Sebagai muslim bergender perempuan, saya mendapat dispensasi cuti puasa selama kurang lebih satu minggu. Itu bukan hal yang terlalu aneh, meski sering dilupakan oleh para penjual makanan di siang hari di bulan puasa. Tetapi tidak sekedar itu, atribut bertambah sebagai perantau alias kos. Hingga detik ini, saya belum bisa menerima tutupnya warung nasi, atau penjual es dengan alasan; toleransi di bulan puasa.
Alasan pertama, di antara muslim pun pasti ada yang sedang tidak berpuasa. Ke dua, muslim juga manusia, dus, bisa jatuh sakit yang berarti butuh makanan. Ke tiga, muslim pun memiliki mobilitas.. maka menjadi musafir lah ia, yang juga mendapatkan dispensasi tidak berpuasa dulu.
Itu alasan yang saya beranikan diri sebagai muslim. Alasan lain adalah, sebenarnya menggelikan bagi saya pribadi. Bahwa berpuasa adalah mengendalikan hawa nafsu termasuk di antaranya yang terlihat adalah makan dan minum. Pertanyaannya; siapa yang berpuasa? Untuk siapa? Ketika semua godaan itu ‘dihilangkan’ , lalu, apalagi yang perlu ‘ditahan atau ‘dikendalikan’? Sebetulnya saya merasa miris, mengingat arogansi sebagian dari muslim yang ‘merazia’ bahkan dengan konyolnya ke warung-warung kopi, yang dari bentuk fisiknya pun terlihat ‘mengais rizki’. Maka, pertanyaan menjadi bertambah, siapa yang menjadi tuhan?
Yang terjadi adalah ‘kita menuntut untuk di-toleransi’, sebagai mayoritas. Itu bukanlah toleransi melainkan ‘kekuasaan’, lebih tepatnya; sok berkuasa. Apakah akan tepat pula, jika saya katakan sebagai kemanjaan mayoritas? Ketidakmandirian dalam berkeyakinan, atau bahkan arogansi dalam berkeyakinan, hanya karena kebetulan sebagai mayoritas?
Ketika saya dan beberapa teman kantor yang non muslim kebingungan mencari makan siang, saya teringat kalimat seorang teman kuliah sekian tahun yang lalu, “Kalau di Aceh, mana ada yang berani buka, warung makan itu,” cerita dia. Saya pun bertanya heran, “Kenapa?” “ Ya, kan menghormati bulan puasa” kembali jawaban yang sangat absurd tersaji. Sampai sekarang, saya masih hanya bisa menghela nafas panjang. Apa ada aturan dalam agama Islam untuk berdagang makanan atau es campur di pagi hari dan siang bolong di bulan puasa?
Dalam suatu chatting dengan sahabat, yang kebetulan sedang melanjutkan pendidikan di Filipina. Ia bercerita tentang kerinduannya makan bersama dengan teman-teman asrama sesame Indonesia. Suatu sore ia merasa dongkol karena telah memanaskan makanan untuk makan bersama, ternyata teman-teman yang muslim sore itu buka bersama ke masjid tanpa pemberitahuan. Sering pula mereka lama di masjid kemudian pulang ke asrama langsung masuk kamar. Sambil tertawa saya bilang, “Ngobrol dong neng..” Ia merasa tidak enak , campuran antara takut menyinggung dan takut dikira tidak toleran, padahal yang diinginkan sederhana; makan malam bersama. Ditambah dengan mudahnya perubahan rencana teman-teman se Indonesia, rencana yang sudah disepakati pagi hari bisa dengan enak dirubah sore harinya tanpa komunikasi. Untuk ini, saya hanya bisa memencet keyboard merangkai kalimat;’Indonesia banget’
Karena hubungan kami dekat, maka pembicaraan yang dianggap sensitif bisa mengalir. Toleransi yang selama ini terjadi adalah toleransi ‘asal tidak menganggu’, bukan toleransi yang terlibat aktif hingga terbentuk banyak jembatan untuk berbagai perbedaan yang ada. Saya rasa dalam kasus sahabat saya itu, yang terjadi adalah ‘tuntutan toleransi’ dan berkembangnya prasangka juga stereotype. Yang muslim merasa ingin memaksimalkan waktunya untuk ibadah ritual seperti tarawih, sholat malan, mengaji, dsb. Yang non muslim merasa ‘ditinggal tanpa penjelasan’ padahal sebelumnya mereka satu sebagai ‘keluarga’ di negara orang.
Bahkan sahabat saya yang kebetulan memiliki keluarga berbeda agama pun belum mengerti ‘optimalisasi untuk ibadah ritual’nya umat muslim. Teman-temannya langsung masuk kamar, kemungkinan akan meneruskan dengan mengaji, kemungkinan lama di masjid juga untuk melakukan kajian Al-Quran. Saya yakin, umat muslim pun belum atau tidak mau mengerti tentang perasaan umat Nasrani dalam merayakan Natal, atau Jumat Agung. Apalagi dengan umat lain seperti Budha atau Hindu.
Apa yang berkembang di benak antar umat adalah perbedaannya, bukan cerita yang melatari atau perasaan orang-orang yang menjalani. Padahal mengetahui latar belakang dan perasaan mereka yang berbeda menjadi jembatan komunikasi yang sekaligus berpotensi memutus prasangka. Pembelajaran sebagai ‘yang benar’ , ‘yang paling benar’ mengkarbit fitrah manusia itu sendiri dalam bertumbuh dan berkembang. Kita lupa, bahwa di luar sana, bahkan di sekitar, ada banyak mereka yang berbeda. Kepincangan komunikasi yang bermakna juga terjadi akibat telah terbiasanya kita ‘dipaksa’ untuk ‘tahu sendiri’ atau ‘tahu sama tahu’ dengan begitu saja, bukan dengan interaksi atau komunikasi yang equal. Lebih jauh, keengganan untuk belajar dan memahami inilah yang kemudian berpotensi mendorong kita untuk bersikap dan bertindak sebagai hakim bahkan tuhan. Padahal kita pun sama-sama memiliki peluang untuk menjadi apa yang disebut ‘yang tidak benar’.
Pagi itu, sepulang dari mengantri membentuk formasi ular naga panjangnya… untuk mendapatkan tiket mudik, saya nekat membeli teh botol dibungkus kantung plastik di dekat kantor. Penjual itu memandang saya dengan pandangan aneh, saya tidak peduli dan melangkah menuju tempat kerja. Entah, jika saya laki-laki pandangan aneh seperti apa yang mereka lemparkan.
Selamat Berpuasa, bagi yang berpuasa
Terima kasih untuk toleransi bagi teman-teman non muslim.
Salam,
Ardiningtiyas P.
www.kabarindonesia.com
Posted by
12:14 PM
and have
1
comments
, Published at
1 komentar :
Sharing yaa. Saya menulis tentang puasa dan toleransi di blog saya.Semoga menjawab apa yang dirembuk dalam tulisan ini. Silakan kunjungi bambangedi.wordpres.com
Posting Komentar