* Dr. Herry Widyastono, Peneliti Madya bidang Pendidikan pada
Balitbang Depdiknas. Saat ini juga sebagai dosen pada Program
Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, serta Konsultan Sistem
Percepatan Kelas (Akselerasi) pada Yayasan Masjid Panglima Besar
Sudirman, Cijantung - Jakarta Timur.
___________________________________________________________________
Abstrak
Selama ini, strategi penyelenggaraan pendidikan bersifat
klasikal-massal, memberikan perlakuan yang standar (rata-rata) kepada
semua siswa, padahal setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda.
Akibatnya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di bawah
rata-rata, karena memiliki kecepatan belajar di bawah kecepatan
belajar siswa lainnya, akan selalu tertinggal dalam mengikuti kegiatan
belajar-mengajar; sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan dan
kecerdasan di atas rata-rata, karena memiliki kecepatan belajar di
atas kecepatan belajar siswa lainnya, akan merasa jenuh, sehingga
sering berprestasi di bawah potensinya (under achiever).
Agar siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dapat
berprestasi sesuai dengan potensinya, diperlukan pelayanan pendidikan
yang berdiferensiasi, yaitu pemberian pengalaman pendidikan yang
disesuaikan dengan kemampuan dan kecerdasan siswa; dengan menggunakan
kurikulum yang berdiversifikasi, yaitu kurikulum standar yang
diimprovisasi alokasi waktunya sesuai dengan kecepatan belajar dan
motivasi belajar siswa.
Pelayanan pendidikan yang berdiferensiasi dengan menggunakan kurikulum
yang berdiversifikasi dapat diimplementasikan melalui penyelenggaraan
sistem percepatan kelas (akselerasi). Dengan sistem percepatan kelas
(akselerasi), siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
diberi peluang untuk dapat menyelesaikan studi di SD kurang dari 6
tahun (misalnya 5 tahun), di SLTP dan SMU masing-masing kurang dari 3
tahun (misalnya 2 tahun), dengan menyelesaikan semua target kurikulum
tanpa meloncat kelas.
Penyelenggaraan sistem percepatan kelas (akselerasi) bagi siswa yang
memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan salah satu
strategi alternatif yang relevan; di samping bertujuan untuk
memberikan pelayanan pendidikan sesuai dengan potensi siswa, juga
bertujuan untuk mengimbangi kekurangan yang terdapat pada strategi
klasikal-massal.
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya, ditinjau dari aspek kemampuan dan kecerdasan, siswa
dapat dikelompokkan kedalam tiga strata, yaitu: yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan di bawah rata-rata, rata-rata, dan di atas
rata-rata. Siswa yang berada di bawah rata-rata, memiliki kecepatan
belajar di bawah kecepatan belajar siswa-siswa pada umumnya. Sedangkan
siswa yang berada di atas rata-rata, memiliki kecepatan belajar di
atas kecepatan belajar siswa-siswa lainnya.
Bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan rata-rata, selama
ini diberikan pelayanan pendidikan dengan mengacu pada kurikulum yang
berlaku secara nasional, karena memang kurikulum tersebut disusun
terutama diperuntukkan bagi anakanak yang memiliki kemampuan dan
kecerdasan rata-rata. Sementara itu, bagi siswa yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan di bawah rata-rata, karena memiliki kecepatan
belajar di bawah siswa-siswa lainnya, diberikan pelayanan pendidikan
berupa pengajaran remidi (remedial teaching), sehingga untuk
menyelesaikan materi kurikulum membutuhkan waktu yang lebih panjang
dari siswa-siswa lainnya. Sedangkan bagi siswa yang memiliki kemampuan
dan kecerdasan di atas rata-rata, meskipun memiliki kecepatan belajar
di atas kecepatan belajar siswa-siswa lainnya, belum mendapat
pelayanan pendidikan sebagaimana mestinya. Bahkan, kebanyakan sekolah
memberikan perlakuan yang standar (rata-rata), bersifat klasikal dan
massal, terhadap semua siswa, baik siswa di bawah rata-rata,
rata-rata, dan di atas rata-rata, yang sebenarnya memiliki kebutuhan
berbeda. Akibatnya, siswa yang di bawah rata-rata, akan selalu
tertinggal dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung;
sebaliknya, siswa yang di atas rata-rata, akan merasa jenuh karena
harus menyesuaikan diri dengan kecepatan belajar siswa-siswa lainnya.
Akibat lebih lanjut, sekitar 30% siswa SMU (di Jakarta) yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa berprestasi di bawah potensinya
(under achiever) (Yaumil, 1991). Demikian pula, 20% siswa SLTP dan 22%
siswa SD (di Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Kalimantan Barat)
yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, beresiko tinggal
kelas karena nilai rata-rata raportnya untuk semua mata pelajaran pada
catur wulan 1 dan 2 kurang dari 6 (Herry, dkk., 1997).
Berkenaan dengan hal tersebut, dipandang perlu adanya sistem
percepatan kelas bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan
luar biasa. Bagi siswa sekolah dasar yang memiliki kemampuan dan
kecerdasan luar biasa, diberi peluang dapat menyelesaikan studinya
kurang dari 6 tahun, misalnya 5 tahun atau bahkan 4 tahun, seperti
yang sudah dilakukan oleh Sekolah Dasar Negeri Percobaan (SDNP)
Kompleks Universitas Negeri Jakarta (UNJ) selama beberapa tahun
terakhir. Demikian pula, untuk siswa SLTP dan SMU; bagi yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa, diberi peluang untuk dapat
menyelesaikan studinya kurang dari 3 tahun, misalnya 2 tahun, seperti
yang sudah dilakukan oleh SLTP dan SMU Lab. School UNJ. Sebaliknya,
bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di bawah rata-rata,
diberi peluang untuk dapat menyelesaikan studi lebih lama dari
siswa-siswa lainnya.
Hal ini sejalan dengan amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999, bahwa
arah kebijakan pendidikan antara lain adalah melakukan pembaharuan
sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi
kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik. Selanjutnya,
sejalan pula dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang menegaskan bahwa warga negara
yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh
perhatian khusus {pasal 8 ayat (2)}; dan setiap peserta didik
mempunyai hak menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu
yang ditentukan (pasal 24 butir 6).
B. Landasan Konseptual
1. Batasan
Sebelum lahir UUSPN, di Indonesia terdapat istilah gifted, talented,
genius, dan berbakat, yang diinterpretasikan kurang seragam,
masing-masing orang memiliki konotasi yang beragam. Namun, ada
kecenderungan yang sama bahwa istilah-istilah dimaksud diperuntukkan
bagi seseorang yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang melebihi
orang-orang pada umumnya yang sebaya dengannya. Berkenaan dengan hal
tersebut, pemerintah memberi istilah warga negara yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa {UUSPN pasal 8 ayat (2)} untuk
menangkap arti dari istilah-istilah gifted, talented, genius, maupun
berbakat.
Kecerdasan berhubungan dengan kemampuan intelektual, sedangkan
kemampuan luar biasa tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual
(Moegiadi, 1991). Jenis jenis kemampuan dan kecerdasan luar biasa yang
dimaksud dalam batasan ini meliputi bidang: (1) intelektual umum dan
akademik khusus, (2) berpikir kreatif produktif, (3) psikososial/
kepemimpinan, (4) seni/kinestetik, dan (5) psikomotor.
Penafsiran terhadap UUSPN di atas sejalan dengan salah satu definisi
yang lazim digunakan di Amerika Serikat, yaitu: Gifted and talented
are those identified by profesionally qualified persons who by virtue
of outstanding abilities are capable of high performance. These are
children who require differentiated educational programs and/or
services those normally provided by the regular school program in
order to realize their contribution to self and society. Children
capable of high performance may not have demonstrated it has high
achievement, but can have potensial in any of the following areas
singly or in combination: (1) general intelectual ability, (2)
specific academic aptitude, (3) creative or productive thinking, (4)
leadership ability, (5) visual and performing arts, and (6)
psychomotor ability (Marland, 1972).
Jadi terminologi kemampuan dan kecerdasan luar biasa sebenarnya
sejalan dengan gifted and talented seperti yang tersirat pada definisi
the US Office of Education.
Sementara itu, penelitian terhadap tokoh-tokoh yang mendapat pengakuan
dan penghargaan karena prestasi dan sumbangan-sumbangan mereka yang
kreatif, ternyata selalu memiliki tiga kelompok ciri yang saling
berpautan (Renzulli, 1981), yaitu memiliki: (1) kemampuan/inteligensi,
(2) kreativitas, dan (3) tanggung jawab atau pengikatan diri terhadap
tugas (task commitment) di atas rata-rata. Inteligensi yang tinggi
saja belum cukup untuk menentukan kemampuan dan kecerdasan luar biasa;
demikian pula, kreativitas tanpa pengikatan diri terhadap tugas belum
menjamin prestasi unggul. Oleh karena itu, interaksi antara ketiga
ciri tersebut merupakan unsur yang esensial dan ketiga-tiganya sama
pentingnya dalam menentukan kemampuan dan kecerdasan luar biasa
seseorang.
2. Karakteristik
Anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa memiliki
ciri-ciri: (1) membaca pada usia lebih muda, (2) membaca lebih cepat
dan lebih banyak, (3) memiliki perbendaharaan kata yang luas, (4)
mempunyai rasa ingin tahu yang kuat, (5) mempunayi minat yang luas,
juga terhadap masalah orang dewasa, (6) mempunyai inisiatif, dapat
berkeja sendiri, (7) menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam
ungkapan verbal, (8) memberi jawaban jawaban yang baik, (9) dapat
memberikan banyak gagasan, (10) luwes dalam berpikir, (11) terbuka
terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan, (12) mempunyai
pengamatan yang tajam, (13) dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu
panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati, (14)
berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri, (15) senang mencoba
hal-hal baru, (16) mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan
sintesis yang tinggi, (17) senang terhadap kegiatan intelektual dan
pemecahan-pemecahan masalah, (18) cepat menangkap hubungan
sebabakibat, (19) berperilaku terarah pada tujuan, (20) mempunyai daya
imajinasi yang kuat, (21) mempunyai banyak kegemaran (hobi), (22)
mempunyai daya ingat yang kuat, (23) tidak cepat puas_ dengan
prestasinya, (24) peka (sensitif) dan menggunakan firasat (untuisi),
dan (25) menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan (Martinson,
1974).
Melihat ciri-ciri tersebut, terkesan seakan-akan siswa yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa hanya memiliki sifat-sifat yang
positif. Sebetulnya tidak demikian. Sebagaimana anak pada umumnya,
anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa mempunyai
kebutuhan pokok akan pengertian, penghargaan, dan perwujudan diri.
Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, mereka akan
menderita kecemasan dan keragu-raguan. Jika minat, tujuan, dan cara
laku mereka yang berbeda dengan peserta didik pada umumnya, tidak
memperoleh pengakuan, maka mereka walaupun memiliki kemampuan dan
kecerdasan yang unggul akan mengalami kesulitan. Hal ini nyata dari
daftar yang disusun oleh Seagoe (dikutip oleh Martinson, 1974) yang
menunjukkan bahwa ciri-ciri tertentu dari siswa yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa dapat atau mungkin mengakibatkan
timbulnya masalah-masalah tertentu, misalnya: (1) Kemampuan berpikir
kritis dapat mengarah ke arah sikap meragukan (skeptis), baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap orang lain; (2) Kemampuan kreatif dan
minat untuk melakukan hal-hal yang baru, bisa menyebabkan mereka tidak
menyukai atau lekas bosan terhadap tugas-tugas rutin; (3) Perilaku
yang ulet dan terarah pada tujuan, dapat menjurus ke keinginan untuk
memaksakan atau mempertahankan pendapatnya; (4) Kepekaan yang tinggi,
dapat membuat mereka menjadi mudah tersinggung atau peka terhadap
kritik; (5) Semangat, kesiagaan mental, dan inisiatifnya yang tinggi,
dapat membuat kurang sabar dan kurang tenggang rasa jika tidak ada
kegiatan atau jika kurang tampak kemajuan dalam kegiatan yang sedang
berlangsung; (6) Dengan kemampuan dan minatnya yang beraneka ragam,
mereka membutuhkan keluwesan serta dukungan untuk dapat menjajaki dan
mengembangkan minatnya; (7) Keinginan mereka untuk mandiri dalam
belajar dan bekerja, serta kebutuhannya akan kebebasan, dapat
menimbulkan konflik karena tidak mudah menyesuaikan diri atau tunduk
terhadap tekanan dari orang tua, sekolah, atau temantemannya. Ia juga
bisa merasa ditolak atau kurang dimengerti oleh lingkungannya; (8)
Sikap acuh tak acuh dan malas, dapat timbul karena pengajaran yang
diberikan di sekolah kurang mengundang tantangan baginya.
Selain itu, berdasar penelitian Herry (1993), mereka juga suka
mengganggu teman-teman sekitarnya, karena mereka lebih cepat memahami
materi pelajaran yang diterangkan guru di depan kelas ketimbang
teman-temannya. Dengan diterangkan sekali saja, mereka telah dapat
menangkap maksudnya, sedangkan siswa yang lain masih perlu dijelaskan
lagi; dus mereka banyak waktu terluang, sehingga apabila kurang
diantisipasi oleh gurunya, akan digunakan untuk mengadakan aktivitas
sekehendaknya (usil), misalnya mencubit atau melemparkan benda-benda
kecil/kapur ke teman-teman sekitarnya.
Masalah-masalah di atas dapat terjadi karena mereka belum mendapat
pelayanan pendidikan yang memadai (tidak disadarinya). Apabila
teman-teman sekelas mereka memiliki tingkat kemampuan dan kecerdasan
yang relatif sama (homogen), hal di atas tidak akan terjadi.
Untuk menghindari sifat-sifat yang kurang baik ini, perlu diupayakan
untuk memberikan kepuasan rokhaniah yang bermanfaat, yaitu melalui
pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan kecerdasannya
agar mereka dapat memanifestasikan potensinya yang masih latent, yakni
sebagaimana ciri-ciri mereka seperti dikemukakan di atas. Berdasarkan
berbagai hasil penelitian, potensi unggul peserta didik yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa tidak akan begitu saja muncul
tanpa stimulasi yang sesuai. Salah satu stimulasi yang sesuai adalah
memberikan pelayanan pendidikan yang berdiferensiasi, yaitu pemberian
pengalaman pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kecerdasan
peserta didik (Ward, 1980).
3. Program Pendidikan
Di negara-negara maju, terdapat berbagai jenis program pendidikan yang
dilakukan untuk siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar
biasa (Getls dan Dillon, dalam Hallahan dan Kaufman, 1982), antara
lain yaitu: (1) sekolah musin panas di negeri dengan empat musim, (2)
pendidikan dasar tidak berjenjang, (3) diterima lebih awal di
perguruan tinggi, (4) pelajaran-pelajaran perguruan tinggi bagi
siswa-siswa setingkat sekolah menengah, (5) mata-mata pelajaran di
sekolah menengah dan kreditnya diakui di perguruan tinggi, (6)
kelas-kelas khusus untuk mata pelajaran tertentu yang ada dalam
kurikulum, (7) kelas-kelas khusus pada semua mata pelajaran yang ada
dalam kurikulum, (8) seminar-seminar hari Sabtu, (9) pengelompokan
berdasar kemampuan, (10) pengayaan di kelas-kelas biasa, (11) guru
tamu, (12) penambahan mata pelajaran, (13) tugas-tugas kelompok dan
tugas-tugas ekstra kurikuler, (14) wisata karya, (15)
pelajaran-pelajaran khusus melalui televisi, (16) program pelajaran
biasa setengah hari, dan program pengayaan setengah hari lainnya, (17)
percepatan, (18) sekolah-sekolah khusus, (19) program konsultasi, (20)
bimbingan/tutorial, (21) belajar mandiri, (22) pertukaran pelajar,
(23) peningkatan yang luwes (misalnya anak SD mengambil pelajaran di
SMP, dsb.), (24) penempatan siswa pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, (25) program pemberian penghargaan, (26) program kegiatan yang
ditawarkan lembaga nonsekolah, seperti museum, perpustakaan, dan (27)
kurikulum khusus.
Dari sekian banyak bentuk program pendidikan yang dapat dipilih,
terdapat tiga jenis program yang terbanyak dilaksanakan, yaitu: (1)
Sistem Pengayaan, yakni pembinaan siswa yang memiliki kemampuan dan
kecerdasan luar biasa dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas
belajar tambahan yang bersifat pendalaman, setelah yang bersangkutan
menyelesaikan tuigas-tugas yang diprogramkan untuk anak-anak lainnya;
(2) Sistem Percepatan, yakni tu pembinaan siswa yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa dengan memperbolehkan yang
bersangkutan naik kelas secara meloncat (eksaltasi), atau
menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih singkat
(akslerasi); (3) Pengelompokan Khusus, yakni pembinaan siswa yang
memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dengan cara yang
bersangkutan dikumpulkan dan diberi kesempatan secara khusus sesuai
dengan potensinya. Pengelompokan biasanya didasarkan pada kemampuan
dan kecerdasan, dan dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk, antara
lain: (a) kelas khusus, (b) sekolah khusus, (c) pertemuan khusus,
sebelum dan sesudah jam sekolah, serta (d) program di luar kelas
reguler pada jam belajar (Clark, 1983).
Betapapun, pemilihan bentuk program pendidikan bagi siswa yang
memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa akan selalu tergantung
tidak hanya pada individuindividu yang terlibat, melainkan juga pada
situasi dan kondisi lingkungan tempat program akan dilaksanakan. Di
samping itu, juga tidak dapat dilihat lepas dari suatu pertimbangan
segi politis dan ekonomis, sejauh mana sesuai dengan kebijaksanaan
pendidikan, dan sejauh mana mudah dan murah pelaksanaannya.
Berdasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, tampaknya berbagai pihak,
baik pengambil keputusan di lingkungan Ditjen Dikdasmen Depdiknas
maupun pelaksana di lapangan (yayasan/sekolah) lebih condong untuk
menerapkan program akselerasi. Hal ini telah dilakukan di SDNP UNJ,
SLTP Lab. School UNJ, SLTP Sudirman Jakarta, SMU Lab School UNJ, SMU
Al Azhar Cikarang-Bekasi, dan SMUN 8 Jakarta.
C. Landasan Filosofis
Penyelenggaraan sekolah unggul, termasuk di dalamnya sistem percepatan
kelas (akselerasi) didasari filosofi yang berkenaan dengan: (1)
hakikat manusia, (2) hakikat pembangunan nasional, (3) tujuan
pendidikan, dan (4) usaha untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut
(Depdikbud, 1994).
Pertama, manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa telah dilengkapi
dengan berbagai potensi dan kemampuan. Potensi itu pada dasarnya
merupakan anugerah kepada manusia yang semestinya dimanfaatkan dan
dikembangkan, tidak disia-siakan. Peserta didik yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa, sebagaimana anak pada umumnya,
juga mempunyai kebutuhan pokok akan keberadaannya (eksistensinya).
Apabila kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi, mereka akan menderita
kecemasan dan keragu-raguan. Jika potensi mereka tidak dimanfaatkan,
mereka akan mengalami kesulitan walaupun potensial (Utami Munandar,
1982).
Di samping memiliki persamaan dalam sifat dan karakteristiknya,
potensi tersebut memiliki tingkat dan jenis yang berbeda-beda.
Pendidikan dan lingkungan sepatutnya berfungsi untuk mengembangkan
potensi tersebut agar menjadi aktual dalam kehidupan, sehingga berguna
bagi orang yang bersangkutan, masyarakat, dan bangsanya, serta menjadi
bekal untuk menghambakan diri kepada Tuhan. Dengan demikian, usaha
untuk mewujudkan anugerah potensi tersebut secara penuh merupakan
konsekuensi dari amanah Tuhan.
Kedua,
dalam pembangunan nasional, manusia merupakan sentral, yaitu sebagai
subyek dan sekaligus obyek pembangunan. Untuk dapat memainkan perannya
sebagai subyek, maka manusia Indonesia dikembangkan untuk menjadi
manusia yang utuh, yang berkembang segenap dimensi potensinya secara
wajar, sebagaimana mestinya.
Pelayanan pendidikan yang kurang memperhatikan potensi anak, bukan
saja akan merugikan anak itu sendiri, melainkan akan membawa kerugian
yang lebih besar bagi perkembangan pendidikan dan percepatan
pembangunan di Indonesia (Utami Munandar, dalam Herry, 1991). Hal ini
disebabkan karena negara akan kehilangan sejumlah tenaga terampil yang
sangat bermanfaat dalam pencapaian tujuan pembangunan secara
menyeluruh. Pendidikan nasional mengemban tugas dalam mengembangkan
manusia Indonesia sehingga menjadi manusia yang utuh dan sekaligus
merupakan sumberdaya pembangunan.
Ketiga,
pendidikan nasional berusaha menciptakan keseimbangan antara
pemerataan kesempatan dan keadilan. Pemerataan kesempatan berarti
membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua peserta didik dari
semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tanpa dihambat
perbedaan jenis kelamin, suku bangsa, dan agama. Akan tetapi,
memberikan kesempatan yang sama (equal oppornity), pada akhirnya akan
dibatasi oleh kondisi obyektif peserta didik, yaitu kapasitasnya untuk
dikembangkan.
Untuk mencapai keunggulan dalam pendidikan, diperlukan intensi bukan
hanya memberikan kesempatan yang sama, melainkan memberikan perlakuan
yang sesuai dengan kondisi obyektif peserta didik. Perlakuan
pendidikan yang adil pada akhirnya adalah perlakuan yang didasarkan
pada kemampuan dan kecerdasan peserta didik.
Sementara itu, dipandang dari segi demokrasi, sebenarnya setiap anak,
apakah ia menonjol, biasa, atau kurang kemampuan dan kecerdasannya,
harus diberi kesempatan sepenuhnya untuk mengembangkan dirinya sampai
ke batas kemampuan dan kecerdasannya (Terman, 1979).
Dengan dmikian, justru peserta didik yang memiliki kemampuan dan
kecerdasan luar biasa yang sampai sekarang selalu mendapat kesempatan
yang sangat kurang untuk mengembangkan kemampuan dan kecerdasannya
dengan sebaik-baiknya, karena mereka belum menerima pelayanan
pendidikan yang sesuai dengan taraf kemampuan dan kecerdasannya yang
menonjol itu (Andi Hakim Nasoetion, 1982). Di pihak lain, memperlakuan
secara sama setiap peserta didik yang berbeda kemampuan dan
kecerdasannya merupakan perlakuan yang tidak berkeadilan.
Keempat,
dalam upaya mengembangkan kemampuan peserta didik, pendidikan
berpegang kepada azas keseimbangan dan keselarasan, yaitu:
keseimbangan antara kreativitas dan disiplin, keseimbangan antara
persaingan (kompetitif) dan kerjasama (kooperatif), keseimbangan
antara pengembangan kemampuan berpikir holistik dengan kemampuan
berpikir atomistik, dan keseimbangan antara tuntutan dan prakarsa.
D. Penyelenggaraan Sistem Percepatan Kelas (Akselerasi)
Upaya peningkatan mutu pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang saling terkait satu sama lain. Faktor-faktor tersebut merupakan
sub-sistem dalam sitem pendidikan/persekolahan. Bila ingin
mengembangkan sub-sistem tertentu, menuntut perubahan atau penyesuaian
pada sub-sistem yang lain.
Bila pendidikan bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar
biasa dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (output)
pendidikannya, maka untuk mencapai keunggulan tersebut, sedikitnya
terdapat 8 faktor lainnya yang perlu diarahkan untuk menunjang
tercapainya tujuan tersebut. Faktor-faktor itu meliputi: (1) masukan
(input, intake), (2) kurikulum, (3) tenaga kependidikan, (4)
sarana-prasarana, (5) dana, (6) manajemen, (7) lingkungan, dan (8)
proses belajar-mengajar, yang dapat digambarkan secara diagramatis
seperti di bawah ini (Herry, 1999).
herry_gbr1.gif (3898 bytes)
Pertama,
masukan (input, intake) siswa diseleksi secara ketat dengan
menggunakan kriteria tertentu dan prosedur yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kriteria yang digunakan adalah: (a) prestasi
belajar, dengan indikator: angka raport, Nilai Ebtanas Murni (NEM),
dan/atau hasil tes prestasi akademik, berada 2 standar deviasi (SD) di
atas Mean populasi siswa; (b) skor psiko-tes, yang meliputi:
inteligency quotient (IQ) minimal 125, kreativitas, tanggung jawab
terhadap tugas (task qommitment), dan emotional quotient (EQ) berada 2
SD di atas Mean populasi siswa; (c) kesehatan dan kesemaptaan jasmani,
jika diperlukan.
Kedua,
kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional yang standar, namun
dilakukan improvisasi alokasi waktunya sesuai dengan tuntutan belajar
peserta didik yang memiliki kecepatan belajar serta motivasi belajar
lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan belajar dan motivasi
belajar siswa seusianya. Dalam hal ini, misalnya untuk menyelesaikan
studi di SD, yang biasanya memakan waktu 6 tahun, terdiri atas 18
catur wulan, setiap tahun terdiri atas 3 catur wulan; dipercepat
menjadi 5 tahun, tahun pertama terdiri atas 5 catur wulan dan tahun
kedua 4 catur wulan, kemudian tahun ketiga, empat, dan lima
masing-masing terdiri atas 3 catur wulan. Atau bisa juga dipercepat
menjadi 4 tahun, tahun pertama terdiri atas 5 catur wulan, tahun kedua
5 catur wulan, tahun ketiga 4 catur wulan, dan tahun keempat 4 catur
wulan.
Reguler
Akselerasi (Model 1)
Akselerasi (Model 2)
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
Tahun 5
Tahun 6
Cw 1 Cw 2 Cw 3
Cw 4 Cw 5 Cw 6
Cw 7 Cw 8 Cw 9
Cw10 Cw11 Cw12
Cw13 Cw14 Cw15
Cw16 Cw17 Cw18
Cw 1 Cw 2 Cw 3 Cw 4 Cw 5
Cw6 Cw 7 Cw 8 Cw 9
Cw10 Cw11 Cw12
Cw13 Cw14 Cw15
Cw16 Cw17 Cw18
Cw 1 Cw 2 Cw 3 Cw 4 Cw 5
Cw 6 Cw 7 Cw 8 Cw 9 Cw10
Cw11 Cw12 Cw13 Cw14
Cw15 Cw16 Cw17 Cw18
Demikian pula, untuk menyelesaikan studi di SLTP atau SMU, yang
biasanya memakan waktu selama 3 tahun, terdiri atas 9 catur wulan,
setiap tahun 3 catur wulan; dipercepat menjadi selama 2 tahun, setiap
tahun terdiri atas 4,5 (empat setengah) catur wulan; atau tahun
pertama 5 catur wulan dan tahun kedua 4 catur wulan.
Reguler
Akselerasi
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Cw 1 Cw 2 Cw 3
Cw 4 Cw 5 Cw 6
Cw 7 Cw 8 Cw 9
Cw 1 Cw 2 Cw 3 Cw 4 Cw 5
Cw6 Cw 7 Cw 8 Cw 9
Ketiga,
tenaga kependidikan. Karena siswanya memiliki kemampuan dan kecerdasan
luar biasa, maka tenaga kependidikan yang menanganinya-pun terdiri
atas tenaga kependidikan yang unggul, baik dari segi penguasaan materi
pelajaran, penguasaan metode mengajar, maupun komitmen dalam
melaksanakan tugas.
Keempat, sarana-prasarana yang menunjang, yang disesuaikan dengan
kemampuan dan kecerdasan siswa, sehingga dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan belajar serta menyalurkan kemampuan dan
kecerdasannya, termasuk bakat dan minatnya, baik dalam kegiatan
kurikuler maupun ekstra kurikuler.
Kelima, dana. Untuk menunjang tercapainya tujuan yang telah ditetapkan
perlu adanya dukungan dana yang memadai, termasuk perlunya disediakan
insentif tambahan bagi tenaga kependidikan yang terlibat, berupa uang
maupun fasilitas lainnya.
Keenam, manajemen, bersangkut paut dengan strategi dan implementasi
seluruh sumberdaya yang ada dalam sistem sekolah untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, bentuk manajemen pada sekolah
dengan sistem kelas percepatan, harus memiliki tingkat fleksibilitas
yang tinggi, realistis, dan berorientasi jauh ke depan. Dengan
demikian, pengelolaannya didasari oleh komitmen, ketekunan, pemahaman
yang sama, kebersamaan antara semua pihak yang terlibat dalam kegiatan
ini.
Ketujuh, lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi
keunggulan menjadi keunggulan yang nyata, baik lingkungan dalam arti
fisik maupun sosial-psikologis di sekolah, di masyarakat, dan di
rumah.
Kedelapan, proses belajar-mengajar yang bermutu dan hasilnya selalu
dapat dipertanggungjawabkan (accountable) kepada siswa, orang tua,
lembaga, maupun masyarakat.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Berdasar uraian di muka, dapat dirumuskan kesimpulan di bawah ini.
a. Perlunya perhatian khusus kepada peserta didik yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa adalah selaras dengan fungsi
utama pendidikan, yaitu mengembangkan potensi peserta didik
seoptimal mungkin.
b. Pengembangan potensi peserta didik, memerlukan strategi yang
sistematis dan terarah. Sementara itu, strategi pendidikan yang
ditempuh selama ini, termasuk kurikulum yang ada, memberikan
perlakuan yang standar (rata-rata) kepada semua peserta didik yang
sebenarnya berbeda kemampuan dan kecerdasannya. Strategi ini
relevan dalam konteks pemerataan kesempatan, akan tetapi kurang
mampu menunjang usaha mengoptimalkan pengembangan potensi peserta
didik, mengingat bahwa setiap individu memiliki perbedaan
kemampuan dan kecerdasan.
c. Potensi unggul peserta didik yang memiliki kemampuan dan
kecerdasan luar biasa tidak akan begitu saja muncul tanpa
stimulasi yang sesuai. Salah satu stimulasi yang sesuai adalah
melalui pemberian pelayanan pendidikan yang berdiferensiasi, yaitu
pemberian pengalaman pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan
dan kecerdasan peserta didik; dengan menggunakan kurikulum yang
berdiversifikasi, yaitu kurikulum standar yang diimprovisasi
alokasi waktunya sehingga sesuai dengan kecepatan belajar dan
motivasi belajar siswa.
d. Pelayanan pendidikan yang berdiferensiasi dengan menggunakan
kurikulum yang berdiversifikasi dapat diimplementasikan melalui
penyelenggaraan sistem percepatan kelas (akselerasi). Dengan
sistem percepatan kelas, siswa yang memiliki kemampuan dan
kecerdasan luar biasa diberi peluang untuk dapat menyelesaikan
studi di SD kurang dari 6 tahun (misalnya 5 tahun atau 4 tahun),
di SLTP dan SMU masing-masing kurang dari 3 tahun (misalnya 2
tahun), dengan menyelesaikan semua target kurikulum tanpa meloncat
kelas.
e. Penyelenggaraan sistem percepatan kelas (akselerasi) bagi siswa
yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan salah
satu strategi alternatif yang relevan, karena siswa yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa mimiliki kecepatan belajar dan
motivasi belajar di atas kecepatan dan motivasi belajar siswa
lainnya. Strategi alternatif ini di samping bertujuan untuk
memberikan pelayanan pendidikan sesuai dengan potensi siswa, juga
bertujuan untuk mengimbangi kekurangan yang terdapat pada strategi
klasikal-massal. Dengan adanya strategi alternatif ini, tidak
berarti peningkatan mutu pendidikan untuk peserta didik secara
klasikal-massal diabaikan, melainkan perbedaannya terletak pada
intensitas dan ekstensitas perhatian yang diberikan kepada peserta
didik disesuaikan dengan kondisinya.
2. Rekomendasi
Berdasar kesimpulan di atas, dapat disusun rekomendasi di bawah ini.
a. Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, perlu mengadakan
pilot-project penyelenggaraan kelas percepatan bagi peserta didik
yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa. Pilot-project
dapat dilakukan di SD, SLTP, dan SMU, di salah satu
kabupaten/kotamadya di mana terdapat siswa yang memiliki kemampuan
dan kecerdasan luar biasa dalam jumlah yang cukup signifikan.
Biasanya, secara alami, siswa-siswa yang memiliki kemampuan dan
kecerdasan luar biasa cenderung mengumpul di sekolah-sekolah
favorit.
b. Bila pada kabupaten/kotamadya tertentu terdapat siswa yang
memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dalam jumlah yang
cukup signifikan, maka kabupaten/kotamadya tersebut dapat
menyelenggarakan sistem percepatan kelas (akselerasi) di SD, SLTP,
dan SMU, minimal satu sekolah untuk setiap satuan pendidikan.
Sehinga setiap siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar
biasa yang berada di kabupaten/kotamadya tersebut mempunyai
peluang untuk mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan
potensinya.
c. Bila pada propinsi tertentu terdapat siswa yang memiliki kemampuan
dan kecerdasan luar biasa dalam jumlah yang sangat signifikan
(sangat banyak), maka propinsi tersebut dapat menyelenggarakan
Sekolah Khusus dengan sistem percepatan kelas (akselerasi) bagi
siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa.
Pustaka Acuan
Andi Hakim Nasoetion. Anak Berbakat dan Kemungkinan Menemukannya di
Indonesia. Jakarta: C.V. Rajawali, 1982.
Clark, Barbara. Growing Up Gifted. Colombus Ohio: Charles E. Merril
Publishing Company, 1983.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pengembangan Sekolah Unggul.
Jakarta: Depdikbud, 1994.
Hallahan Daniel P & M. James Kauffman. Exceptional Children. New
Jersey: Prentice- Hall Inc. Englewood Cliffs, 1982.
Herry Widyastono. Kinerja Guru Sekolah Dasar: Studi Korelasional
antara Bakat Skolastik, Kreativitas, dan Motivasi Berprestasi, dengan
Kinerja Guru Sekolah Dasar dalam Mengajar Ilmu Pengetahuan Alam.
Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Tahun Ke-5, No. 020,
Desember 1999.
Herry Widyastono, dkk. Profil Peserta Didik yang Memerlukan Perhatian
Khusus dan yang Berkesulitan Belajar di Sekolah Dasar. Jakarta:
Pusbang Kurrandik Balitbang Depdikbud, 1997.
Herry Widyastono, dkk. Profil Peserta Didik yang Memerlukan Perhatian
Khusus dan yang Berkesulitan Belajar di Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama. Jakarta: Pusbang Kurrandik Balitbang Depdikbud, 1997.
Herry Widyastono. Kurikulum Plus: Satu Alternatif Program Pembelajaran
bagi Anak Unggul. Surakarta: Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi No. 14
Th. 5, Januari - April 1996.
Herry Widyastono. Pendidikan bagi Siswa Berbakat: Mungkinkah
Diselenggarakan di Indonesia? Surakarta: Jurnal Rehabilitasi dan
Remediasi No. 6 Th. 2, Juli - September 1993.
Herry Widyastono. Penyelenggaraan Sekolah Unggul: Landasan Yuridis,
Filosofis, dan Konseptual. Jakarta: Program Pascasarjana IKIP Jakarta,
1993.
Herry Widyastono, dkk. Rancangan Pengembangan Pendidikan bagi Peserta
Didik yang Memiliki Kemampuan dan Kecerdasan Luar Biasa. Jakarta:
Pusbang Kurrandik Balitbang Depdikbud, 1991.
Yaumil A. Achir. Bakat dan Prestasi. Jakarta: Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, 1991.
Martinson, R.A. The Identification of the Gifted and Talented.
California: Ventura, 1974.
Marland. Education of the Gifted and Talented. Washington: U.S.
Government Printing Office, 1972.
Moegiadi. Perhatian Khusus terhadap Peserta Didik Berbakat. Jakarta:
Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional, 1991.
Renzulli, J.S., S.M. Reis, & L.H. Smith. The Revolving Door
Identification Model. Connecticut: Creative Learning Press, 1981.
Terman, L.M. The Discovery and Encoragement of Exceptional Talent.
Standford University Press, 1959.
Utami Munandar, S.C. Bunga Rampai Anak Berbakat: Pembinaan dan
Pendidikannya. Jakarta: C.V. Rajawali, 1982.
Ward, V.S. Differential Education for the Gifted. California: Ventura,
1980.
Posted by
8:42 AM
and have
2
comments
, Published at
2 komentar :
Thank You so much,,,
Saya St.Maisyah Raniah, disini saya banyak mendapatkan hal luar biasa yaitu saya bisa mengerti diri saya sendiri. Diri saya yang kurang di pahami dan kurang dimengerti oleh lingkungan sekitar membuat saya menjadi anak yang kurang. Padahal didalam diri saya ada kemauan yang tidak dipahami orang lain. Tetapi setelah membaca/mengerti isi bacaan disini saya merasa bisa lebih bermakana dan tidak lagi merasa kurang, Saya bisa menjadi anak yang lebih bermotivasi tinggi,akal yang luar biasa,dan mandiri.saya juga bisa mengerti diri saya memang seperti ini-itu. Jadi saya merasa BETUL semuanya benar.
Saya ucapkan Terima kasih sebanyak-banyaknya pada pembuat Bloger ini.
Thank You so much,,
Saya St.Maisyah Raniah, saya telah membaca blog ini dan saya mengerti atau memahami isi disini. Saya jadi bisa mengerti diri saya yang ini,ini,dan itu. Saya bisa memahami kalau diri saya ini (maaf tidak sombong) memang benar- benar tertera pada apa yang Anda tulis disini, tentang kemampuan yang dimiliki,kreativitas,dan tanggung jawab, adalagi Karakteristik, saya marasa sifat disini semuanya ada pada diri saya. Tetapi saya melihat lagi kalau saya kurang dipahami oleh lingkungan sekitar,sikap acuh tak acuh saya,kemampuan berpikir kritis yang biasa saya lakukanmenagarahkan saya ke arah sikap meragukan baik terhadap diri saya maupun orang lain,minat untuk melakukan hal baru menyebabkan saya lekas terhadap tugas-tugas rutin saya,perilaku ulet dan terarah pada tujuan menjuruskan keinginan saya untuk memaksa atau mempertahankan pendapat,kepakaan yang tinggi juga membuat orang menjadi mudah tersinggung,saya juga kurang sabar jika kurang kaemajuan dalam apa yang yang saya perbuat,kemamapuan yang saya punyai pun banyak dan membutuhkan keluwesan untuk mengembangkan minat saya,keinginan saya untuk mandiri dalam bekerja tau belajar dan kebutukan juga kebebasan menimbulkan konflik karena tidak mudah untuk saya menyesuaikan diri pada tekanan dari orang tua mau sekolah ataupun orang lain,saya mudah bosan dan malas kalau dikelas pelajarannya kurang manantang dan sekalilagi itu semua benar. Tetapi disini ada yang mengatakan berdasarkan penelitian Henry, mereka suka mengganggu teman-temannya karena mereka lebih paham daripada teman-temannya,mereka akan melemparkan benda-benda kecil kepada temannya ataupun mencubit, saya rasa ini memang betul tetapi sifat ini tidak tertanam pada diri saya. Dan masih banyak lagi. Saya sangat berterimakasih.
Posting Komentar