Sering Kali tidak Menyasar Sumber Penyakit Konsumsi obat kerap dibutuhkan untuk mengatasi penyakit. Namun perlu diwaspadai, pemakaian obat berlebih dapat menimbulkan gangguan ginjal dan hati.
B EBERAPA tahun lalu, Gendi memeriksakan anaknya, Pasha, yang berusia sepuluh bulan ke dokter langganan keluarga. Kepada dokter, ayah muda itu mengungkapkan kekhawatirannya karena Pasha terlihat kurus. Saat mendengar keluhan yang disampaikan Gendi, sang dokter yang bergelar profesor itu langsung curiga Pasha terkena tuberkulosis (Tb).
Namun, setelah dilakukan uji mantuk kepada Pasha, hasilnya negatif. Dokter kemudian menyarankan Pasha dirontgen. Didapati ada bercak putih di paru-paru Pasha. Atas dasar itu, dokter langsung menyimpulkan Pasha terkena Tb dan diresepkan obat anti-Tb (OAT) yang harus dikonsumsi selama enam bulan.
Setelah konsumsi obat berlangsung tiga bulan, Gendi membawa Pasha kembali ke dokter untuk evaluasi. Saat itu, tanpa melihat kondisi Pasha lebih jauh, dokter menyarankan konsumsi OAT diteruskan sampai genap enam bulan.
Sebulan kemudian, Gendi membawa Pasha kembali ke dokter yang sama. Tujuannya sekadar untuk pemeriksaan rutin. Saat itulah Gendi merasa ada yang tidak beres dengan dokter tersebut.
“Setelah melihat rekam medis (medical record) Pasha, dokter bertanya apakah Pasha masih mengonsumsi OAT. “Padahal, sebulan lalu ia sendiri menyarankan OAT harus diteruskan sampai enam bulan,” kisah Gendi kepada Media Indonesia di Jakarta, Senin lalu (17/1).
Karena merasa ada yang tidak beres, laki-laki asal Pejaten itu membawa Pasha ke dokter anak lain untuk mencari second opinion. Betapa kagetnya Gendi ketika hasil konsultasi dokter anak tersebut dengan koleganya yang ahli paru menyatakan Pasha sebenarnya tidak pernah terkena Tb.
Selain Gendi, pengalaman ‘buruk’ serupa juga dikisahkan Trinovi Riastuti. Sekitar dua tahun silam ibu yang akrab disapa Ria itu memeriksakan bayinya, Nathan, ke dokter. Penyebabnya, pagi-pagi Nathan muntah-muntah setelah malamnya sempat jatuh dari tempat tidur.
Berdasar cerita Ria, dokter curiga Nathan mengalami cedera otak dan disarankan melakukan CT scan. Ia juga meresepkan obat vitamin otak untuk membantu memulihkan Nathan. Beruntung, Ria tergolong ibu yang rajin mempelajari pengetahuan tentang kesehatan anak.
‘’Saya tidak percaya dokter begitu saja. Dari melihat cara muntahnya Nathan serta dari tukar pengalaman di milis kesehatan anak, saya justru curiga masalah Nathan ada di saluran cernanya,’’ kisah ibu asal cengkareng itu.
Ria semakin yakin Nathan bermasalah dengan saluran cernanya ketika selain muntah Nathan juga diare. Karena itulah Ria mengurungkan niat men-CT-Scan Nathan dan tidak jadi menebus vitamin otak yang diresepkan dokter.
“Terlebih hasil browsing di internet menyatakan efek samping vitamin otak itu bagi bayi cukup berbahaya. Dengan menggencarkan pemberian ASI, Nathan pulih,’’ kata Ria.
Kisah Gendi dan Ria cukup memberi gambaran bahwa dokter juga bisa melakukan kesalahan dalam menangani pasiennya. Penting bagi para orang tua untuk membekali diri dengan pengetahuan tentang kesehatan anak agar tidak terkecoh.
Terlebih, sebagian dokter di Indonesia belum menerapkan konsep penggunaan obat secara rasional (rational use of drug/RUD). Mereka, sadar atau tidak, justru masih menerapkan konsep penggunaan obat yang irasional (irrational use of drug/IRUD).
Polifarmasi Spesialis anak dr Purnamawati S Pujiarto, SpA(K), MMPed, mengungkapkan hal itu pada sebuah seminar tentang bahaya obat irasional yang digelar di Kemang Medical Care, beberapa waktu lalu. ‘’Menurut WHO, pengobatan yang rasional adalah pemberian obat yang sesuai kebutuhan pasien, dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta dengan biaya serendah mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya,’’ jelas dokter yang juga duta WHO untuk penggunaan obat rasional ini.
Dokter yang akrab disapa Wati ini menambahkan, pola pengobatan yang rasional juga bukan pengobatan yang tergopoh-gopoh mengobati gejala, melainkan mencari akar permasalahan. Misalnya, mengapa batuk, mengapa diare. “Bukan memberi resep obat batuk atau obat mampat diare,” tutur Wati yang juga Direktur Medis Kemang Medical Care itu.
Menurut Wati, perlu diketahui bahwa kasus demam, batuk, pilek, radang tenggorok, dan diare akut tanpa perdarahan yang kerap dialami anakanak, sebagian besar disebabkan virus dan bisa sembuh sendiri tanpa perlu obat. Namun di masyarakat, kerap terjadi pada kasus-kasus tersebut dokter meresepkan beberapa jenis obat.
Pemberian obat berlebihan (polifarmasi) kata Wati, merupakan salah satu bentuk penggunaan obat irasional yang lazim ditemui. Dalam kasus tersebut biasanya pengobatan bersifat simtomatis atau pengobatan terhadap gejala, bukan pada sumber penyakit.
“Contohnya, ketika menghadapi pasien dengan lima keluhan dokter memberi lima jenis obat. Pasien pun senang karena semua keluhannya sirna. Namun, hal itu justru potensial menciptakan kondisi dengan diagnosis tetap mengambang, bahkan bisa terlambat dideteksi,” jelas Wati.
Selain polifarmasi, bentuk penggunaan obat yang irasional antara lain, pemberian antibiotik, steroid, dan suplemen berlebihan serta peresepan obat bermerek padahal ada generiknya.
“Minimnya informasi terkait dengan obat-obat yang diresepkan juga termasuk praktik penggunaan obat irasional. “Biasanya informasi sebatas, ini obat radang, ini untuk dahak, ini untuk mulas,” terang Wati. (S-6) eni@mediaindonesia.com
Tips menghindari resep obat irasional:
1. Pelajari penyakit-penyakit ‘harian’ seperti demam, batuk pilek, diare, dan sakit kepala. Biasakan browsing di internet dari situs yang tepercaya, seperti Mayoclinic, AAP, RCH, Kidshealth, CDC, WHO, BMJ, dan NEJM.
2. Ketika ke dokter, pahami, tujuannya adalah berkonsultasi, bukan sekadar meminta secarik resep. Berdiskusilah, mintalah diagnosis dalam bahasa medis sehingga bisa digunakan saat mencari informasi tambahan di inter net atau sumber lain, mintalah penjelasan penyebab timbulnya masalah, diagnosis, dan rencana penanganannya.
3. Ketika diberi resep, hitung jumlah barisnya. Jika lebih dari dua, alarm kecurigaan terhadap praktik polifarmasi harus dipasang.
4. Tanyakan baris per baris obat ke dokter (dan farmasis), meliputi kandung an aktifnya, mekanisme kerja, indikasi, kontra indikasi, dan risiko efek samping.
5. Resep jangan langsung dibeli, cari informasi tambahan mengenai obat obatan yang diresepkan. Tidak perlu khawatir kondisi akan memburuk se bab apabila kita berada dalam kondisi gawat darurat, tentu akan langsung dirujuk rawat inap dengan berbagai intervensi segera (pemberian oksigen, pasang infus).
6. Mintalah resep obat generik.
Sumber : Media Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar