ABSTRACT
Hasil penelitian mutakhir telah merubah paradigma lama tentang pentingnya kualitas Pendidik Tenaga Kependidikan Pendidikan Non-Formal (PTK-PNF) dalam meningkatkan mutu pendidikan. Paradigma yang mengandalkan kualitas PTK-PNF dilihat semata-mata dari sertifikasi ijazahnya ternyata keliru, karena yang lebih penting adalah tingkat kopetensinya dan seberapa besar kompetensi yang dimiliki itu benar-benar dipraktekkan dalam sejumlah jam secara efektif di kelas. Ini berarti peran PTK-PNF yang profesional dari kacamata kompetensi profesi sangat diperlukan. Sayangnya, seperti juga sebagian besar profesi lainnya, PTK-PNF sebagai profesi masih dalam taraf perkembangan. Oleh sebab itu, sertifikasi profesi PTK-PNF menjadi sangat penting dikembangkan dan ditata karena tidak hanya untuk mendorong perkembangan profesi PTK-PNF tetapi juga berperan dalam meningkatat kualitas, efektivitas dan ketertiban dalam proses pendidikan. Karena penegakan profesi PTK-PNF tidak hanya menjamin mutu, tetapi juga melindungi pendidikan dari malpraktek dalam proses dan materi PTK-PNFan, mendorong kinerja profesi PTK-PNF, dan memberikan perlindungan hukum dan renumerasi bagi profesi PTK-PNF secara berkelayakan.
Dalam rangka menuju sertifikasi profesi PTK-PNF yang mapan dan akuntabel perlu dilakukan langkah sistemik yang meliputi: perumusan standar kompetensi PTK-PNFan dan body of knowledge yang mendukungnya, rincian jenis dan jenjang profesi PTK-PNF, kode etik profesi, standar penyelenggaraan pendidikan dan latihan PTK-PNF, sistem dan mekanisme sertifikasi profesi, sistem dan mekanisme lisensi dan akreditasi penyelenggaraan PTK-PNFan dan pelatihan profesi, sistem pengendalian profesi, sistem sanksi terhadap pelanggaran profesi, perlindungan profesi, dan manajemen sertifikasi profesi.
Pemerintah sebagai regulator, distributor, dan resource allocator perlu secara integratif mengatur sertifikasi profesi PTK-PNF dengan mengikutsertakan organisasi profesi, lembaga pendidikan tinggi, orang tua dan warga belajar. Bekerja sama dengan akademisi, praktisi, dan orang tua peserta didik, organisasi profesi perlu ambil inisiatif dalam gerakan menegakkan dan mengembangkan sertifikasi profesi PTK-PNF. Perpamongan tinggi dapat ambil bagian dalam pengembangan konsep dan regulasi baik secara kelembagaan maupun individual melalui akademisinya, serta dalam menyelenggarakan pre-service dan in-service training bagi pembentukan salah satu kompetensi profesi PTK-PNF.
Kata kunci: sertifikasi;kompetensi; profesi; PTK-PNF.
1. Sertifikasi dan Lisensi
Istilah sertifikasi dipergunakan dalam pengertian yang bervariasi tergantung kepada konteksnya. Di dunia perbankan misalnya, sertifikasi diartikan sebagai “process by which a bank or other financial insititution guarantees a signature in the request for payment on a savings bond, a request for reissue, or other application or request relating to savings bonds”. Dalam arti yang lain, sertifikasi merupakan proses dimana pengakuan resmi (keabsahan) terhadap orang, produk, proses, kepemilikan, atau keterangan, dan biasanya diatur dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sertifikasi produk misalnya diujudkan dalam bentuk sertifikasi halal terhadap produk makanan tertentu atau sertifikasi komputer yang kompatibel terhadap sejumlah program tertentu. Sedangkan sertifikasi yang berupa kepemilikan adalah sertifikat tanah. Sertifikasi keterangan misalnya adalah sertifikasi kelahiran atau adopsi anak. Sertifikasi untuk orang biasanya diberikan karena yang bersangkutan mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan atau kemampuan yang diakui oleh lembaga yang memberikan sertifikat. Sebagai bentuk pengakuan keabsahan dan keauntentikan, biasanya sertifikasi itu diterbitkan secara resmi yang dikuatkan dengan stempel atau meterai (seal). Dalam makalah ini, istilah sertifikasi yang dimaksud merupakan pengakuan resmi terhadap orang yang karena kepemilikan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuannya diberikan pengakuan resmi. Pengakuan itu diberikan oleh lembaga yang mempunyai wewenang untuk memberikan sertifikasi. Karena untuk memperolehnya diperlukan persyaratan tertentu dan proses tertentu yang harus dilalui, maka sertifikasi juga diartikan sebagai proses yang harus ditempuh untuk memperoleh pengakuan resmi, yang antara lain berupa pengujian (testing).
Dalam beberapa penggunaan di bidang pendidikan, sertifikasi (certification) sering disamakan dengan lisensi (licensure), seperti yang dipakai oleh beberapa peraturan perundangan Dewan Pendidikan di Amerika Serikat yang diberlakukan bagi balai negeri (dalam bentuk Public School Code and statutes). Sementara itu menurut Balasa (2003), perbedaan antara sertifikasi dan lisensi terletak pada sifat pemberlakuannya, sertifikasi diberlakukan secara sukarela (volutarity) sedangkan lisensi bersifat keharusan (mandatory). Di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, program sertifikasi untuk PTK-PNF yang bersifat voluntary ditingkatkan menjadi mandatory dalam bentuk lisensi seperti contoh yang dilakukan Ohio State Amerika Serikat. Lisensi menunjukkan ijin untuk praktek yang dapat terbatas dalam artian lokasi, jangka waktu, dan dapat diberikan atas dasar hasil evaluasi.
Di peraturan perudangan-undangan yang berlaku menyangkut pendidikan di Indonesia, istilah lisensi belum dipergunakan, yang dipakai adalah sertifikasi, akreditasi, dan standar nasional. Menurut UU No. 30/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sertifikasi dapat berbentuk dua macam, yaitu dalam bentuk ijazah dan sertifikasi kompetensi, sedang istilah yang digunakan dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sertifikasi kompetensi kerja atau sertifikasi profesi. Ijazah diberikan sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jejang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. Menurut peraturan perundangan tersebut, sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Sedangkan sertifikasi kompetensi kerja diberikan kepada tenaga kerja yang telah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan baik pemerintah maupun swasta, atau pelatihan di tempat kerja. Jadi kompetensi disini adalah kualifikasi kemampuan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan ketrampilan sesuai dengan standar yang disepakati. Sertifikasi profesi biasa diberikan oleh lembaga profesi sebagai bentuk pengakuan penguasaan kinerja seseorang di lapangan dengan berbasis body of knowledge, pengalaman kerja, dan berdasarkan kode etik profesi.
Membedakan antara sertifikasi ijazah dan sertifikasi kompetensi sebenarnya kurang tepat, karena yang berupa ijazah maupun sertifikasi kompetensi kerja, semuanya membutuhkan landasan ilmu pengetahuan (body of knowledge), keterampilan dan pengalaman lapangan yang harus memenuhi standar kompetensi. Oleh sebab itu, sertifikasi yang dibicarakan dalam makalah ini difokuskan kepada sertifikasi profesi yaitu keahlian sebagai PTK-PNF yang dapat diperoleh di jalur pendidikan formal, non-formal, maupun lembaga kerja yang terakreditasi, pengalaman kerja atau bahkan campuran dari keempatnya sekaligus. Sedang lisensi merujuk kepada wewenang yang diberikan untuk melakukan sesuatu pekerjaan profesi yang persyaratannya antara lain memperoleh sertifikasi. Di Indonesia, lisensi ini lebih populer diujudkan dalam bentuk ijin, seperti ijin praktek untuk dokter.
2. Sertifikasi Profesi
Profesi merupakan bagian dari, tetapi tidak sama dengan okupasi (jabatan). Seperti dijelaskan dalam The American College Dictionary, bahwa “the term occupation as one’s business or trade and notes that the term profession implies an occupation requiring special knowledge and training”. Ini mengandung makna bahwa okupasi adalah apa yang dikerjakan oleh seseorang sedangkan profesi adalah jabatan yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan spesifik. Tidak semua okupasi memerlukan sertifikasi profesi. Jabatan bersifat pilah sedang profesi bersifat kontinum dari yang paling rendah tingkatannya, para-profesional, sampai dengan profesional. Jadi dalam pengertian ini, kepala balai adalah okupasi, ahli manajemen balai adalah profesi. Begitu pula pamong balai adalah okopasi, tetapi pamong Pembina adalah profesi. Yang ideal adalah okupasi kepala balai didukung dengan salah satu jenis dan tingkatan profesi di bidang manajemen pendidikan, begitu pula untuk menduduki salah satu okupasi pamong misalnya, diperlukan tingkat profesi pamong tertentu. Jadi bisa saja seseorang mempunyai sertifikasi ijazah yang tinggi tetapi masih mempunyai kualifikasi sertifikasi profesi yang masih rendah karena masih rendahnya pengalaman di lapangan. Sebaliknya seseorang bisa saja memiliki sertifikasi profesi yang tinggi walaupun sertifikasi ijazahnya lebih rendah karena tingginya tingkat kompetensi yang diperoleh dari lamanya pelatihan dan pengalaman di lapangan yang diakui oleh lembaga profesi.
Profesi tidak cukup dengan body of knowledge saja, karena profesi juga harus dibuktikan dengan penerapannya di lapangan yang hanya bisa diujudkan di dunia kerja yang dilakukan berdasarkan kode etik profesi. Oleh sebab itu, sertifikasi ijazah yang hanya diperoleh di jalur PTK-PNFan formal belum tentu serta merta menjamin terbentuknya profesi secara utuh. Uji kompetensi profesi masih diperlukan untuk memperoleh sertifikasi kompetensi profesi. Misalnya, di Inggris seseorang sarjana ilmu perpustakaan yang baru lulus bisa memperoleh ijazah Master di bidang Ilmu Perpustakaan, tetapi untuk memperoleh sertifikat profesi pustakawan orang itu harus bekerja di perpustakaan minimal dua tahun dan lulus uji kompetensi yang diselenggarakaan oleh Associate Library Association (Asosiasi Pustakawan).
Sertifikasi kompetensi profesi menjadi penting karena jurisdiksi pelaksanaan suatu jabatan dapat dilindungi dan dikontrol dari orang-orang yang tidak mempunyai kompetensi profesi di bidangnya sehingga publik dapat dilindungi dari kemungkinan malpraktek di bidang profesi tersebut. Dan jurisdiksi profesi secara langsung berhubungan dengan sistem ilmu pengetahuan yang mendasarinya yang diakui dan didukung dengan pendidikan/pelatihan sebagai dasar terbentuknya profesi. . Dengan sertifikasi profesi maka keandalan kinerja dari jabatan yang dipegang oleh seseorang akan dijamin, paling tidak pada tingkat kualifikasi kompetensi minimal. Dan dalam tatanan masyarakat global yang semakin terbuka dan kompetitif, tuntutan akan kebutuhan sertifikasi profesi ini semakin besar.
Selain itu, sertifikasi profesi juga merupakan pengakuan legal terhadap kemampuan kinerja seseorang yang juga dapat dipergunakan untuk:
1. Penyusunan basis data (data base) sumber daya manusia berkeahlian profesional;
2. Bencmarking tenaga profesional;
3. Pemberian pengakuan terhadap kemampuan yang diperoleh dari pengalaman kerja;
4. Mendorong terjadinya peningkatan kemampuan profesional baik dalam aspek pengetahuan, ketrampilan, maupun kemampuan teknis;
5. Memberikan insentif kepada munculnya spesialisasi profesi;
6. Menciptakan lingkungan kerja yang profesional, ini semakin diperlukan dalam iklim pemerintahan yang lebih menganut desentralisasi,
7. Dapat dipergunakan sebagai pedoman skala renumerasi dan karier;
8. Membuka akses ke pasar tenaga kerja baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.
3. PTK-PNF Sebagai Profesi
Baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang, baru profesi di bidang kedokteran dan hukum yang sudah terbentuk, kuat dan ditaati dalam pengisian okupasi. Misalnya untuk mengisi jabatan kepala Puskesanggars seseorang harus memiliki sertifikasi profesi sebagai dokter. Demikian pula untuk mengisi jabatan penasehat hukum seseorang harus mempunyai sertifikasi advokat. Di Indonesia beberapa profesi masih pada taraf sedang dikembangkan, termasuk profesi PTK-PNF. Dalam praktek di lapangan, tidak semua okupasi didukung dengan kemampuan profesi, karena kondisi pasar tenaga kerja, belum dirumuskannya standar profesi, lemahnya organisasi profesi dalam mengontrol pengisian okupasi, dan penerapan pengetahuan dan ketrampilan yang lebih dikontrol oleh profesi lain. Kondisi semacam ini akan semakin berbahaya apabila dibiarkan karena tidak ada kepastian kemampuan minimal yang harus dipenuhi dalam mengisi okupasi, jeleknya layanan publik, dan biasanya cenderung berdampak kepada penyalahgunaan kewenangan (malpraktek).
Suatu jabatan dapat termasuk kategori profesi apabila memenuhi setidak-tidaknya lima syarat, yaitu:
1. Didasarkan atas sosok ilmu pengatahuan teoritik (body of theoretical knowledge) yang disepakati bersama;
2. Komitmen untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam praktek secara otonom dan berkekuatan monopoli;
3. Adanya kode etik profesi sebagai instrumen untuk memonitor tingkat ketaatan anggotanya dan sistem sanksi yang perlu diterapkan;
4. Adanya organisasi profesi yang mengembangkan, menjaga, dan melindungi profesi;
5. Sistem sertifikasi bagi individu yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat menjalankan profesi tersebut.
Bagaimanakah dengan profesi PTK-PNF? Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional jelas membedakan antara PTK-PNF dan tenaga kependidikan. PTK-PNF dipastikan merupakan tenaga profesional, yaitu yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dn pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Karena sebagai tenaga profesional, PTK-PNF harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajarnya. Dari pengertian di atas maka disimpulkan bahwa tidak semua tenaga kependidikan merupakan jabatan yang memerlukan keahlian profesional, karena termasuk dalam pengertian ini adalah tenaga administrasi dan penyelenggara pendidikan.
Selain kelima ciri profesi pada umumnya di atas, PTK-PNF sebagai profesi juga bercirikan sebagai layanan sosial yang esensial dan unik, berbasis kepada teknik-teknik ilmiah, diterima oleh teman sejawat, dan titik berat tugasnya adalah memberikan layanan dan bukannya semata-mata tujuan komersiil. Seperti diungkapkan oleh Robin Ann Martin (2000) yang mengembangkan pemikiran Myron Lieberman (1956), bahwa ciri profesi itu meliputi hal-hal sbb.:
1. Offering a unique, definite, and essential social service. For teaching, this service is the facilitation of learning, though, how that is accomplished and what teachers (as well as parents and community members) believe needs to be learned may vary based on the beliefs, needs, and practices of each community and each individual.
2. An emphasis upon intellectual techniques in performing its service. While health and legal professions (for example) may use physical techniques in varying degrees, they also require complex intellectual operations, as does teaching.
3. A long period of specialized training. Just how much training is needed is debated within every profession.
4. A broad range of autonomy for both the individual practitioner and the occupational group as a whole. While this has arguably been reached within many full professions, it still is a primary point of contention between teachers and their governing bodies (which are state and local Boards of Education in the United States).
5. An acceptance by the practitioners of broad personal responsibility for judgments made and acts performed within the scope of professional autonomy. This is another tricky issue within education because the results of more humanistic teaching are often long-term, where the most important outcomes of teaching (such as the development of the learner’s lifelong curiosity to learn) are often immeasurable as well as being influenced by many others than simply the teachers.
6. An organizational emphasis upon the service to be rendered, rather than economic gain for the occupational group. This is what distinguishes many professions from businesses that serve people, though it does not refer to personal motivations of any individual professional.
7. A comprehensive self-governing organization of practitioners. While teaching now has an untold number of national and local organizations to support its development, they are seldom self-governing of teaching itself (even if they govern their own organization), especially within the public domains of education.
8. A code of ethics which has been clarified and interpreted at its ambiguous points by concrete cases. Returning to the NEA code of ethics, coming from an alternative education perspective, I find that statement about as vague and ambiguous as it can be. While both traditional and alternative educators might agree with the statement, what they’re agreeing to would refer to quite different (and sometimes opposite) means and ends for education.
Di Amerika Serikat, profesi kependidikan sudah lebih diakui oleh pemerintah dan masyarakat sehingga untuk mencapainya benar-benar dilakukan secara ketat dengan kendali mutu profesional yang memadai dan semuanya didasarkan kepada kode etik profesi sebagai pendidik yang oleh NEA dirumuskan sebagai berikut:
The educator, believing in the worth and dignity of each human being, recognizes the supreme importance of the pursuit of truth, devotion to excellence, and the nurture of the democratic principles. Essential to these goals is the protection of freedom to learn and to teach and the guarantee of equal educational opportunity for all. The educator accepts the responsibility to adhere to the highest ethical standards.
Di Indonesia profesi PTK-PNF masih pada taraf dikembangkan sehingga masih memerlukan perjuangan berat baik dari sisi internal maupun eksternal untuk mewujudkannya. Setidak-tidaknya ada dua hal yang menjadi masalah dalam mengembangkan profesi PTK-PNFan di Indonesia, yaitu tantangan yang dihadapi dan tuntutan kebijakan pemerintah akan mutu pendidikan. Secara internal, tantangan yang dihadapi adalah masih bervariasinya kualitas dasar keilmuan yang dimiliki oleh PTK-PNF, sebagaian besar belum memenuhi standard minimum tingkat pendidikan yang diharapkan, dan masih besarnya salah kamar (miss-match) antara kompetensi PTK-PNF dan peran PTK-PNF yang ditugaskan di balai. Secara eksternal, penghargaan pemerintah dan masyarakat terhadap profesi PTK-PNF juga masih rendah. Akibatnya masih banyak terjadi malpraktek pendidikan dalam melaksanakan tugasnya. Banyak kesalahan terjadi pada peserta didik yang merupakan akibat dari malpraktek yang dilakukan oleh seorang PTK-PNF, baik disengaja maupun tidak disengaja. Misalnya, salah satu keluhan diutarakan oleh teman yang mengelola bimbingan belajar warga belajar Balai menemukan bahwa salah konsep dan rendahnya tingkat pemahaman konsep dasar Matematika banyak terjadi pada warga belajar sanggar, seperti: setengah dibagi setengah sama dengan seperempat; kalau 5x5 sama dengan 25, tetapi nxn sama dengan 2n; kalau dalam bejana dituangi air dengan suhu 20 derajad celcius dan air mendidih yang suhunya 100 derajad celsius maka suhu air campuran dalam bejana menjadi 120 derajad celsius. Belum kesalahan di bidang bahasa dan logika. Kesalahan-kesalahan akibat malpraktek PTK-PNF seperti ini tidak hanya mempengaruhi tingkat kelulusan, tetapi kebih jauh juga mempengaruhi masa depan kehidupannya. Malpraktek yang lain adalah maraknya program bimbingan belajar di balai oleh pamong sebagai kegiatan non-kurikuler disatu sisi dan tidak intensifnya kegiatan pamong mengajar di kelas di sisi yang lain. Hasil ujian nasional yang menunjukkan banyak warga belajar yang tidak lulus hanya dengan standar kelulusan 4,26 saja, merupakan salah satu akibat dari telah terjadinya malprakatek di antara para PTK-PNF. Apabila standar kelulusan dinaikkan pada taraf kewajaran yaitu 6,0, dapat dibayangkan semakin besar proporsi warga belajar yang tidak lulus ujian nasional. Terjadinya seorang warga belajar yang gantung diri karena mempunyai persoalan di balai, merupakan salah satu kegagalan dari peran seorang konselor di balai yang sangat diperlukan, yang selama ini malah dianggap sebagai tugas seorang pamong yang tidak memperoleh penugasan mengajar. Sementara itu, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan maraknya desakan diselenggarakannya manajemen berbasis balai, peran dan keahlian yang dituntut dari seorang PTK-PNF profesional semakin meningkat. Seperti analisis yang dilakukan oleh The Teacher Center, tanggung jawab profesi pamong di masa kini cakup hal-hal sbb.:
1. Diagnosing learner needs,
2. Consulting with colleagues to plan individualized/personalized programs for all learners,
3. Creating and maintaining learner-centered environments,
4. Aligning curriculum with instructional strategies,
5. Planning lessons,
6. Modifying content and instructional activities to meet the needs of individual learners,
7. Facilitating learning,
8. Assessing learning outcomes, and
9. Involving parents or other caregivers in all aspects of their child's education.
Hasil penelitian yang mutakhir menunjukkan bahwa bukannya latar belakang ijazah dan tingginya PTK-PNFan yang dimiliki oleh PTK-PNF yang memberikan kontribusi kepada kualitas luaran pendidikan, tetapi lebih kepada seberapa jauh tingkat penguasaan kompetensi yang dimiliki dan seberapa intensive kompetensi itu diterapkan dalam praktek mengajar sehari-hari di dalam kelas.
4. Menuju Sertifikasi Profesi PTK-PNF
Dalam rangka menuju sertifikasi profesi PTK-PNF yang mapan dan akuntabel perlu dilakukan langkah sistemik yang meliputi setidak tidaknya komponen sbb: perumusan standar kompetensi PTK-PNF dan body of knowledge yang mendukungnya, rincian jenis dan jenjang profesi PTK-PNF, kode etik profesi, standar penyelenggaraan pendidikan dan latihan PTK-PNF, sistem dan mekanisme sertifikasi profesi, sistem dan mekanisme lisensi dan akreditasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan profesi, sistem pengendalian profesi, sistem sanksi terhadap pelanggaran profesi, perlindungan profesi, dan manajemen sertifikasi profesi.
Pertama, standar kompetensi profesi disusun dengan menggunakan pendekatan competency-based approach yang dimulai dari identifikasi profil keahlian PTK-PNF yang ideal dengan mempertimbangkan perkembangan lingkungan strategis baik yang bersifiat internal maupun internal, serta identifikasi faktor-faktor yang mendukung terbentuknya standar kompetensi tersebut. Kompetensi tidak hanya menyangkut bidang ilmu dan pengetahuan metodologi mengajarkannya, tetapi tak kalah pentingnya adalah sikap dan keyakinan akan nilai-nilai sosok PTK-PNF yang baik dan berpenampilan. Oleh sebab itu, stadar kompetensi profesi lebih berorentasi kepada kualitas kinerja sehingga setidak-tidaknya menggambarkan kinerja seperti apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kompetensi itu, dasar keilmuan dan kode etik yang mana yang diperlukan untuk menghasilkan kinerja tersebut, seberapa jauh tingkat kesempurnaan pelaksanaan pekerjaan yang diharapkan, dan seperti apa indikator penilaian yang dapat dipergunakan untuk menilai kinerja profesi. Pengembangan standar kompetensi ini dapat dilakukan dengan pendekatan benckmarking, adopt dari standar yang sudah ada baik di bidang profesi lain maupun di bidang profesi yang sama dari luar negeri, pendekatan “field research”, atau kombinasi keduanya. Produk dari standar kompetensi ini dapat bertaraf nasional maupun internasional. Pendekatan fourpartiet antara birokrat, organisasi profesi, penyelenggaran pendidikan dan pelatihan profesi, dan pemakai profesi sangat diperlukan untuk memperoleh rumusan yang sempurna.
Hasil rumusan kompetensi tersebut dijabarkan lebih lanjut untuk mengidentifikasi kompetensi dasar (core competence), body of knowledge yang mendukungnnya, kompetensi pendukung, kompetensi yang sudah dibawa sejak lahir (askriptif), kompetensi yang dapat diperoleh di jenjang pendidikan formal, kompetensi yang hanya dapat diperoleh di tempat kerja, dan kompetensi yang menyangkut nilai, budaya, dan sikap yang pembentukannya diperlukan cara khusus.
Kedua, karena profesi itu bersifat kontinum, maka perlu dirinci jenjang profesi PTK-PNF mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi untuk menunjukkan tingkat kualitas kompetensi yang dimiliki oleh seseorang dan jejang okupasi yang sesuai. Rincian profesi PTK-PNF juga dapat dilakukan menurut jenisnya untuk memberikan variasi spesialisasi keahlian. Misalnya dibedakan antara profesi PTK-PNF untuk pamong kelas di balai dasar dan untuk pamong bidang studi di balai menengah, dsb.
Ketiga, kode etik profesi perlu dikembangkan sebagai pedoman norma dalam menjalankan profesi sehari-hari, yang dilengkapi dengan indikatornya, dan sekaligus juga sebagai alat kontrol untuk menghindari terjadinya malpraktek dalam melaksanakan profesi. Dengan memperoleh masukan dari berbagai pihak yang berkaitan terutama klien, organisasi profesi bertanggungjawab merumuskan kode etik profesi ini.
Keempat, sesuai dengan peraturan perudangan yang berlaku, pendidikan dan pelatihan profesi dapat diselenggarakan baik oleh satuan pendidikan atau lembaga sertifikasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui oleh Pemerintah. Guna menghasilkan produk yang diharapkan, perlu ditetapkan persyarataan dan standar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan profesi PTK-PNF, yang tidak hanya berorientasi kepada inputs tetapi tidak kalah pentingnya juga kepada proses. Walaupun persyaratan dan standar ini secara resmi ditetapkan oleh Pemerintah demi legitimasi, dalam proses perumusannya harus mendayagunakan oganisasi profesi sehingga setiap perkembangan profesi dapat diintegrasikan di dalamnya. Kemudian, regulasi tentang persyaratan dan standar lembaga pendidikan dan latihan profesi PTK-PNF ini dilengkapi dengan sistem dan mekanisme sertifikasi yang harus dirumuskan sebagai lisensi sehingga bersifat mandatory, dan akreditasi untuk menetapkan kualitasnya.
Kelima, untuk menghindari terjadinya malpraktek dalam pelaksanaan tugas PTK-PNF maka regulasi tentang pengendalian dan sanksi terhadap pelanggaran profesi PTK-PNF perlu dirumuskan dan dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang menjabarkan pasal 35 UU NO. 30/2003, yaitu tentang sertifikasi profesi. Dengan demikian ada kepastian hukum, mendorong peningkatan profesionalisme kinerja profesi, dan perlindungan terhadap dampak malpraktek di kalangan PTK-PNF.
Keenam, regulasi tentang sertifikasi profesi tidak hanya mengatur kewajiban akan dipenuhinya persyaratan dan standar, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap profesi terutama dari ancaman terhadap otonomi dan akuntabilitas profesi, ancaman hukum, dan penghasilan berdasarkan kinerja dan jenjang profesi. Dengan perlindungan ini maka semua orang merasa aman dan nyaman dalam mengotimalkan kinerja profesi PTK-PNF guna mendukung peningkatan mutu pendidikan.
5. Aktor Pengembangan Profesi PTK-PNF
Setidak-tidaknya ada empat aktor besar yang seharusnya berperan dalam mengembangkan, melaksanakan dan menjaga profesi PTK-PNF, yaitu: pemerintah, pendidikan tinggi, organisasi profesi, dan konsumen, yaitu peserta didik dan orang tua. Keempat aktor tersebut harus memberikan peran dan kontribusinya sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing sehingga tidak perlu terjadi tumpang-tindih.
Dalam masyarakat madani yang demokratis, Pemerintah mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai regulator, distributor, dan resource allocator. Sebagai regulor, Pemerintah secara legitimate menyusun dan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang dapat mengikat semua unsur masyarakat, baik negeri maupun swasta. Peraturan tentang persyaratan, standar, dan prosedur dalam memperoleh sertifikasi dan lisensi profesi PTK-PNF serta perangkat teknis lainnya perlu diterbitkan oleh Pemerintah. Yang menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan perundangan adalah bahwa peraturan itu bukan untuk mempersulit tetapi untuk mempermudah dan memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Oleh karenanya harus cukup detail, self explanatory, dan tidak lagi dapat ditafsirkan ganda. Dari segi substansi, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan ini harus melibatkan ketiga aktor yang lain. Kontribusi terbesar yang harus diberikan oleh organisasi profesi PTK-PNF adalah konsep tentang profile profesi, rincian kompetensi, standar kompetensi, serta mekanisme untuk memperoleh kompetensi tersebut baik yang melalui pendidikan formal maupun pengalaman praktek, serta evaluasi dan sertifikasinya. Rumusan seperti ini hanya akan dapat dirumuskan dengan baik apabila dilakukan oleh sekelompok orang yang sudah melaksanakan profesi di lapangan. Konsep yang dihasilkan oleh organisasi profesi inilah yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Organisasi profesi memegang kunci dalam pengembangan profesi PTK-PNF, karena organisasi inilah yang dapat merumuskan kompetensi profesi. Rumusan kompetensi profesi tidak hanya menyangkut profile PTK-PNF dan kompetensinya, tetapi juga norma dan kode etik profesi sebagai pedoman dalam melaksanakan pelaksanaan tugas profesi. Organisasi profesi juga bertanggung jawab terhadap penetapan, pemberdayaan, pengendalian, penilaian, perlindungan, dan melakukan sosialisasi dan promosi tentang profesi PTK-PNF, serta pemberian sanksi terhadap setiap bentuk pelanggaran profesi. Oleh sebab, organisasi profesi harus aktif memberikan masukan konsep dan pemberdayaan kepada aktor lainnya, terutama pemerintah dan perpamongan tinggi.
Peran perpamongan tinggi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara kelembagaan melalui anggotanya (akademisi) dan secara kelembagaan. Sebagai pemikir, akademisi di perguruan tinggi, termasuk LPTK (FIP/JIP), secara individual sangat besar perannya dalam memberikan kontribusi kepada organisasi profesi bagi tersusunnya konsep kompetensi yang akan dituangkan dalam peraturan perudang-udangan Pemerintah. Secara kelembagaan, perpamongan tinggi mempunyai tugas utama menyiapkan orang untuk memperoleh kompetensi atau sebagian dari kompentensi profesi melalui pendidikan formal. Rincian kompetensi yang dapat dididikan seperti yang dirumuskan oleh organisasi profesi, dijabarkan menjadi program pendidikan dan pengajaran baik untuk program akademik maupun profesional, melalui program pra-jabatan (pre-service training) maupun dalam-jabatan (in-service training). Karena pembentukan profesi PTK-PNF tidak dapat lepas dari pengalaman praktek dan bimbingan para praktisi, maka mulai dari penyusunan kurikulum sampai dengan pelaksanaan program pengajarannya, pendidikan tinggi perlu mendayagunakan peran praktisi dan lembaga balai dimana lulusannya akan bekerja. Untuk pengembangan model pendidikannya, tersedianya balai laboratorium menjadi sangat signifikan.
Warga belajar dan masyarakat yang akan menjadi konsumen perlu dilibatkan dalam setiap proses baik yang dilakukan oleh Pemerintah, organisasi profesi, maupun pendidikan tinggi. Maksudnya agar selera, kebutunan, dan harapan mereka dapat diakomodasikan sejalan dengan terjadinya pergeseran sistem sosial, pergeseran peran keluarga, pergeseran nilai dan norma, dan harapan masyarakat akan peran PTK-PNF dalam konteks perubahan masyarakat dan teknologi yang sangat cepat.
Dalam mengkoordinasikan peran masing-masing aktor, suatu lembaga independen yang sehari-harinya mengevaluasi, mengembangkan dan menpamongsi layanan untuk profesi PTK-PNF ini perlu dibentuk. Forum untuk mempertemukan keempat aktor tersebut dapat diujudkan dalam bentuk Badan Sertifikasi Profesi pendidikan yang independen.
6. Penutup
Menutup uraian ini dapat disimpulkan bahwa sertifikasi (baca lisensi) profesi PTK-PNF sangat perlu guna meningkatkan mutu PTK-PNFan, menghidari malpraktek dalam pelaksanaan tugas PTK-PNF, meningkatkan kinerja profesional PTK-PNF, dan meningkatkan peluang kerja di luar negeri dalam era kompetisi global. Untuk itu pemerintah sebagai badan regulator bertugas untuk mengatur secara legal melalui peraturan perundang-undangan sehingga bersifat mandatory dan mengikat. Pengembangan konsepnya dapat diserahkan kepada kombinasi antara organisasi profesi, akademisi, dan praktisi, sedang penyelenggaraaannya dapat diserahkan kepada organisasi non-pemerintah yang memperoleh lisensi karena memenuhi persyaratan dan standar yang ditetapkan.
Masalah klasik yang dihadapi adalah terjadinya tumpang tindih pengaturan dan regulasi yang dikeluarkan dari berbagai badan pengelola sertifikasi oleh berbagai insititusi pemerintah, menjadikan pengelolaan sertifikasi profesi menjadi birokrasi yang tidak efisien dan rumit, dan ini dapat menghambat upaya peningkatan kinerja profesi PTK-PNF dalam meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh Propenas Tahun 2001. Oleh sebab itu, koordinasi dalam peraturan perundang-undangan dan antar instansi pemerintah perlu dilakukan sehingga hanya ada satu peraturan perudangan dan institusi perintah yang menangani profesi PTK-PNF ini.
Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) dan Ikatan Sarjana di bidang spesialisasi pendidikan lainnya sebagai organisasi profesi, mempunyai kepentingan dan komitmen yang sama dengan pemerintah. Oleh karena itu, dengan bekerjasama dengan akademisi, praktisi, dan birokrasi, ISPI dan forum pertemuan FIP/JIP harus siap dengan konsep-konsepnya untuk membantu pemerintah dalam mengembangkan konsep sertifikasi PTK-PNF di Indonesia baik pada tataran nasional maupun internasional.
DAFTAR BACAAN
Balasa, Donald A. (2003). “Cetification and Licensure: Fact You Should Know.” In American
Association of Medical Assistants, Chicago, p. 108.
Barnett, Ronald (1992). Improving Higher Education: total Quality Care. Buckingham: SRHE and Open University Press.
Bishop, Lou Don (2002). Definition, Regulation, and Licence of Paralegals in The United
States, Dissertation submitted to the Faculty of Virginia Polytechnic Institute and
State Univesity.
Chapman, David and Don Adams (2002). The Quality of Eduction: Dimensions
And Strategies. Hoghkong: ADB and Comparative Education Research Centre.
Chapman, Judith D. et.al. (1996). The Reconstruction on Education: Quality, Equality, and Control. New York: Cessell Welington House.
Komisi Sertifikasi Ikatan Geologi Indonesia (http://sertifikasi.iagi.or.id/manfaaat.prinsip. html)
Meylina Djafar (2005). “Standar Kompetensi Kesehatan Dalam Rangka Pengembangan
Kualitas Diknaker”. Media Pengembangan SDM Kesehatan, Volume. 1 No. 1 Januari
2005. pp.1-2.
Nurhadi, Muljani A. (2003). Sistem Manajemen Yang efektif Untuk Menunjang Mutu PTK-PNFan
Dalam Iklim Desentralisasi (Makalah disampaikan dan dibahas pada Seminar Nasional
Tentang Peningkatan Mutu Manajemen dan Kepemimpinan PTK-PNFan, di Program
Pasca Sarjana Univeritas Negeri Semarang, tanggal 4 Oktober 2003).
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional PTK-PNFan
Rakesh, Khurana, Nitin Nohria, and Daniel Penrice (2005). Is Business Management a
profesion?. Harvard: Harvard Business School, Special to SearchCIO.com
(Rakesh Khurana, Nitin Nohria, and Daniel Penrice, "Management as a Profession,"
reprinted from Restoring Trust in American Business, editors Jay W. Lorsch, Leslie
Berlowitz, and Andy Zelleke, produced by the American Academy of Arts & Sciences and
published by The MIT Press, 2005).
Robin Ann Martin (2000). Teaching as a Profession: Historic, Public, Union, and Alternative
Perceptions, Prepared for: HPC 690: Special Topics on U.S. History and Redefining Public Education with Chris Lubienski, Iowa State University; also a possible background paper for facilitating dialogue in an NEA Online Conference, Fall 2000.
Silvers, Julia Rutherford (2004). Certified Special Events Professional
Seminar Internasional “Menggali Manajemen PTK-PNFan Yang Efektif” diselenggarakan oleh ISanggarPI, tanggal 30 dan 31 Agustus 2004 di Jakarta.
Sertifikasi Insinyur Profesional (http://www.pii.or.id/sertifikasi/).
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembvangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2003 Tentang Sistem PTK-PNFan Nasional.
.http://www.investordictionary.com/definition/Certification.aspx
http://www.investorwords.com/813/certification.html, dan http://www.advfn.com/money-words_term_813_certification.html
[11-14-98; 6.60.2.7 NMAC - Rn, 6 NMAC 4.2.4.1.7, 10-31-01] cidis dalam
http://www.lse.co.uk/financeglossary.asp?searchTerm=&iArticleID=474&definition=certification
EDUCATOR\social_educator.htm
EDUCATOR\codenea.htm
EDUCATOR\kyepsb.htm
The NEA 1975 Representative Assembly; full Preamble at: http://www.nea.org/aboutnea/code.html.
Changing_teaching_profession.htm
BIOGRAFI SINGKAT
Muljani A. Nurhadi adalah dosen tetap di Universitas Negeri Yogyakarta yang lahir di Semarang tanggal 8 Agustus 1948. Sekarang menjadi profesor di bidang Ekonomi PTK-PNFan dan Manajemen PTK-PNFan. Selain mengajar di Fakultas Ilmu PTK-PNFan, ia juga mengajar di program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Negeri Semarang di bidangnya, dan menjadi anggota Senat di Balai Tinggi Manajemen LPPM Jakarta.
Ia adalah lulusan S1 IKIP Yogyakarta jurusan PTK-PNFan Sosial, yang kemudian mengambil program diploma ilmu Perpustakaan di Birmingham Polytechnics Inggris tahun 1975. Master of Education di bidang PTK-PNFan Non-formal diperolehnya di
University of Massachussets Amerika Serikat tahun 1982, sedang Master of Science in Education diperoleh di State University of New York at Albany tahun 1986 di bidang Educational Administration and Policy Studies, dilanjutkan dengan meraih gelar Doctor in Education dengan “distinguished award” di universitas yang sama, pada tahun 1988 dengan spesialisasi Ekonomi PTK-PNFan (Economics of Education).
Kareir manajerialnya diawali sebagai Pembantu Dekan I pada tahun 1989 yang disambung dengan menjadi Pemimpin Proyek PTK-PNFan Pamong Balai Dasar di Direktorat Jenderal PTK-PNFan Tinggi pada tahun 1993-1994 di Jakarta. Baru pada tahun 1994 memperoleh amanah untuk memimpin Biro Perencanaan Departemen PTK-PNFan dan Kebudayaan dan pada tahun 2000-2002 mendapat tugas sebagai Inspektur Jenderal. Mulai tahun 2002 mendapat kepercayaan untuk memimpin Ikatan Sarjana Manajemen PTK-PNFan Indonesia (ISanggarPI) Pusat dan pada tahun 2004 menjadi Ketua Dewan PTK-PNFan Provinsi DKI Jakarta.
Selepas dari jabatan birokrasi, selain mengajar dan membimbing disertasi sebagai hobi, Muljani kembali menggeluti karier yang dirintisnya sejak tahun 1976 sebagai konsultan untuk melaksanakan berbagai studi yang didanai dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Korespondensi sangat terbuka melalui:
e-mail: nurhadi@cbn.net.id.
Hp. : 081 682 5934
HP. : 081 314 971161
Jl. Praja VI No. 7b, Arteri Pondok Indah
Kebayoran Lama
Jakarta Selatan 12240
Posted by
12:49 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar