Belum lama ini saya menonton sebuah acara di SCTV. Nama acara tersebut adalah "Playboy Kabel", sebuah acara reality show yang sedang trend kurang lebih setahun ini.
Yang menarik bagi saya adalah ketika pembawa acara tersebut bertanya kepada pelapor,
“Apa latar belakang loe melapor cowo loe ke acara ini".
Si Pelapor menjawab, "Cowo gua tuh orangnya posesif banget, tetapi akhir-akhir ini dia sering chating. Gua seneng sih diposesifin sama cowo gua karena itu tandanya dia cinta sama gua…." dan lain-lain.
Kalimat itu menjadi sebuah permenungan yang cukup menarik dan menjadi refleksi saya kemudian.
Apa itu cinta yang sebenarnya?
Seorang Anthony de Mello mengatakan bahwa cinta itu tidak butuh pengakuan.
Ungkapan "Aku cinta kamu" itu sebenarnya adalah sebuah pengakuan yang mengharapkan ada timbal balik dari seseorang, "Aku juga cinta kamu".
Harapan ungkapan balik itu pada dasarnya bukan sebuah cinta atau tanda cinta.
Bagi Anthony de Mello, cinta seperti itu masih menunjukkan sikap egosentris.
Harapan adanya sebuah pengakuan berarti juga secara otomatis akan masuk pada apa yang disebut keterpenjaraan cinta yang egosentris.
Khalil Gibran dalam sebuah karyanya juga menyebutkan bahwa cinta itu merupakan sebuah hakekat yang pada dasarnya sudah cukup untuk dirinya sendiri.
Dengan kata lain, cinta itu tidak butuh sebuah pengakuan melainkan cinta itu memang sudah cukup untuk dirinya sendiri.
Bagi Khalil Gibran ataupun Anthony de Mello, mereka berdua mempunyai refleksinya yang berbeda mengenai cinta itu apa.
Bagi saya pribadi cinta itu hakekatnya memang sudah ada pada dirinya sendiri.
Di kampus saya pernah menulis sebuah artikel untuk memperingati di hari valentine yang berjudul "Ketika Cinta Memenjarakan Kebebasan".
Artikel itu mengundang pro dan kontra. Di satu sisi ada yang menganggap bahwa kebebasan itu tidak bisa dipenjarakan tetapi di sisi lain ada yang beranggapan cinta yang dipahami sekarang ini merupakan cinta yang memenjarakan.
Tulisan yang sangat pesimis sekaligus mengundang banyak inspirasi dan pertanyaan apakah memang benar cinta yang kita pahami sekarang ini sebenarnya meng-dehumanisasikan atau semakin tidak memanusiakan diri kita.
Ketika masih menjadi seorang seminaris saya sering heran ketika mendengar berbagai keluhan teman-teman tentang kekasihnya.
Ada yang mengeluhkan pacarnya sangat cemburuan, setiap berpergian harus bersama pacarnya atau pacarnya marah jika dia bicara dengan pria lain, dan lain-lain.
Saat itu saya tidak bisa bicara apa-apa karena saya pribadi tidak mengalami hal itu dan lebih lagi saya tidak akan seperti itu.
Rasa heran itu secara pribadi saya tanyakan kepada sepupu saya, mengapa wanita itu selalu mengeluhkan sikap posesif pacarnya tetapi mereka tidak mau untuk bersikap tegas terhadap pacarnya.
Jawaban dari sepupu saya adalah, wanita itu perlu direbut karena ketika seorang wanita direbut, dia merasa bahwa dia lebih berharga dan lebih dicintai.
Sungguh paham yang sangat romantik dan kalau diresapi sangat mengharukan sekaligus mengguncang perasaan.
Jawaban itu mengingatkan saya pada berbagai karya-karya romantik mengenai cinta, ketika sang pangeran merebut seorang putri yang dicintainya dari tangan seorang raja jahat.
Sayangnya saya pribadi tidak hidup dalam jaman itu lagi tetapi sayangnya kisah romantik itu masih mempengaruhi tindak tanduk kita dalam menyikapi sebuah ungkapan cinta.
Saat ini, saya hidup dalam sebuah jaman dimana wanita dari segi kuantitas lebih banyak daripada pria, dimana paham demokrasi dan kebebasan individu lebih dominan ketimbang kehidupan kolektif dan kebersamaan, dimana suara emansipasi dan tuntutan dari kaum feminis untuk para wanita yang tertindas, dimana antara laki-laki dan perempuan merupakan mitra yang sejajar dan dipahami saat ini.
Inilah jaman modern, sebuah jaman yang penuh dengan sikap universalitas terhadap hak asasi manusia dan saya mengakui bahwa saya pribadi hidup dalam jaman ini.
Sekitar 2 tahun lalu, seorang teman pernah meminta pendapat mengenai dirinya kepada saya, "Thur, sampe sekarang gua belum punya cowok, teman-teman gua semuanya udah punya bahkan ada yang udah berkali-kali pacaran. Gua ngerasa nggak laku dan nggak gaul".
Ketika mendengarnya terus terang saja saya tidak bisa bicara apa-apa tetapi satu hal saat itu yang saya katakan, "Bersyukur aja karena saat ini loe masih bisa bergaul dengan berbagai macam cowok dengan latar belakang dan tipe yang setidaknya bisa memperkaya loe ketika berhadapan dengan mereka dan terlebih saat berkeluarga.
Gua sangat menghargai kalau wanita itu secara independent mau bergaul dengan banyak cowok karena itu lebih membuat wanita itu bisalebih berawawasan luas mengenai pribadi-pribadi. Gua bukannya memandang rendah mereka yang pacaran tetapi menurut gua sayang sekali ketika loe masih muda, loe udah terikat dengan satu orang cowok terutama cowok yang posesif.
Gua akuin beberapa cewek ada yang suka gonta-ganti cowok, seakan mereka mengganggap diri mereka laris apalagi ketika mereka bicara dengan temannya seakan mereka sangat berharga, tetapi pada dasarnya mereka sudah menjadi objek dan lambang dari ketidaksetiaan itu sendiri. Mencari wanita cantik itu mudah tetapi mencari wanita yang baik itu sulit.
Inipun bukan untuk cewek aja tetapi cowok juga".
Ketika menyaksikan acara reality show tadi, saya pribadi mengakui saat itu saya tertawa dan terheran-heran. Seakan kisah romantik mengenai perebutan tuan putri antara pangeran dan raja yang jahat muncul kembali.
Pertanyaannya adalah apakah posesif itu adalah sebuah ungkapan cinta sejati atau tidak?
Bagi saya pribadi posesif bukanlah sebuah ungkapan cinta yang sejati.
Cinta memang tidak bisa kita definisikan karena masing-masing pribadi punya makna dan refleksi sendiri terhadap cinta itu, tetapi cinta itu juga bisa dilihat ketika disitu ada pengorbanan.
Posesif bukanlah sebuah tanda cinta sejati karena disitu tidak ada pengorbanan, disitu hanya ada rasa egois untuk mengikat dan ketakutan untuk ditinggalkan.
Posesif pada dasarnya adalah sebuah sikap memiliki dan menguasai.
Mungkin saat ini memang sangat romantis ketika seorang merebut dan kita merasa lebih dicintai tetapi bagaimana ketika kita sudah menikah.
Kekerasan rumah tangga dan ketidakmandirian sebenarnya berawal dari sikap posesif ini.
Sikap posesif itu mengikat setiap individu untuk tidak berkembang, mengikat untuk menjadi pribadi yang mudah diatur serta dikondisikan sebagaimana yang diinginkan.
Sangat disayangkan jikalau ada yang menikmati sikap posesif ini karena bagi saya pribadi dia telah mengalami kekerasan sebagai manusia, sebuah kekerasan yang dinikmati.
Suatu hari tanpa disengaja saya bertemu dengan seorang teman, karena sudah lama tidak bertemu kita saling berbagi pengalaman.
Saat itu dia sedang jalan sendiri, entah kenapa tiba-tiba pacarnya muncul dan marah-marah kepadanya.
Selidik punya selidik ternyata pacarnya marah karena dia bicara dengan saya.
Spontan saya marah saat itu karena saya sudah cukup lama mengenal teman saya ketimbang dia.
Saat itu kami benar-benar berkelahi entah siapa yang menang yang jelas malam itu juga dia putus dengan pacarnya.
Selama 2 jam kami bicara lewat telepon dan dia mengakui bahwa pacarnya memang sangat posesif.
Sebuah pengalaman yang unik dan mengesankan karena saat ini dia sudah memiliki seorang suami yang sangat independent sekaligus mencintai dia.
Dengan dukungan suaminya dia sudah bisa memperoleh gelar master dan seorang anak perempuan yang lucu.
Cinta yang sejati bagi saya pribadi adalah pengorbanan itu sendiri.
Cinta yang sejati bukanlah sebuah ketakutan atau sikap posesif yang menguasai tetapi disitu ada sikap saling pengertian.
Sebuah sikap menghargai "yang lain" diluar diri kita untuk berkembang.
Merebut sang putri bukanlah dengan sikap posesif melainkan dengan sikap pengertian dan bagi saya pribadi itulah pengorbanan. Ketika seseorang saling membebaskan, disitulah pengorbanan itu muncul.
Meskipun pada akhirnya orang yang kita cintai menemukan orang lain yang lebih dicintai tetapi cinta yang sejati itu muncul ketika kita membiarkan dia memilih dan mendewasakan dia dengan pertanggungjawaban atas pilihan itu.
Memang sakit jika orang yang kita cintai itu lepas tetapi lebih sakit jika kita tidak membiarkan dia menjadi seorang yang dewasa dan kaya akan pengalaman.
Jika kita memang benar mencintai berarti kita juga siap jika memang yang kita cintai itu lepas karena cinta yang sejati adalah cinta yang memahami meskipun itu menyakitkan.
Itulah pengalaman eksistensi manusia karena manusia yang lapang dan siap berkorban demi orang yang dia cintai akan lebih menjadi manusia yang dewasa.
Perasaan itu memang menyakitkan sekaligus mengguncang eksistensi kita sebagai manusia tetapi satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah bahwa kedewasaan itu sudah menjadi milik kita ketika kita berani untuk menghargai sebuah keputusan.
( by : Arthur FrancisMahasiswa STF Driyarkara )
Thanks for sharing
BalasHapusi love this post :)