadi kompos yang berharga. Begitu pula, sampah anorganik juga disatukan agar bisa didaur ulang oleh pemulung. Alangkah indahnya lingkungan kita, bila banyak orang melakukan kegiatan ini. Cita-cita menciptakan habitus baru: budaya bersih dan sehat tidak hanya merupakan fatamorgana.
Sebaliknya, bila orang tidak mau peduli dan cuek terhadap lingkungan hidupnya, jangan heran kalau terkena berbagai bencana. Sampah berserakan di mana-mana. Banjir bandang siap menerjang. Wabah penyakit merajalela. Petaka demi petaka datang silih berganti. Baginya, alam menjadi musuh. Alam dikira tidak mau bersahabat dengannya. Yang keluar dari mulutnya adalah kutukan dan umpatan. Tuhan pun disalahkan. Sikap dan perilaku seperti ini menyulitkan orang untuk bersyukur secara tuntas.
Marilah kita tingkatkan kadar syukur yang tulus dari lubuk hati terdalam. Sebab syukur yang dilandasi oleh: percaya adanya penyelenggaraan Ilahi, menerima dirinya seperti apa adanya, hormat terhadap martabat sesama manusia, bersikap dan berperilaku solider terhadap orang miskin dan menderita, serta peduli pada lingkungan hidup bersih dan sehat, membuahkan hidup damai. Kedamaian sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup lahir dan batin. Sebaliknya, bila kelima hal tersebut tidak diindahkan, sulit bagi seseorang untuk bersyukur.


Posted by Health Care , Published at 11:27 AM and have 0 comments

Tidak ada komentar :