Susatyo Yuwono
(Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Pengantar
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah disahkan selama dua tahun, tetapi pelaksanaan di lapangan belum berjalan seperti yang diharapkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, dari tahun 1992 hingga 2002 secara nasional terdapat 2.184 kasus kekerasan terhadap anak. Ruang Pemeriksaan Khusus (RPK) Polda Metro Jaya Jakarta menyebutkan pada tahun 2002 ada 7 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani, tahun 2003 ada 9 kasus, dan tahun 2004 ada 14 kasus. Angka ini tidak menggambarkan angka Jakarta, apalagi angka nasional, yang sudah pasti jauh di atas angka yang dilaporkan media massa dan yang dilaporkan ke RPK Polda Jaya (NMP, 2004).
Masih jelas dalam ingatan, kasus yang menimpa Dede Arjuendri, seorang balita di Jakarta Barat, pada tanggal 26 Peburari 2006 lalu. Dede tewas setelah dianiaya ayah tirinya, Dovi Septa Rendi. Penganiayaan diawali dari tumpahnya kopi Dovi karena tersenggol sehingga menyebabkan Dovi marah kemudian memukuli Dede dan menyiramnya dengan kopi. Akibatnya, beberapa saat kemudian Dede menjadi kejang-kejang dan akhirnya meninggal setelah sempat dirawat di RS Tangerang (Ito/Gus, 2006). Kekerasan pada anak juga terjadi di dunia internasional, misalnya di Amerika Serikat terjadi 2,82 juta anak mengalami kekerasan selama tahun 1993, naik 98% dibanding kasus tahun 1986 (Smith-Cannady, 1998).
Banyaknya kasus kekerasan memunculkan kekhawatiran akan akibat jangka pendek maupun panjang bagi masyarakat. Anak pasti tumbuh dan berkembang selama hidupnya. Masa dewasa, individu dituntut untuk mandiri dan bekerja mencari penghasilan. Pengalaman yang pernah terjadi pada individu memberi kontribusi yang besar bagi penyesuaian dirinya. Demikian pula kejadian kekerasan yang pernah menimpa, menjadi warna tersendiri bagi individu dalam bersikap. Sebagaimana yang terjadi di negeri Paman Sam, beberapa korban kekerasan memilih karir sebagai konselor atau pekerja sosial yang menangani korban kekerasan juga. Mereka bermaksud mendampingi korban agar tidak terjerumus dalam akibat yang lebih buruk. Para konselor itu tidak ingin muncul efek panjang dari kekerasan, bahkan ada keinginan untuk menghilangkan kekerasan ini (Smith-Cannady, 1998).
Fenomena tersebut juga muncul di negara kita. Beberapa korban kekerasan mampu bangkit dan memberi manfaat bagi masyarakat, meskipun harus melalui proses panjang. Seperti seorang Anton Medan, pernah menjadi korban kekerasan dan kemudian menjadi preman, namun akhirnya mampu berubah dan sekarang menjadi ustadz pondok. Tidak banyak yang mampu bangkit dari kekerasan, namun belum pernah diadakan penelitian secara khusus tentang ini. Tulisan ini akan mengulas akibat adanya kekerasan terhadap sikap kerja para korban.
Pengertian dan Bentuk-bentuk Kekerasan
Kekerasan terhadap anak (child abuse) menurut Kempe and Helfer adalah anak yang mengalami luka secara disengaja oleh orang lain. UU di AS, Child Abuse Prevention and Treatment Act, menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah luka fisik atau mental, kekerasan seksual, penolakan atau perlakuan yang mneyimpang kepada anak di bawah 18 tahun oleh orang yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak tersebut (Smith-Cannady, 1998).
Penelitian Murray Straus, seorang sosiolog dari University of New Hampshire yang melakukan survei terhadap 991 orang tua menemukan, 90% orang tua mengaku melakukan bentuk-bentuk agresi psikologis saat dua tahun pertama usia anak. 75 persen di antaranya mengaku melakukan bentakan atau berteriak pada anak. Seperempat orang tua menyumpahi atau memaki anaknya, dan sekira 6% bahkan mengancam untuk mengusir sang anak. Menurut survei tersebut, membentak dan mengancam adalah bentuk paling umum dari agresi yang dilakukan orang tua. Dibandingkan tindakan yang lebih ekstrem lagi, seperti mengancam, memaki, dan memanggil dengan kasar dengan panggilan bodoh, malas, dan sebagainya, maka membentak paling banyak dilakukan. Bukan hanya kepada anak, bayi pun kena bentak (Jalu, 2006).
Cavett (2002) menyebutkan 3 macam kekerasan pada anak yaitu :
1. kekerasan seksual, dengan sasaran daerah organ seksual dan menggunakan organ kelamin pelaku sebagai alat kekerasan.
2. kekerasan fisik, meliputi penganiayaan kepada fisik badan korban
3. kekerasan emosi, meliputi bentakan, ancaman, sindiran, dan penganiayaan lain kepada psikis korban.
Penyebab Munculnya Kekerasan
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan munculnya perilaku kekerasan yaitu :
1. Dendam, yang umumnya bersumber dari adanya perlakuan kekerasan yang pernah diterima oleh pelaku. Perasaan sakit dan terhina dari korban memunculkan kemarahan, sehingga mendorong korban melampiaskan dalam bentuk perilaku yang sama. Pelampiasan kepada orang lain memunculkan kekerasan yang baru, korban berperan sebagai pelaku, dengan korbannya adalah orang lain.
2. Stabilitas emosi yang rendah, sehingga adanya tekanan emosi (stres) yang tidak mampu ditoleransi lagi oleh pelaku, menyebabkan hilangnya kendali diri. Akibatnya pelaku mudah tersulut emosinya oleh persoalan yang sepele, termasuk dalam menghadapi perilaku-perilaku korban.
3. Cara mendidik anak yang otoriter dan menggunakan cara kekerasan sehingga menjadi model bagi anak dalam berperilaku (Smith-Cannady, 1998). Orang tua yang otoriter cenderung menggunakan aturan-aturan kaku dalam mendidik anak. Pelanggaran oleh anak akan dihadapi orangtua dengan hukuman yang keras.
4. Tradisi, yang dirasakan sebagai keharusan untuk dilaksanakan. Hal ini biasanya muncul pada institusi terrtentu yang mewajibkan adanya kekerasan. Seperti Opspek di sekolah, cenderung mengeksplorasi ketakutan pada siswa baru melalui hukuman atau acara-acara yang keras.
5. Modelling yang diperoleh dari media massa, seperti adegan kekerasan di televisi, cerita silat, dan games action. Contoh dari media menjadi model yang paling cepat ditiru oleh individu karena kemajuan teknologi memudahkan akses terhadap media-media ini.
Akibat Kekerasan
Munculnya kekerasan menimbulkan efek psikologis yang sangat berat bagi korban. Kondisi emosi dan kepribadian secara umum mengalami guncangan berat, sehingga muncul kondisi tidak seimbang. Ketidakseimbangan terjadi karena informasi / pengalaman yang diterima tidak sesuai dengan skema yang dimiliki, misalnya tentang figur ayah yang mestinya melindungi ternyata yang diterima adalah sosok yang sering memukul. Pada kasus Dovi, skema (struktur psikologis) yang terbentuk tentang ayah menjadi begitu buruk dengan mengatakan bahwa ia dendam kepada ayahnya. Jika skema ini terus dia pertahankan tentu tidak membawa kebaikan bagi adaptasinya kelak dengan lingkungan.
Penelitian Calhoun & Atkinson pada tahun 1991 (Urbayatun, 2003) menemukan bahwa sebagian korban kekerasan seksual menderita stres pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD); mereka juga menghukum diri dengan berbagai cara, antara lain dalam bentuk gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia, masalah seksual, penganiayaan diri dan bunuh diri, gejala somatik, kecemasan, hancurnya penghargaan diri dan depresi berkepanjangan. Penelitian yang luas oleh Bagley (Urbayatun, 2003) menemukan adanya dampak yang secara signifikanlebih serius pada anak yang mengalami kekerasan berkali- kali dibandingkan dengan anak yang mengalami kejadian itu hanya sekali. Meski tidak ditemukan gejala kejiwaan yang berarti pada beberapa korban, sebagian korban sebenarnya mengalami penundaan kemunculan gejala itu. Artinya, gejala kejiwaan serius baru muncul setelah mereka dewasa.
Smith-Cannady (1998) menyimpulkan bahwa korban kekerasan pada akhirnya akan mengalami masalah penyesuaian sosial yang parah. Perasaan terluka cenderung dibawa hingga dewasa dan mempengaruhi sikap mereka terhadap orang lain, terutama keluarga sebagai pelakunya. Sikap negatif kepada keluarga ini berbanding terbalik dengan sikap mereka kepada korban baru yang lebih positif. Mereka memiliki empati tinggi kepada sesama korban dan tidak menginginkan adanya korban yang lebih banyak.
Sikap Kerja
Sikap adalah kecenderungan tingkah laku yang didasari oleh proses evaluatif dalam diri individu terhadap suatu objek tertentu (Ajzen & Fishbein, 1980). Menurut Azwar (1995), sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek sikap.
Wexley dan Yukl (1992) menyatakan bahwa sikap kerja merupakan bagian perasaan terhadap pekerjaan. Adanya perasaan puas terhadap aspek-aspek dalam bekerja akan sangat berpengaruh terhadap baik buruknya sikap kerja karyawan. Miner (1992) menjelaskan bahwa sikap kerja adalah perasaan positif atau negatif yang dimiliki karyawan terhadap tempat kerja atau teman bekerja. Hal ini berarti sikap kerja merupakan perasaan menyatu yaitu adanya perasaan suka atau tidak suka terhadap pekerjaannya.
Yang Mempengaruhi Sikap Kerja
Merujuk Azwar (1995), maka pembentukan sikap kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang individu alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan individu terhadap stimulus sosial. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. Hanya kepribadian individu yang telah mapan dan kuat yang dapat memudarkan dominansi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual.
d. Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
e. Media massa
Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut.
f. Pengaruh faktor emosional
Kadang-kadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
Kartono (1985) menyatakan pada dasarnya para karyawan tidak sekedar dikuasai oleh motif-motif ekonomi tetapi dibalik itu semua mereka dijiwai oleh dorongan motif yang kuat, mencari rasa aman untuk bisa diterima menjadi bagian integral dari suatu kelompok kerja dan bisa berperan di dalamnya. Tidak seorangpun yang bisa berprestasi dalam bekerja jika dia tidak bersedia bekerjasama dengan orang lain, dengan kata lain kurang mempunyai sikap kooperatif. Selain itu tidak ada seorangpun yang bisa bekerjasama tanpa dilandasi rasa kepercayaan pada orang lain. Jika mereka itu satu sama lain tidak terikat oleh opini-opini yang sama, afeksi atau perasaan dan interest yang sama.
Maslow (Miner, 1992) menyatakan bahwa orang-orang yang sehat memiliki kebutuhan untuk bekerja, tumbuh, berpartisipasi dan menjadi orang yang berharga. Individu dalam suasana kerja dapat merasakan kepuasan karena menjadi anggota suatu tim bekerja sama dengan orang lain sebagai bagian dari suatu organisasi yang dikelola dengan baik dan berfungsi secara baik pula.
Pengukuran sikap kerja positif dapat terwujud dari (Miner, 1992):
a. Adanya perasaan keterlibatan sehingga meyakinkan bahwa mereka mampu untuk membuat keputusan. Individu dalam menyelesaikan pekerjaannya tidak lepas dari kebersamaan/kekeluargaan yang baik dalam suatu organisasi serta saling mengerti dan memahami tentang status dirinya dan pekerjaannya dengan mau terlibat di dalamnya.
b. Mempunyai sikap yang baik terhadap pekerjaan. Adanya penerimaan dan penyelesaian pekerjaan dengan senang, kemauan dan semangat kerja yang tinggi.
c. Kebutuhan untuk saling tergantung. Bagaimana seseorang dalam menyelesaikan pekerjaan dan tugasnya tidak akan lepas dari pengaruh, dorongan, serta bantuan dari orang lain.
d. Adanya sifat otoriter, kepatuhan terhadap orang lain. Sikap seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, kedisiplinan kerja dengan monoton, sehingga menyebabkan orang lain harus bersikap patuh, taat terhadap ketentuan atau syarat yang berlaku.
e. Penampilan akan pekerjaan. Seseorang dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya tepat waktu dan konsekuen sehingga hasil yang diperoleh memuaskan.
Akibat Kekerasan pada Sikap Kerja Korban
Munculnya kekerasan menimbulkan efek psikologis yang sangat berat bagi korban. Kondisi emosi dan kepribadian secara umum mengalami guncangan berat, sehingga muncul kondisi tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini apabila terus dipertahankan tentu tidak membawa kebaikan bagi adaptasinya kelak dengan lingkungan.
Kondisi korban yang mengalami banyak gangguan psikis akibat kekerasan memunculkan potensi yang negatif dalam adaptasinya kelak pada dunia kerja. Konsentrasi kerja menurun, kontak sosial melemah bahkan melukai diri sendiri adalah ciri lemahnya daya juang dalam mencapai prestasi maksimal. Hal ini membuat korban sulit bersaing dalam meraih keunggulan kerja.
Pengalaman pribadi yang dialami korban kekerasan adalah kekerasan itu sendiri. Hal ini menyebabkan di dalam diri korban akan muncul kesan kuat dari peristiwa kekerasan tersebut dan diikuti dengan tekanan emosi yang sangat besar. Tekanan emosi yang tidak mampu disalurkan dengan lancar membuat korban kehilangan kemampuan menilai lingkungan, sehingga akhirnya akan menimbulkan sikap negatif termasuk dalam dunia kerjanya.
Merujuk pada Miner (1992), analisis prediktif terhadap sikap kerja yang muncul setelah terjadi kekerasan dapat dijelaskan sebagai berikut. Adanya kecenderungan withdrawl, apatis, pasif dan mengabaikan peraturan menyebabkan korban sulit untuk memiliki perasaan terlibat dalam perusahaan. Hal ini menyebabkan kerjasama yang solid dan suasana kerja kebersamaan/kekeluargaan, saling mengerti dan memahami tidak mampu dimunculkan. Hal ini tidak akan mampu mengoptimalkan potensi diri korban dalam bekerja sehingga tidak ada penerimaan dan penyelesaian pekerjaan dengan senang, kemauan dan semangat kerja juga menjadi rendah.
Kepatuhan terhadap atasan dan peraturan secara umum juga tidak mampu terwujud. Sikap dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya akan menjadi malas-malasan, kedisiplinan kerja rendah, sehingga mengganggu produktivitas perusahaan secara umum.
Saran
Kondisi kepribadian tidak seimbang yang terjadi harus dibuat seimbang sedini mungkin. Kondisi keseimbangan akan terjadi dengan cara membantu korban melakukan adaptasi dan organisasi yang baik terhadap pengalamannya. Salah satu bentuk adaptasi adalah asimilasi, yaitu dengan cara memberi informasi-informasi baru yang bisa selaras dengan skema yang saat ini dimiliki, dan akomodasi yakni individulah yang harus mengubah skemanya sehingga bisa sesuai dengan informasi-informasi dari luar. Pendampingan terhadap korban pelecehan seksual perlu dilakukan dengan memberikan rasa aman sehingga bisa dilakukan proses intervensi lebih lanjut (Cavett, 2002)
Untuk intervensi, dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran psikolog. Psikolog diharapkan dapat optimal dalam merespon isu kekerasan sampai ke intervensi psikologisnya (Cavett, 2002). Selain itu dengan membentuk lembaga-lembaga yang mampu menangani korban kekerasan secara memadai sehingga dapat dilakukan rehabilitasi fisik dan psikisnya, misal semacam Pusat Krisis Terpadu milik RS Polri Jakarta atau RS Panti Rapih Yogyakarta (NN, 2006).
Untuk mencegah modelling yang salah, dampingi anak dalam mengakses media massa. Misal dengan menemani menonton TV, mendiskusikan tayangan yang ada sehingga muncul pemahaman yang benar pada diri anak (Wahyudi, 1996). Pilihkan kegiatan untuk anak yang lebih produktif, misal dengan aktif terlibat dalam kelompok ilmiah (Jenie, 2006). Melalui kegiatan diharapkan anak mampu mengalihkan perhatian dari efek kekerasan atau sumber kekerasan
Smith-Cannady (1998) menyebutkan bahwa korban kekerasan ada yang memilih karir menjadi konselor atau pekerja sosial untuk mendampingi korban kekerasan saat ini, dengan harapan pengalaman mereka dapat mencegah akibat buruk pada korban baru. Kiranya hal ini dapat dikembangkan di Indonesia sehingga korban kekerasan dapat eksis kembali di masyarakat.
Daftar Pustaka
Ajzen, I & Fishbein, M. 1980. Understanding Attitudes and Predicting Social Behavior. New York : Prentice-Hall
Azwar, S. 1995. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Cavett, AM. 2002. Mandatory Child Abuse Reporting : Behaviors, Attitudes, and Beliefs among Psychologists Regarding Current and Proposed Status. Dissertation. On-line Accessed at ProQuest Information and Learning Company. Grand Forks : University of North Dakota
CP/ARN. 2004. Tradisi Balasa Dendam atau Melatih Mental? Diakses dari Kompas Cyber Media. Edisi Senin 26 Juli 2004. On-line. http://www.kompas.com/ kesehatan/news/0407/26/015034.htm
Ito/Gus. 2006. Siksa Anak Karena Dendam. Diakses dari Kompas Cyber Media. Edisi Selasa 28 Pebrauri 2006. On-line. http://www.kompas.com/metro/news/0602/ 28/084013.htm
Jalu. 2006. Kenali Perkembangan Anak. Pikiran Rakyat edisi 15 Januari 2006. Diakses on-line dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/15/hikmah/ utama02.htm
Jenie, UA. 2006. Gali Potensi Remaja Dengan Penelitian. Suara Karya on-line. Edisi 13 Maret 2006. Diakses dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=79841
Kartono, Kartini. 1994. Psikologi Sosial Untuk Manajemen, Perusahaan & Industri. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Ko, J., J.L Prince & C.W Mulder. 1997. Assesment of Meyer and Allen’s Three-Component Model of Organizational Commitment in South Korea. Journal of Applied Psychology. Vol. 82. 961-973
Miner, J.B. 1992. Industrial and Organizational Psychology. New York: Mc. Graw Hill Inc.
NMP. 2004. Dua Tahun Undang-Undang Perlindungan Anak, Pelaksanaan Masih Jauh dari Harapan. Diakses on-line dari http://situs.kesrepro.info/gendervaw/jan/2005/ gendervaw01.htm
NN. 2006. Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan Pusat Krisis Terpadu (PKT). Diakses 13 Maret 2006. On-line dari http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=fix&id =pelayanan
Smith-Cannady, MEJ.1998. A Comparative Study of Professionals on Knowledge and Attitudes Regarding Child Abuse. Dissertation. On-line Accessed at ProQuest Information and Learning Company. Detroit : Wayne State Univeristy
Urbayatun, S. 2003. Jaga Anak dari Tindak Pelecehan: Upaya Sinergi Antara Peran Keluarga-Pendidik Lain. Makalah. Simposium Nasional Asosiasi Psikologi Islami I. Surakarta : Fakultas Psikologi UMS dan Asosiasi Psikologi Islami
Wahyudi, EL. 1996. Pengaruh TV Terhadap Perkembanan Jiwa Anak. Diakses on-line dari http://www1.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/p4/bk/tv.htm
Wexley, K.N and Yukl, G.A. 1992. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia (Terjemahan: M. Shobaruddin). Jakarta: Rhineka Cipta.
* Disampaikan dalam Seminar Nasional “Child Abuse” di UMS, 29 April 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar