Kekerasan seksual biasanya menjadi rahasia keluarga yang disimpan rapat. Ada sejumlah situasi yang perlu diperhatikan para orangtua, agar anak terhindar dari kekerasan seksual, di dalam maupun di luar rumahtangga.
Menurut pengamatan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia maupun hasil riset di Barat, pelaku percabulan biasanya adalah orang-orang yang dekat dan dipercaya oleh anak-anak. Data akurat sulit didapat, karena umumnya korban maupun orangtuanya tidak melapor kepada lembaga berwenang.
Ada tipe dan pola yang jelas menyangkut kekerasan seksual terhadap anak-anak ini, baik yang terjadi di dalam maupun di luar keluarga. Dalam buku Human Sexuality terbitan Times Mirror dijelaskan sebagai berikut:
1. Ada perjanjian. Pelaku menjanjikan sesuatu kepada korban. Dalam kasus di Bali itu, anak-anak dijanjikan uang. Sedangkan dalam kasus guru agama, anak-anak ada yang dijanjikan piknik ada pula yang mendapat pelajaran tambahan di rumah.
2. Fase rahasia. “Jangan bilang siapa-siapa!” begitu yang mereka tandaskan kepada anak-anak. Biasanya juga disertai ancaman, sehingga anak-anak takut dan merasa bersalah jika melanggarnya.
3. Tahap penyingkapan. Biasanya terjadi secara tak disengaja, misalnya anak sudah lelah dicabuli lalu berontak, ketahuan anak lain, menderita sakit, atau hamil.
Dengan pola semacam ini, tak heran kalau kekerasan seksual terhadap anak-anak umumnya baru terungkap setelah terjadi berulang-ulang, bahkan bisa bertahun-tahun.
Maka, tanamkan pada anak-anak supaya tidak mudah menerima iming-iming dari orang lain. Kedekatan dan keterbukaan antara anak-orangtua sangat membantu memperkuat ketahanan mental anak.
Efek Jangka Panjang
Bagi para korban kekerasan seksual, apalagi anak-anak, pencabulan itu mendatangkan efek berjangka panjang.
Berbagai studi memperlihatkan, hingga dewasa, anak-anak korban kekerasan seksual biasanya akan memiliki self-esteem (rasa harga diri) rendah, depresi, memendam perasaan bersalah, sulit mempercayai orang lain, kesepian, sulit menjaga membangun hubungan dengan orang lain, dan tidak memiliki minat terhadap seks.
Studi-studi lain bahkan menunjukkan bahwa anak-anak tersebut akhirnya ketika dewasa juga terjerumus ke dalam penggunaan alkohol dan obat terlarang, pelacuran, dan memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan seksual kepada anak-anak. Kepada sebuah stasiun TV, guru agama itu mengaku pernah menjadi korban kekerasan seksual di masa lalu.
Karena itu anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual berhak dan harus mendapatkan pendampingan dan terapi psikologi. Tujuannya adalah supaya mereka dapat mengatasi beban kejiwaan yang berat itu, atau yang lazim disebut stres pasca trauma.
Bila Ayah Sampai Tega
Kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi di dalam rumahtangga, dan pelakunya adalah orang yang harusnya paling melindungi mereka, yaitu ayah. Mengapa seorang ayah sampai tega melakukannya?
Ada beberapa kesimpulan yang diambil oleh peneliti mengenai kasus incest ini. Incest adalah hubungan seksual yang dilakukan di antara orang-orang yang masih terikat hubungan darah/ keluarga. Bisa ayah-anak, kakak-adik, paman-keponakan dan seterusnya.
1. Incest terjadi dalam keluarga utuh, tapi suami isteri mulai saling kehilangan kontak seksual. Kedekatan ayah-anak bertahap, hingga puncaknya terjadi hubungan seksual.
2. Incest terjadi dalam keluarga yang ibunya memiliki self-esteem rendah, tergantung, tidak memiliki keterampilan emosional dalam mendidik anak, sering dipukuli suami, ibu memaksa anak perempuannya mengambil alih tanggungjawabnya.
3. Ayah yang tega melakukan incest memiliki ciri pribadi patriarki (sangat berkuasa).
4. Anak perempuan memandang ibunya jahat dan tidak adil. Boleh jadi sang ibu pernah mengalami kekerasan seksual dan tak mampu memelihara hubungan seksual dengan suaminya.
5. Ada korelasi positif antara kegemaran minum alkohol dan incest. Berbagai studi menemukan antara 15% - 80% pelaku incest adalah pecandu alkohol, dan biasanya alkohol diminum sebelum melakukan perbuatannya.
Perhatikan Perubahan Perilakunya
Ada sejumlah tanda psikis maupun fisik yang terlihat pada anak-anak korban kekerasan seksual.
Tanda-Tanda Psikis:
∑Takut berada sendirian di dekat orang tertentu.
∑Mengalami gangguan tidur seperti mimpi buruk, takut masuk kamar, takut tidur sendiri.
∑Menjadi senstitif dan gampang marah.
∑Lengket dengan orangtuanya.
∑Memiliki rasa takut yang sulit dijelaskan.
∑Sikapnya berubah terhadap sekolah, teman-teman, maupun saudara kandungnya.
∑Sikapnya menjadi lebih kekanak-kanakan (regresi).
∑Pengetahuan seksualnya lebih daripada anak sebayanya.
∑Takut pulang atau lari dari rumah.
Tanda-Tanda Fisik:
∑Sulit duduk maupun berjalan.
∑Kelaminnya gatal atau sakit.
∑Pakaian dalamnya berdarah, sobek atau bernoda.
∑Daerah vagina atau duburnya lecet dan berdarah.
∑Menderita penyakit seksual.
∑Hamil.
(ima/kps)
TRIBUN INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar