Hanya-orang-orang yang tidak puas dengan nasibnya yang berkeinginan untuk bertukar nasib. Anehnya, kita tidak harus menjadi orang sengsara terlebih dahulu untuk memiliki keinginan itu. Bahkan, dalam keadaan 'serba enak' pun kita masih ingin bertukar nasib dengan orang lain yang kita anggap bernasib lebih baik. Persis seperti pepatah lama kita; "rumput tetangga terlihat lebih hijau....." Tetapi, seandainya memang kita berkesempatan untuk menukar nasib dengan orang lain; apakah benar kita akan menemukan kepuasan itu?
Disebuah stasiun TV swasta ada reality show yang bertajuk 'Tukar Nasib'. Orang kaya bertukar nasib dengan orang miskin. Keluarga kaya pindah ke rumah orang miskin, dan sebaliknya. Ternyata, tidak hanya anggota keluarga kaya saja yang 'tersiksa' dengan dunia barunya. Orang miskin yang 'berubah' kaya pun tidak senyaman yang mereka kira sebelumnya. Diluar acara TV, kita sering mendengar orang miskin yang mendambakan kekayaan. Itulah sebabnya, begitu mudahnya menarik minat orang untuk diajak menjadi kaya. Beragam kegiatan pun ditawarkan. Dari mulai arisan fiktif, jual beli barang 'tak berujud', atau email pemberitahuan menang lotere, hingga seminar untuk menjadi orang kaya. Nyaris semuanya laku keras, melebihi kacang goreng.
Siapa yang ingin kaya? Saya. Karena hingga saat ini, saya memang belum kaya. Bahkan tak jarang masih pusing memikirkan cara membayar tagihan dan berbagai kebutuhan rumah tangga. Siapa yang ingin kaya? Orang-orang yang kita anggap sudah kaya. Karena, mereka melihat banyak sekali orang yang lebih kaya dari dirinya. Siapa yang ingin kaya? Orang-orang yang sudah terbukti sangat kaya raya. Sebab, konon kekayaan tidak bisa membuat seseorang merasa cukup. Sehingga perburuan itu tidak memiliki garis finis.
Pergulatan semacam itu tidak hanya soal uang dan kekayaan, namun juga banyak hal lain semisal jabatan. Kita sering mengira bahwa jabatan tertentu lebih baik dari jabatan kita saat ini; terutama ketika kita lebih banyak melihat keuntungannya daripada tanggungjawab dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Kerinduan kita akan gaji tinggi, fasilitas menggiurkan, terus bonus segunung membuat diri kita yakin bahwa; kita harus menukar nasib ini. Perkara kita bisa menangani tugas dan tanggungjawab serta konsekuensinya, itu soal belakangan. Pokoknya, kita dapat dulu itu jabatan. Sewaktu jadi staf, kita mendambakan untuk menjadi manager. Setelah menjadi Manager, kita panas hati karena seorang kawan sudah menjadi Senior Manager. Setelah menjadi Senior Manager, kita tahu bahwa gengsi ini belum cukup kalau tidak menjadi Direktur. Setelah jadi Direktur, kita bersedia melakukan apapun untuk menjadi Presiden Direktur. Dan nanti, setelah menjadi Presiden Direktur, kita pasti memiliki kejaran-kejaran baru lainnya.
Tapi, bukankah kita memang harus memiliki visi dan ambisi semacam itu? Betul. Sebab tanpa keinginan seperti itu, kita tidak akan memiliki cukup tenaga untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Jika kita mampu meraihnya, mengapa tidak? Sebab, setiap orang berhak untuk mendapatkannya. Sehingga pengejaran impian semacam itu sah-sah saja. Namun, menjadi kurang pada tempatnya ketika kita terlampau berfokus kepada 'apa yang kita iginkan', bukan kepada 'apa yang sudah kita dapatkan'. Implikasinya, alih-alih menikmati semua pencapaian kita dengan sepenuh rasa syukur, kita malah terus-menerus merasa kurang ini dan kurang itu. Perasaan kurang akan berdampak positif, dalam konteks memotivasi diri untuk meraih pencapaian yang lebih tinggi. Namun, akan berdampak negatif jika kita kurang mensyukurinya.
Simaklah apa yang terjadi ketika kita lupa bahwa apa yang kita miliki saat ini adalah anugerah yang sangat besar. Betapapun lebih baiknya keadaan kita dibandingkan dengan orang lain, tetap saja kita merasa kurang beruntung. Jangan-jangan, sebenarnya kita ini tidak kekurangan apapun kecuali rasa syukur. Bahkan kadang kita lupa ketika bangun pagi, mendapati diri kita sehat walafiat. Padahal, bisa saja Tuhan menjadikan kepala kita pening sekali hingga tak mampu bangkit dari tempat tidur. Kadang kita lupa ketika mendapati kedua tangan dan kaki, mata dan telinga kita utuh sempurna. Padahal, bisa saja Tuhan mengambilnya kapan saja. Bahkan, kadang kita lupa bahwa hidup ini layak untuk disyukuri. Karena jika Tuhan menghendaki, bisa saja mengakhirinya kapan saja. Jadi, kapan ya kita akan sungguh-sungguh mensyukuri nikmat ini?
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Wah,,,kadang emg kita bener2 lupa begitu banyak nikmat yang sudah diberikan Tuhan kepada kita...Mudah2an kita masih termasuk orang yang selalu mensyukuri nikmat Tuhan,Amiennnn!!!
BalasHapus