Anna Mariana
Guru TPA Al-Hanif Cihanjung, Cimahi, Jabar
Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 menyatakan, pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun jika kita melihat kenyataannya, realisasi dari tujuan tersebut masih jauh dari harapan.
Betapa tidak, sederet tindakan 'amoral' hampir setiap hari kita dengar bahkan kita saksikan. Ironisnya, itu semua terjadi dilakukan oleh orang-orang yang pernah atau sedang bergelut dengan bangku sekolah. Kesannya, pendidikan seolah justru melahirkan permasalahan bukan memberikan solusi. Padahal seharusnya, pendidikan menjadi kekuatan untuk mengubah ketidakberaturan ke arah keteraturan, kebobrokan moral menuju makarimal akhlak, kekeringan spiritual ke arah power of spiritualism dan seterusnya.
Karena itu, patut kita ambil hikmah untuk kemudian mencarikan solusinya. Salah satu tawarannya adalah, dengan mengoptimalkan kegiatan pembelajaran yang mampu mendorong pada pembentukan karakter (character building) siswa. Mata pelajaran agama pada khususnya dan umumnya pelajaran yang lain jangan sampai terjebak pada orientasi nilai-nilai angka semata tanpa diimbangi perubahan karakter pada diri siswa.
Dalam khazanah Islam, kita kenal kalimat mutiara : ''Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dari zaman-mu''. Artinya, anak didik kita hari ini adalah calon pemimpin yang akan datang. Oleh karena itu, salah satu hikmahnya adalah bagaimana kita mampu menanamkan konsep diri pada anak didik kita dalam rangka menghasilkan anak didik yang berkarakter (berakhlak) dan kelak mampu menjadi generasi yang mampu memimpin bangsa ini dengan peradaban yang tinggi dan dihiasi oleh kemuliaan akhlaknya (karakter yang luhur).
Menurut William Kitpatrick (1992), sebuah karakter akan tercipta dalam pribadi seseorang memerlukan tiga komponen (components of good character). Yaitu pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing), perasaan tentang moral atau kebaikan (moral feeling), dan aplikasi kebaikan (moral action).
Oleh karena itu, optimalisasi pembinaan semacam ini harus continue dan efektif, terlebih saat ini virus-virus zaman semakin marak merongrong moralitas anak melalui berbagai media. Karenanya, sekolah sebagai salah satu persinggahan sekaligus 'kawah candra di muka' bagi anak, harus mampu tampil menangkap fenomena dewasa ini.
Dalam diri anak harus tertanam konsep diri yang kuat. Karenanya sekolah sebagai lembaga pendidikan kedua setelah di keluarga, harus mampu membentengi diri anak dari berbagai ekses negatif lingkungan, baik yang datang melalui media ataupun pergaulan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter (character building) melalui penguatan konsep diri merupakan salah satu solusi yang efektif. Ikhtiar tersebut dapat dilakukan di antaranya melalui beberapa hal berikut ini.
Pertama, mempermudah pujian dan penghargaan yang proporsional sebagai upaya membangun afirmasi positif pada pikiran dan jiwa anak yang diharapkan dapat menghembuskan semangat yang positif. Kedua, memfasilitasi akses dengan orang yang potensial menjadi idola. Artinya, para pendidik harus mampu menggiring siswa untuk mengidolakan sosok yang baik, dan sebagai umat Islam, Rasulullah SAW adalah teladan utama.
Ketiga, mengadakan kunjungan kepada orang yang keadaannya jauh di bawah ataupun yang lebih maju. Hal ini bertujuan untuk membangun semangat bersyukur, empati, simpati dan rangsangan positif. Keempat, membangun semangat berlomba sehingga terbangun jiwa yang kompetitif dalam kehidupan. Kelima, pembinaan iman dan taqwa dalam bentuk pembiasaan shalat berjamaah, pelaksanaan shalat sunah tahajud dan dhuha, ataupun dzikir asmaul husna sebelum belajar.
Bila itu semua telah mampu ditanamkan, maka ada faktor yang tidak bisa ditinggalkan yakni keteladanan. Guru adalah orang yang digugu dan ditiru. Oleh karenanya, pastikan diri kita menjadi tokoh panutan bagi siswa. Mustahil suatu karakter yang mulia akan terjadi dengan baik, manakala keteladanan tidak tampak dalam diri kita sebagai guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar