Selasa, April 07, 2009

Matias Akankari

Oleh Gerson Poyk



Matias Akankari dibawa dari hutan rimba Irian Jaya oleh seorang parasutis. Terjun di atas hutan rimba malam-malam parasutis itu jatuh tergantung di sebuah pohon yang tinggi. Dengan susah payah ia menyelamatkan diri dan selanjutnya ketika badannya segar, ia pun berjalan kaki mencari kawan-kawannya. Sebelum menemukan kawan-kawannya ia menemukan Matias--seorang laki-laki Irian yang sedang menderita sakit. Matias diobati sekedarnya dan syukurlah Matias sembuh. Celakanya ia tidak bisa berbahasa Indonesia, tetapi la—Matias--merupakan guide sangat bisa dipercaya, yang menyelamatkan parasutis itu dari mara bahaya, dan menyebabkan parasutis itu dapat kembali dengan selamat ke Jakarta.



Demikianlah secara singkat cerita pertemuan dengan Matias.



Matias Akankari selanjutnya dibawa oleh parasutis itu ke Jakarta. Tidak seperti orang-orang dari Jakarta lainnya- yang bertugas di Irian Jaya, pulang menenteng TV, kulkas, dan segala barang-barang mewah peninggalan Belanda, parasutis itu membawa sahabatnya Matias, sahabat dalam duka, sahabat yang tak pernah ia lupa.



Tetapi Matias ini, lebih dari barang lux. Makannya sampai tiga piring sehingga dalam sehari saja sudah sembilan piring yang masuk ke perutnya. Sebagai seorang prajurit, tentulah parasutis itu kaget. Mana gajinya cukup untuk memberi makan barang lux ini?



Pikir punya pikir, parasutis itu akhirnya dapat akal: ia mendandani Matias dengan pakaian yang cukup perlente dan mahal, yang dibelinya di Irian Jaya. Matias memakai setelan jas wol, memakai kemeja dan dasi, memakai sepatu buatan luar negeri. Dengan sebuah Gaz pinjaman keduanya menuju pusat keramaian kota. Baru tiga hari Matias menjadi penghuni ibu kota. Karenanya matanya menjadi kaget dengan semua cemerlang neon dan lampu-lampu kota. Ia heran pada lampu, la heran pada bangunan-bangunan, ia heran pada hutan rimba manusia yang satu pun dari antaranya tidak serupa dia. Matanya berkedip-kedip, kepalanya ditolehkan ke kanan-kiri dan sebentar, seolah dipluntir-nya ke belakang bilamana sesuatu pemandangan yang menarik tercecer ditinggal pergi oleh mobil yang berlari kencang.



Sesampai di Senen, keduanya nonton. Untuk pertama kali Matias Akankari nonton film. Oleh karena itu seluruh perhatiannya dipusatkan kepada layar sehingga ketika parasutis itu yang iseng meninggalkan dia, ia tidak merasa atau mengetahui sama sekali.



"Gue iseng!" kata parasutis itu kepada seorang temannya prajurit parasutis yang kebetulan sama-sama nonton. "Gue tinggalkan Matias Akankari sendirian ketika dia lagi nonton. Gue kepingin tahu bagaimana seorang primitif hidup di kota besar. Barangkali kemudian hari gue bisa kaya karena nulis buku! Ha Ha Ha!" kata prajurit itu kepada temannya lalu buru-buru menuju Gaz dan kabur.



Begitu film selesai Matias membuka mata memandang sekitar. Barulah sekarang jantungnya, berdebar-debar. Tetapi karena ia tak bisa berbahasa Indonesia mulutnya tidak bisa berbunyi. Hanya matanya yang merah-merah. Dan kulitnya yang hitam berputar-putar di antara batang-batang tubuh manusia, mencari sahabatnya. Tetapi sia-sia! Ia keluar bersama arus manusia dan sesampai di luar jantungaya berbunyi: Byar! Byar! Byar!



Tempat bergantung satu-satunya--seorang parasutis yang ditemukan di tengah hutan-hutan tumbuhan yang ramah, benar-benar telah buyar. Ia berada di tengah hutan lampu, batang-batang tubuh, manusia, hutan roda becak dan mobil, hutan bunyi, pendeknya hutan huru-hara yang tidak setenang dan seramah seperti rimba. Terapung-apunglah la berjalan sendirian.



Tiba-tiba la mendengar bunyi loud speaker. Nah itu dia benda yang pernah dilihatnya di Irian Jaya bila para pembesar datang dari Jakarta. Benda itu berkotek-kotek keras tetapi sayangnya ia tidak mengerti apa artinya. Jika ia mendekati bunyi-buhyi keras itu, hanyalah karena hatinya didorong oleh kenang-kenangan kampung halamannya. Tetapi kalau dulu banyak orang seperti dia berkerumun di sekitar alat yang berbunyi keras itu, mendengar bahasa daerahnya sendiri, maka sekarang orang-orang di sekitarnya tidak seperti dia, dan bahasanya lain.



Pelan-pelan ia menerobos ke tengah lingkaran, untuk melihat orang yang berbicara. "Dia adalah teman dari orang yang dulu ke Irian Jaya!" katanya dalam bahasa daerahnya sendiri--kepada dirinya sendiri. Dalam keadaan membutuhkan pertolongan, bunyi tidak ada gunanya. Ia butuh seorang yang dapat membawanya ke rumah. Ke sebuah rumah di mana ada atap, ada tempat tidur dan makanan yang teratur. Dia membutuhkan seorang pelindung.



Maka dalam keadaan mengharap-harap cemas datanglah tangan pertolongan! Seorang makhluk yang halus dan ramah berbicara padanya dengan ekspresi muka yang melantur-lantur membikin jantungnya berdebur gembira. Dan kemudian disusul dengan gerak tangan dan telunjuk, kemudian datanglah sebuah becak, kemudian keduanya berangkat ke sebuah daerah yang asing bagi Matias Akankari.



Memasuki kamar tidur perempuan itu, Matias segera dipluntir oleh makhluk halus yang berbadan kecil itu. Dan Matias yang berbadan kekar itu pun kalah! Tetapi la tak dapat berbuat suatu apa pun. Ia membutuhkan sahabat, membutuhkan sebuah rumah atau "pulau yang kecil untuk berlabuh". Ia menemukannya. Berbahagialah ia malam itu, tidur di samping seorang perempuan yang sangat ramah padanya. Bangun pagi-pagi la diberi makan dan minum semuanya sudah tersedia di atas meja di samping tempat tidur.



Sehabis makan pagi ia dipluntir lagi. Dan ia kalah lagi. Selesai semua acara yang sangat baru baginya itu mulailah acara yang lain: Duduk berhadapan dengan perempuan itu, Matias seolah menonton sebuah pantomim. Matias melongo. Lama, lama sekali ia melongo, dan barulah ia mengerti ketika perempuan itu menunjukkan padanya lembar-lembar kertas, kemudian jari perempuan itu menuding dada membelok ke dadanya lagi.



Matias menggoyang-goyangkan tangan dan kepalanya untuk memberitahukan pada perempuan itu bahwa ia tidak punya kertas-kertas macam begitu. Ia tidak punya apa-apa kecuali yang melekat di badannya.



Lalu perempuan itu memegang jas Matias lalu jarinya menuding dadanya. Matias mengerti akan isyarat itu. Dibukanya jasnya lalu diberikannya kepada perempuan itu.



Setelah adegan demikian, makhluk halus yang kecil itu mulai bertindak kasar. Dia menyeret Matias ke pintu, lalu mendorongnya keras-keras ke luar. Kemudian pintu dibanting dan wanita itu pun istirahat. Matias memilin-milin badannya ke kiri dan ke kanan. Tetapi tiada seorang pun yang dikenalnya. Ia merasa dilontarkan kembali ke dalam hutan yang tidak seramah hutannya di Irian Jaya.



Sekarang ia berjalan pelan-pelan. Berjalan asal berjalan beberapa jam di dalam kota seperti Jakarta ini merupakan suatu record bagi orang-orang yang biasa hidup di atas roda, tetapi Matias menganggap hal yang demikian itu biasa saja. Ia biasa berjalan kaki berhari-hari di- hutan yang ramah.



Sore-pun tiba dan dalam hutan perjalanannya itu ia bertemu dengan Gereja. Tidak ada jalan lain baginya untuk melepaskan dosa yang tidak disengaja telah dibuatnya selama satu malam dengan perempuan itu, kecuali dengan masuk Gereja, meminta ampun pada Kristus. Dan ia memasuki. gereja itu untuk sembahyang. Keluar dari sana, hari pun sudah malam. Ia duduk di depan gereja itu sambil mengenang kampung halamannya.



Di sana, di pulaunya yang jauh ia masuk gereja memakai koteka, dan berdiri ramai-ramai di depan pendeta dalam kelompok koor, dan menyanyi. Semenjak kecil ia sudah masuk koor. Hampir seluruh anggota koor buta huruf, tetapi nyanyian gereja serupa yang dinyanyikan di mana-mana saja di muka bumi--dihafal lancar. Sekali Matias membikin gara-gara sehingga ia dipecat dari koor koteka itu. Begini gara-garanya. Ketika semua anggota koor berdiri di depan jemaat dan pendeta untuk menyanyi, Matias yang berada di depan sekali, mencabut kotekanya, dan ... ternyata kotekanva sudah dibuat begitu rupa seperti seruling. Ia meniupkan nyanyian gereja sehingga semua jemaat mendengar dengan asyik, tetapi kemudian semuanya tertawa sehingga suasana kebaktian menjadi buyar. Karena yang demikian itu ia dimarahi oleh pendeta, dan anggota-anggota koor lainnya. Ia dipecat dari koor .... Begitulah! Sampai sekarang kotekanya dibawa-bawa ke mana saja. Dimasukkan tangannya ke dalam kemeja, lalu dikeluarkannya kotekanya. la mulai meniup pelan-pelan.



Malam telah makin larut. Seorang laki-laki muda menenteng map, berjalan terapung-apung dari jauh. Matias memperhatikannya baik-baik. Setelah dekat, ternyata sol sepatu laki-laki itu telah mengelupas. Ia harus angkat dulu sepatunya tinggi-tinggi kemudian meletakkannya ke tanah. Itulah yang membikin laki-laki itu berjalan terapung-apung, namun demikian sampai juga laki-laki itu ke gereja. Ia memasuki gereja, dan tidak lama kemudian keluar lagi.



"Gereja itu terbuka setiap jam. Lain dengan gereja lain di kota ini," kata anak muda itu lalu duduk dekat Matias yang pakaiannya lebih keren daripada anak muda penenteng map itu. Matias masih memakai kemeja tangan panjang mahal buatan luar negeri. Matias masih pakai dasi dan celana wol. Laki-laki muda itu memakai pakaian loakan!



Matias tidak mengerti kata-katanya, tetapi laki-laki muda tidak tahu bahwa Matias buta bahasa Indonesia dan karenanya berdialog terus: "Saya ini sudah payah berjalan kaki keliling kota sehingga sol sepatu saya sudah kayak lidah biawak! Saya ini seorang-sarjana, tapi belum mendapat pekerjaan," katanya sambil mencusap-usap sol sepatu lidah biawaknya.



Melihat itu, Matias membuka sepatunya lalu memberikannya kepada sarjana nganggur itu.



"Saya tersiksa memakai sepatu. Di hutan belukar dan rimba raya yang penuh dengan onak dan duri, tidak pernah saya memakai sepatu. Malah kaki saya tidak pernah luka, tetapi setelah saya memakai sepatu kaki saya luka. Ini ambil!" kata Matias dengan bahasa Irian. Laki-laki itu hanya mendengar bunyi-bunyi dan matanya hanya melihat jalannya sepatu baru yang menuju kakinya.



Dari empar-empa:r gereja keduanya menuju ke Lapangan Banteng Di sana, tanpa bicara keduanya tidur di bawah patung Pembebasan Irian Jaya. Malam itu keduanya tidur nyenyak sekali. Bangun pagi-pagi sarjana itu sudah meninggalkan Matias. Ia takut membangunkan Matias karena kalau Matias terbangun, pasti keduanya akan berjalan bersama. Akan menjadikan pemandangan yang sensasionil. Karenanya la hanya meninggalkan surat ke kantong baju Matias.



Demikianlah, ketika Matias bangun temannya sudah tak ada !agi.



Ia melihat sepucuk kertas di kantongnya tetapi karena ia buta huruf, ia memutar-mutar kertas itu lalu diremas-remasnya untuk kemudian dibuang jauh-jauh. Kemudian ia tidur lagi di atas ubin yang mahal dan dingin, ditiup angin Lapangan Banteng.



Bangun dari tidur, hari sudah malam. Walaupun perutnya sudah lapar, namun la masih kuat berjalan. Ia berjalan di daerah yang banyak gelandangannya. Di sini la menemukan seorang wanita yang sedang bersalin di atas kertas-kertas. Ia ingat bahwa Kristus dilahirkan di atas rumput-tumput dan dibungkus dengan kain lampin. Kali ini ia ketemu Kristus lain yang dilahirkan di atas kertas! Sementara enak-enaknya kelahiran itu berlangsung, hujan pun turun. Untunglah gelandangan itu mempunyai lempar-lembar plastik. Tetapi di bawah "atap" plastik itu hanyalah kertas-kertas. Matias, mengupas semua yang membungkus badannya lalu menyerahkannya pada wanita yang sedang melahirkan bayi itu.



"Terimakasih, terimakasih," kata wanita itu.



Lalu Matias memakai pakaiannya yang asli. Ia memasang kotekanya. Waktu itu hujan bertambah deras dan setelah semuanya selesai--semua pertolongan sudah diberikan kepada wanita itu, berjalanlah ia di bawah hujan.



Ia sampai di Jajan Thamrin, jalan yang dipagari oleh gedung-gedung bertingkat. Dekat dengan Hotel Indonesia, ia menjadi heran. Semua mobil yang berlari dalam hujan, harus berhenti atau pelan-pelan memperhatikan dia. Pada suatu kesernpatan ada sebuah mobil yang berisi makhluk seperti dia: orang hitam pakai pakaian stelan jas, membawa gadis manis indah jelita. Mobil itu berhenti ke dekatnya lalu seluruh isi mobil memperhatikannya. Melihat ada orang yang serupa bentuknya dengan dia tidak tanggung-tanggung Matias melompat dan melekat ke buntut mobil itu. Mobil itu nancap gas, tetapi Matias tetap melekat. Akhirnya mobil itu menuju Hotel Indonesia dan menurunkan tamu berbadan hitam itu. Tamu itu seorang Negro Amerika. Matias salah terka. Melihat banyaknya orang berpakaian seragam yang mengerumum dia, dan melihat gerak-gerikmereka.seperti halnya akan menangkap binatang, Matias kembali kabur berlari ke dalam siraman hujan yang lebat itu.



Orang-orang itu tidak berani mengejar, karena takut basah. Hanya, tidak lama kemudian dia dibuntuti oleh seorang yang mengenakan mantel. Orang itu mengejarnya. Karuan saja Matias berlari seakan larinya anak panah. Sesampai di sebuah bangunan bertingkat, ia membelok ke sana. Ia berlari ngawur ke sebuah kamar sempit yang kebetulan pintunya terbuka dan tertutup mendadak. Ternyata kamar sempit itu adalah lift, yang sedang menanjak ke atas yang tiba-tiba terbuka lagi di sebuah kamar yang ruangannya remang-remang dengan hanya panggungnya yang terang berlampu sorot. Di sana ada perempuan-perempuan yang telanjang pakai cawat seperti dia--dia memakai cawat koteka sedangkan perempuan itu memakai cawat yang rata. Dan ... astaga, tarian yang dibawakan oleh perempuan-perempuan itu kurang atau lebih hampirlah sama dengan tarian kampung halaman Matias. Ia pun meloncat menuju panggung dengan kotekanya, lalu menari bersama-sama dengan wanita-wanita itu. Tepuk tangan terdengar dari penonton yang berada di tempat duduknya yang remang-remang itu.



Tetapi dengan demikian berakhirlah sudah pengembaraan Matias. Koran-koran memuat beritanya dan Matias diketemukan lagi oleh "tuan"nya parasutis itu. Kali ini Matias sudah menjadi kaya. Ia diberi sangu untuk kembali ke kampung halamannya yang tercinta dan di sana di kampungnya banyak orang kepingin dengar ceritanya.



Ia bercerita, bahwa apa yang dinamakan high class di Jakarta samalah dengan keadaan di Irian Jaya: Sama-sama pakai cawat.



Sumber: exams.infodiv.unimelb.edu.au

Tidak ada komentar:

Posting Komentar