(Dosen dan Peneliti di Universitas Leiden)
Judul artikel ini bukan mengada-ada. ”Appenscholen” (Sekolah Beruk) ditulis oleh seorang Belanda bernama J Jongejans dalam majalah Onze Aarde (Bumi Kita) tahun ke-12 (1939): 254-56. Ia mengunjungi Sumatera Barat akhir 1930-an, mengagumi alam dan masyarakat Minangkabau, dan tampaknya tapasek pula ke Pariaman. Salah satu yang amat menarik perhatian Jongejans adalah penggunaan beruk (monyet) untuk memetik buah kelapa. Ia merasa kagum kepada orang Pariaman yang dengan telaten mampu mengajari anak-anak beruk yang ditangkap dari rimba sedemikian rupa hingga binatang liar itu akhirnya bisa berkomunikasi dengan manusia dan dapat dimanfaatkan untuk memetik buah kelapa di pohonnya.
Artikel Jongejans itu dihiasi dengan foto-foto hitam putih yang menggambarkan secara rinci proses mengajari anak beruk memetik kelapa. Seekor anak beruk diajari dengan menyuruhnya memilin atau menggigit tangkai buah kelapa yang diberi tali dan digantungkan di sebuah palang seperti tiang gawang sepakbola. Dengan telaten seekor anak beruk disuruh berkali-kali memilin buah kelapa yang digantungkan itu. Pelajaran memetik buah kelapa itu dilakukan oleh anak beruk sambil bermain. Buah kelapa itu akan dijatuhkan oleh tuannya, kemudian kembali ke atas. Hal dilakukan berkali-kali sehingga anak beruk yang kecil dengan tangan yang masih lemah itu jadi mengerti, sampai setelah besar ia dapat disuruh memetik kelapa dari pohonnya.
Jongejans bukan satu-satunya bule yang mengagumi sekolah beruk yang khas Pariaman itu. Lebih dari 100 tahun sebelumnya JC Boelhouwer, seorang komandan pasukan Belanda di Pariaman terkagum-kagum pula melihat beruk-beruk pintar itu. ”Juga harus saya ceritakan di sini”, katanya, ”tentang kecerdikan beruk-beruk yang kadang-kadang ditangkap dan dilatih untuk mengambil buah kelapa. Seorang anak buah saya telah membeli seekor beruk untuk seharga F.1 (satu gulden) yang berasal dari jenis yang besar. Ia menyuruh beruk itu memanjat pohon kelapa untuk memetik buahnya.
Setiba di atas beruk itu mulai memetik sembarang buah, tetapi oleh tuannya di bawah buah itu dianggap terlampau kecil atau masih muda, ia tidak hanya mengatakan tidak, tapi juga menarik tali sedikit. [B]eruk itu mengambil kelapa yang lain sambil melihat ke bawah untuk mendapat isyarat apakah tuannya menyetujui ini. Apabila ya dan dikatakan baik, baru ia mulai menggigit tangkainya dan memutar-mutar dengan kaki depannya, sehingga kelapa putus dari tangkainya dan jatuh. Apabila malang kelapa itu tersangkut pergilah beruk itu ke sana untuk melepaskannya dan menjatuhkannya, dan mulai lagi bekerja sesuai dengan keinginan tuannya. [S]aya sendiri kemudian beberapa kali memperoleh beruk seperti itu, tetapi dari jenis yang istimewa sebab saya sudah perhatikan tidak semua beruk dapat mempelajari cara mengambil buah kelapa itu.”
Demikian yang ditulis Boelhouwer dalam bukunya Herinneringen van mijn verblijf op Sumtra’s Westkust gedurende de jaren 1831-1834 (1841:66) (Kenang-kenangan masa tinggal saya di Sumatera Barat selama tahun-tahun 1831-1834) yang terjemahannya segera akan diterbitkan oleh Lembaga Kajian Gerakan Padri (1803-1834). Pelajaran yang dapat kita peroleh: bahwa binatang pun, kalau diajar dengan baik, akan jadi cerdas dan berguna bagi kehidupan; bahwa kesuksesan sebuah proses pengajaran sangat ditentukan oleh metode yang digunakan. Metode itu menjadi efektif karena ditunjang pula oleh ‘guru’ yang baik, yang dengan konsisten mengimplementasikan metode pengajaran itu di sekolah.
Hikmah lainnya: pengajaran untuk anak beruk (sama halnya seperti anak manusia) sebaiknya menggunakan metode belajar sambil bermain. Saya agak heran begitu mengetahui bahwa metode belajar sambil bermain ini diterapkan di sekolah-sekolah dasar di Belanda. Anak-anak Belanda, yang menurut survei terakhir, dinilai sebagai anak yang paling bahagia di dunia, mengenal apa yang disebut speelgoeddag (artinya: hari dengan mainan). Pada hari itu masing-masing anak membawa mainannya ke sekolah, pelajaran dipersingkat, dan mereka bebas memainkan mainan-mainan itu bersama-sama. Pada hari lain anak-anak diajak jalan-jalan ke museum atau hutan, atau peternakan (kinderboerderij).
Kesimpulannya: anak-anak yang otaknya masih murni itu tidak langsung dicekoki dengan berbagai pelajaran dan berbagai kursus yang membuat otak mereka lelah. Karena ambisi orangtua, banyak anak yang kehilangan kebahagiaan dan keceriaan masa kanak-kanak. Sudah lama kita dengar soal karut-marut dunia pendidikan kita, mulai dari soal proses seleksi penerimaan (maha)siswa, kurikulum, metode pengajaran, sampai kepada moral para pendidik. Belum lagi pendaftaran dibuka, media sudah memberitakan soal ”bisnis bangku kosong”.
Sampai kapan kita akan terus begini? Jika kita tetap mengeluh bahwa ini disebabkan karena kita miskin, maka bangsa Indonesia akan tetap berpilin-pilin dalam labirin ketertinggalan. Kita sering lupa kepada kebijaksanaan yang dimiliki oleh kebudayaan kita sendiri, seperti metode sekolah beruk ini. Kita lebih cenderung studi banding ke luar negeri. Banyaknya orang pintar dari berbagai profesi di negeri ini yang sering terlibat korupsi merupakan salah satu indikator bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Tanpa harus paham dulu dengan teori Sigmund Freud pun, kita yakin bahwa sifat seorang dewasa ikut dipengaruhi masa kecilnya, termasuk pendidikan yang dia terima. Beruk di Pariaman, yang dari liar dapat berkomunikasi, bekerja sama dengan, dan dimanfaatkan oleh manusia sungguh sebuah tamsil yang bernilai. Tidak salah jika sampai sekarang sering terdengar umpatan orangtua di Pariaman kepada anak-anak yang bengal, kurang ajar, dan tak tahu sopan santun: ”Parangai ang ateh lo pado baruak lai!” (*)
Sumber : Padang Today Com
Posted by
12:46 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar