Oleh: Marjohan
Guru SMA Neg. 3 Batusangkar (Program Layanan Keunggulan)
Semua orang setuju bahwa ilmu adalah kekuatan. Agama Islam juga mengakui dan menganjurkan kepada kita (pemeluknya) untuk selalu mencari ilmu. Ada beberapa ajakan seperti ; Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, dan UNESCO – salah satu badan PBB- juga merespon dengan semboyan “life long education” atau pendidikan seumur hidup.
Kita tidak tahu bahwa apakah semboyan yang mengajak anak- anak atau generasi muda untuk mencari ilmu sebanyak mungkin dalam hayat ini, masih berkumandang di rumah- rumah dari bibir orang tua pada anaknya atau sudah tidak ada lagi. Namun dari ungkapan lama dalam memberi motivasi tentu kita masih ingat dengan ungkapan yang berbunyi; ”gantungkanlah cita-cita mu setinggi langit” . Dari ungkapan di atas dapat kita simpulkan bahwa setiap orang perlu mempunyai cita- cita yang tinggi dan juga perlu untuk mencari ilmu dan pengalaman.
Orang tua merupakan guru pertama yang dikenal anak. Sebagai guru pertama bagi anak, maka mereka (ayah dan ibu) mengajar dan menumbuh- kembangkan pribadi anak mulai dari belajar berbicara (berbahasa), belajar bejalan, belajar makan, belajar bersosial sampai kepada belajar bermoral atau bersopan- santun. Cita- cita yang diperkenalkan orangtua pada mereka, saat masih kecil sungguh sangat mulia, yaitu seperti: ”bila anakku besar kelak moga- moga bisa menjadi orang yang brguna bagi nusa, bangsa dan agama”.
Saat anak melangkah memasuki dunia pendidikan, mulai dari bangku TK, SD, SMP, SLTA dan malah sampai ke Perguruan Tinggi, cita- cita yang terlalu umum tadi berubah menjadi cita-cita yang lebih spesifik. Begitu ditanya tentang cita- cita anak, maka ia (mereka) dituntun agar memilih menjadi dokter, insinyur, guru, hakim, polisi, tentara, dan lain- lain. Cita cita tentang profesi ini bisa disederhanakan menjadi ”bila besar kelak aku ingin menjadi PNS, pegawai BUMN atau pegawai swasta”. Secara tidak langsung guru- guru sudah menanamkan cita- cita dalam jiwa anak agar bila dewasa mereka bisa menjadi PNS atau pegawai kantoran, dan ini pulalah yang bernama cita- cita. Sementara itu menjadi pedagang, penulis, ulama, tokoh masyarakat bukan dipandang sebagai cita- cita. Lebih lanjut menjadi petani, nelayan dan buruh (oleh orang tua atau lingkungan) diperkenalkan sebagai pekerjaan atau cita- cita rendah dan cita- cita kurang mulia..
Kolaborasi guru dan orang tua sangat diperlukan agar bisa memotivasi anak untuk belajar keras sejak dari SD sampai ke tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi. Segala teori dan artikel tentang pendidikan dibaca dan diterapkan dan fasilits belajar untuk anak dilengkapi.
Pendidikan setiap anak sejak dari tingkat SD sampai tamat Perguruan Tinggi bisa menghabiskan rentang waktu 17 atau 18 tahun. Anak- anak yakin bahwa begitu tamat dari Perguruan Tinggi, memperoleh gelar sarjana, maka kerja, seperti menjadi PNS, pegawai BUMN dan swasta atau kantor, akan mudah diperoleh. Posisi PNS dan kantoran adalah posisi yang diperkenalkan oleh orang tua atau lingkungan sebagai posisi yang kerjanya sangat mudah, karena duduk atau goyang kaki gaji tetap keluar.
Fenomena dalam beberapa tahun silam bila seseorang tamat Perguruan Tinggi, apalagi bila IP (Indeks Prestasi) juga tinggi, bisa menjanjikan bahwa PNS dan kerja kantoran mampu menampung semua lulusan Perguruan Tinggi. Malah untuk PNS masih menerima jatah sisipan apalagi jatah PNS pesanan melalui memo agar keponakan, adik atau anak seorang pejabat bisa jadi PNS walau kualitasnya sangat mengecewakan. Maka jadi gemuklah populasi PNS dan susah payah pula negara untuk mencari anggaran guna menggajinya mereka walau job descriptionnya serba tidak jelas. Namun dalam sistem manajemen pemerintahan yang lebih ramping- seperti sekarang- maka menjadi PNS walau gajinya masih standar atau kadang kala masih dibawah standar, kebanyakan sarjana lulusan Perguruan Tinggi, termasuk Universitas favorit, masih bermimpi untuk bisa jadi PNS.
Begitu lulus dari Perguruan Tinggi, banyak sarjana potensial yang hanya mampu membuat surat lamaran atau menunggu lowongan agar bisa mengikuti test penerimaan PNS. Bila gagal mereka rela untuk menjadi pengangguran intelektual. Adalah fenomena bahwa datang bertubi- tubi serangan dan kecaman kepada dunia pendidikan- kurikulum yang miskin dengan link and match, dan kebijakan pemerintah. Yang paling parah adalah hujatan kepada lembaga Perguruan Tinggi yang hanya mampu menghasilkan sarjana PNS oriented. Padahal semangat untuk menjadi PNS dalam wujud cita-cita menjdi dokter, hakim, guru, dan lain- lain adalah gara- gara suksesnya kolaborasi antara orang tua dan guru dalam membangun image PNS, mulai dari guru TK, SD, SMP sampai kepada guru SLTA dan dosen.
Saudara- saudara kita yang gagal atau drop out dari sekolah ketika di SD, SMP, atau SLTA mungkin tidak mengenal untuk menjadi PNS seperti impian sarjana lulusan Universitas (perguruan tinggi) se Indonesia. Mereka yang drop- out tentu disebabkan oleh seribu satu hal, seperti kesulitan ekonomi orang tua, kehilangan motivasi belajar, buruknya budaya belajar di rumah atau di sekolah, dan sampai kepada gara- gara broken home. Mereka yang drop out saat di SLTA atau pada sekolah sebelumnya, tentu mereka tidak mungkin bisa studi di Perguruan Tinggi dan juga tidak mengenal apa itu universitas dan siapa itu dosen atau mata kuliahnya.
Namun saudara kita yang drop out atau putus sekolahi, sebahagian mereka mampu mengumpulkan energi hidup dan membentuk motivasi untuk kehidupan. Motivasi yang datang dari dalam diri sendiri atau yang datang dari orang yang punya pengalaman sukses, mereka itulah yang menjadi sumber inspirasi atau dosen bagi mereka yang belajar dalam universitas kehidupan ini.
Bertukar atau berbagi pengalaman hidup dengan kakak, paman, famili, tetangga dan pengalaman orang lain secara langsung bisa lebih baik dari teori yang diberikan oleh profesor atau doktor di universitas yang nyata. Meskipun mereka tidak belajar atau kuliah dengan dosen atau professor di unversitas yang terakreditasi baik, tetapi berbagi pengalaman dengan orang sukses adalah juga berarti terlibat langsung dalam perkuliahan ala Socrates dalam zaman Yunani kuno dengan dosen di universitas kehidupan.
Menuntut ilmu di universitas kehidupan, telah membuat orang bisa memiliki tekad hidup yang kuat. Mereka jadi berani untuk pergi merantau, berani untuk mencoba dan berani untuk menanggung resiko. Adalah bentuk pekerjaan lulusan dari niversitas kehidupan seperti menjadi petani, beternak, bertukang, dan membuka usaha konveksi telah mampu menghidupi ribuan atau bahkan jutaan orang se Indonsia. Kemudian ada orang yang hanya belajar secara alami- atau diistilahkan dengan belajar di Universitas kehidupan- mampu menjadi orang yang sukses lewat membuka toko, restaurant, usaha konveksi, catering. Dan ini adalah bentuk dari profesi yang lahir dari ide- ide kreatif. Profesi ini tidak mungkin ada (atau apakah ada) dalam daftar cita- cita siswa SLTA saat mengisi formulir SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) ?
Berbagai perguruan tinggi (universitas) sekarang seolah- olah hanya mampu melahirkan sarjana yang kaya dengan teori namun bingung dalam menatap masa depan. Sementara orang yang lulus dari universitas kehidupan telah melahirkan orang- orang yang berjiwa kuat. Kalau begitu salahkah menuntut ilmu di univeritas yang nyata ?
Menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi adalah keputusan yang sangat baik dan lebih baik lagi kalau menuntut ilmu di perguruan tinggi favorite dan menata cita- cita atau rencana kehidupan yang lebih nyata. Ibarat cita- cita saudara kita yag sukses dari pengalaman hidup (universitas kehidupan) mereka sukses bukan lewat PNS, BUMN, pegawai swasta atau kerja kantoran.
Adalah sangat penting bagi setiap siswa sejak dari SLTA untuk melakukan eksplorasi atau memperluas jelajah mental melalui pengalaman sendiri dan pengalaman orang lain. Sebagai siswa atau mahasiswa mereka tidak harus lagi membuang-buang waktu setelah menekuni teori tentang kehidupan, rumus dan tugas setiap mata pelajaran. Juga penting kalau mereka mengembangkan diri dan mencoba seribu satu macam kegiatan yang berhubungan dengan kecakapan hidup. Maka sekarang tidak perlu lagi merasa gengsi untuk terjun ke sawah, ke ladang, ke kolam ikan, ke padang rumput untuk belajar tentang life skill. Atau menjalankan traktor, memasak di restauran dan harus merasa malu kalau hanya pandai memanjakan kulit dan membiarkan orang tua melepuh badanya terbakar matahari. Sikap manja dan cengeng sungguh tidak bermanfaat.
Bila guru- guru dan dosen hanya memberi teori di sekolah dan universitas maka cobalah sempurnakan melalui pengalaman hidup, bertukar fikiran dengan oang- orang sukses dari universitas kehidupan. Mereka adalah seperti pemilik rumah makan, pengumpul komoditas ekspor, pengusaha rice milling, kyai atau ulama bear dan- lain lain. Kemudian renungankan mengapa dan bagaimana mereka bisa jadi sukses.
(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar