Bunga Kehidupan sebuah blog membahas tentang pernik pernik kehidupan yang terfokus pada masalah pendidikan (The life flower one blog discussed about something that was interesting to the world of education)

Revitalisasi Pendidikan Keluarga:

Revitalisasi Pendidikan Keluarga:

Pendekatan Sosiologis

Oleh: Munzir Hitami

Pendahuluan

Secara sosiologis keluarga merupakan institusi yang sangat kuno dan mendasar dan selalu menjadi unit sosial yang paling fundamental bagi setiap masyarakat. Menurut kaum fungsionalis, keluarga adalah lembaga sosial universal yang diselenggarakan untuk menjaga kesinambungan seluruh hal, baik yang menyangkut sosial, maupun yang menyangkut keberlangsungan individual. Karena itu keluarga berfungsi sebagai pengatur perilaku seksual, regenerasi, sosialisasi, perawatan dan perlindungan, serta kepastian keturunan sehingga mendapat tempat yang kokoh dalam masyarakat.

Bagi pengikut teori konflik, keluarga tidak hanya memiliki fungsi sosial sebagaimana yang disebutkan tadi, tetapi lebih daripada itu keluarga merupakan institusi yang prinsipal yang mencerminkan dominasi kaum lelaki terhadap kaum perempuan. Adalah Friedrich Engels (1942) seorang penerus Karl Marx menggugat pernikahan sebagai cerminan dari antagonisme antar kelas yang paling pertama muncul dalam sejarah dimana keberadaan dan perkembangan sekelompok orang dicapai dengan penderitaan dan tekanan dari orang lain. Dia menyatakan bahwa hubungan antara pasangan suami dan isteri dalam perkawinan memberikan model tempat menyandarkan tekanan-tekanan sebagaimana layaknya hubungan seorang kapitalis dengan pekerjanya. Pandangan ini sangat mempengaruhi gerakan kaum feminis radikal ketika mereka meluncurkan gerakan pembebasan perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial dan ekonomi sejak lebih satu abad yang lalu sampai sekarang ini.

Masing-masing teori tersebut ada benarnya bila dilihat dalam kehidupan nyata. Teori konflik tentang keluarga umpamanya tercermin dalam setiap sistem keluarga sepanjang yang dikenal, suami mempunyai otoritas yang lebih besar daripada isterinya dalam segala hal. Bahkan pada masyarakat kuno, isteri diperlakukan sebagai barang kekayaan bagi suaminya. Prinsip ini sudah terlembaga pada setiap sistem keluarga di berbagai sistem sosial di dunia sampai saat ini, baik di Barat, ataupun di Timur. Di US umpamanya sampai tahun enampuluhan, perempuan yang menikah tidak dibenarkan secara legal untuk membuat kontrak atau mendapatkan kredit tanpa persetujuan tertulis dari suaminya, sama halnya dengan orang yang belum dewasa yang belum boleh menggunakan hak-hak pribadinya tanpa persetujuan dari orang tua atau walinya.[2]

Memang ada kesulitan dalam hal perbedaan pandangan terhadap keluarga ini, yakni bagaimana memilah antara praktek-praktek khas dari berbagai masyarakat dengan konsep yang lebih umum dari keluaga sebagai sebuah institusi. Pada kenyataannya lembaga keluarga dewasa ini mengalami krisis, mulai dari persoalan internal keluarga, kualitas pendidikan, ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, sampai kepada krisis pandangan terhadap lembaga keluarga itu sendiri. Mengenai hal yang terakhir ini, dapat dilihat misalnya dari gejala meningkatnya pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan alias apa yang biasa disebut “kumpul kebo”, mulai dilegalisasinya pasangan homoseks atau lesbian di beberapa nagara maju. Dalam kaitan ini sangat dirasakan adanya upaya revitalisasi lembaga keluarga dengan berbagai fungsinya. Dalam makalah singkat ini akan dibicarakan masalah-masalah tersebut dalam kaitannya dengan revitalisasi fungsi-fungsi lembaga keluarga, terutama pada aspek pendidikan.

Pendidikan dalam Keluarga

Sebagaimana telah sama-sama diketahui bahwa keluarga merupakan salah satu pusat pendidikan yang sangat mendasar dari trilogi pusat pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan oleh sebuah komunitas atau masyarakat perlu adanya intitas pendidikan yang sinergis antara ketiga lembaga pendidikan tersebut. Bagaimanapun bagusnya pendidikan sekolah tapi tidak ditunjang dengan pendidikan yang baik dalam keluarga dan lingkungan, maka hasil pendidikan pastilah tidak akan maksimal, bahkan mungkin gagal sama sekali. Oleh sebab itu revitalisasi dan penguatan lembaga keluarga sebagai arena pendidikan utama bagi anak-anak menjadi sangat penting dan mendesak.

Lembaga keluarga secara umum merupakan sesuatu yang universal. Islam dalam hal ini telah mengaturnya sedemikian rupa dari a sampai z sehingga keluarga menjadi tiang masyarakat yang kokoh. Dengan bimbingan pembangunan keluarga secara Islami, maka keluarga memungkinkan untuk menjalankan segala fungsinya secara baik. Keluargalah yang pertama-tama yang dapat menerapkan prinsip-prinsip pendidikan untuk membangun karakter anggota keluarganya. Prinsip-prinsip itu terdiri dari (1) integrasi; (2) keseimbangan; (3) persamaan dan kebebasan; (4) pendidikan seumur hidup; dan (5) keutamaan.

Prinsip integrasi menuntut suatu pandangan yang utuh, baik terhadap anak sebagai subjek didik dan kehidupan maupun terhadap entitas pendidikan. Keluargalah yang pertama-tama yang dapat mengamati perkembangan fisik dan psikologi anak, aspek jasmani dan ruhani secara utuh serta memberikan pengalaman yang mendukung perkembangannya secara utuh pula.

Konsekuensi dari prinsip itu adalah prinsip keseimbangan dalam pengembangan anak dan terapan pendidikan sehingga subjek didik dapat berkembang secara seimbang tanpa ada suatu degradasi atau kealpaan pengembangan salah satu dimensi dirinya. Karena itu keluarga tidak cukup memperhatikan aspek jasmani saja dengan menjaga kesehatannya, tetapi tak kalah penting aspek psikologis dan ruhaninya. Keluarga semestinya menjadi tempat yang nyaman bagi anggotanya, tempat menumbuhkan kasih sayang, ketulusan, kejujuran, kemandirian, dan lain sebagainya dari sifat keutamaan. Over proteksi misalnya di dalam keluarga akan berakibat buruk terhadap perkembangan psikologi anak.

Prinsip persamaan mencerminkan ajaran mengenai hakikat manusia yang berasal usul satu sehingga dalam pendidikan dalam keluarga tidak ada diskriminasi apapun kecuali yang menyangkut bawaan jenis kelamin dalam batas-batas perbedaan formalitas. Karena itu, setiap anak wajib dipandang dan diperlakukan sama dalam menggunakan hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan dan bebas mengembangkan potensi dirinya.

Prinsip pendidikan seumur hidup telah diterapkan oleh umat Islam sepanjang sejarah yang penerapannya tidak mengenal batas umur, di mana dewasa ini prinsip tersebut dianut dalam konsep pendidikan modern. Keluarga adalah fase awal dalam siklus pendidikan manusia yang sangat menentukan dan berlanjut selama hidup. Manusia pada hakikatnya makhluk yang belajar seumur hidupnya dan keluarga adalah wadah yang mencerminkan hal itu.

Prinsip keutamaan merupakan ruh seluruh prinsip dan upaya pendidikan. Sekalipun oleh Muhammad ‘Athiyyat al-Abrâsyîy[3] prinsip ini ditempatkan sebagai tujuan pokok pendidikan, namun pada saat yang sama ia juga menyebutkan bahwa keutamaan merupakan tiang pendidikan Islam. Sebagai prinsip, keutamaan merupakan karakter yang membentuk sifat kondisi hubungan-hubungan yang terjalin dalam proses pendidikan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pendidikan dan dinamika yang terjadi dalam prosesnya harus dilaksanakan atas dasar kesucian dan keikhlasan sehingga tampil sifat-sifat dan sikap utama dari setiap komponen manusiawi yang terlibat di dalamnya. Di dalam keluarga, prinsip ini sangat menentukan perkembangan karakter anak selanjutnya.

Lembaga yang paling ampuh dalam proses internalisasi prinsip-prinsip tersebut adalah keluarga. Melalui keteladanan dan pembiasaan dalam keluarga, segala prinsip itu dapat ditanamkan. Keteladanan dan pembiasaan ini merupakan metode utama dalam pembentukan karakter anak, terutama dalam keluarga

Upaya yang Mesti Dilakukan

Untuk memperkuat kembali peran dan fungsi keluarga sebagai pusat pendidikan yang akan membangun karakter anak dalam rangka membangun karakter bangsa, perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:

Pertama, peningkatan kesejahteraan dan tarap pendidikan kepala keluarga. Dalam hal ini upaya pemerintah atau masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan wajib didukung oleh semua orang, termasuk pengaturan kelahiran. Kesejehteraan dan pendidikan yang berbasis kepada pembangunan ekonomi dan pendidikan adalah sebuah kemutlakan yang perlu diupayakan secara simultan. Antara ekonomi dan pendidikan tidak dapat dipisahkan karena untuk mengadakan pendidikan yang baik perlu ekonomi yang kuat, sementara untuk mewujudkan ekonomi yang kuat perlu pendidikan yang baik untuk menghasil sumber daya manusia yang berkualitas.

Dewasa ini masalah yang cukup berat dihadapi oleh umat Islam adalah kemisinan dan kebodohan ini. Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih signifikan, tercermin dari peristiwa Pasuruan beberapa waktu yang lalu. Syed Akbar Ali seorang praktisi ekonomi dan kolumnis Malaysia menginformasikan hal tersebut untu negara-negara Arab dan Muslim dalam bukunya berjudul : “Malaysia and the Club of Doom: the Collapse of the Islamic Countries“. Negara-negara Arab, jelas dia, memerupakan negara-negara yang gagal dengan indikasi sebagaimana dilaporkan oleh The Arab Human Development Report 2004: kurangnya kebebasan dan good governance, korupsi yang akut, peminggiran beberapa segmen penduduknya seperti perempuan dan minoritas, dan krisis legitimasi bagi pemerintahan dalam arti bahwa pemerintahan tidak mewakili kehendak rakyatnya.[4] Faktor kunci kegagalan negara-negera tersebut terutama negara-negara Muslim adalah: pembatasan arus bebas informasi; perendahan/pelecehan perempuan; ketakmampuan menerima tanggungjawab kegagalan, baik individual, maupun kolektif; meluasnya kekeluargaan atau kesukuan sebagai unit dasar organisasi sosial (nepotisme); kekuasaan kungkungan agama, pendidikan bermutu rendah; dan kerja dengan prestise rendah.[5]

Lebih lanjut data menunjukkan bahwa GDP tahunan gabungan dari 57 negara Muslim masih tetap di bawah US$ 52 trilliun, sementara Amerika Serikat saja memproduksi barang dan jasa seharga US$ 10.4 trilliun pertahun. Negara-negara kaya minyak di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Qatar secara bersama memproduksi barang dan jasa (pada umumnya minyak bumi) senilai US$ 430 juta, sementara Belanda sendiri memliki GDP tahunan yang lebih tinggi dari angka itu dan Thailand menghasilkan barang dan jasa rata-rata seharga US$ 429 juta pertahun. Penduduk Muslim 22 % dari penduduk dunia sementara menghasilkan kurang dari 5 % dari GDP dunia, dan hal ini menunjukkan penurunan dari tahun ketahun. Di sisi lain menurut data PBB, separuh dari perempuan Arab tidak dapat membaca alias buta hurup. Satu dari lima orang Arab hidup dengan kos kurang dari US$ 2,- perhari. Hanya satu persen saja dari penduduk Arab yang memiliki Komputer (PC) dan setengah persen yang menggunakan internet.[6]

Kedua, meningkatkan penerangan dan penyuluhan tentang pembangunan keluarga sakinah, mulai dari prinsip-prinsip perkawinan, sampai kepada peran-peran serta fungsi keluarga. Penanaman pengertian akan arti penting pendidikan dalam keluarga seharusnya terus dilakukan secara terprogram. Sayangnya program-program semacam itu tidak lagi dilaksanakan secara intensif akhir-akhir ini, dibanding pada masa orde baru.

Ketiga, upaya terus menerus untuk menyinergikan antara sekolah, lingkungan, dan keluarga sangat diperlukan. Dalam hal ini komunikasi antara orang tua anak didik dengan pihak sekolah mengenai perkembangan anaknya pada satu pihak perlu digalakkan secara terus menerus. Demikian pula dengan lingkungan tempat anak berinteraksi dengan komunitasnya di lain pihak, termasuk mengontrol tontonan dan bacaan anak-anak. Ada banyak indikasi bahwa keluarga, lingkungan, dan sekolah itu tidak bersinergi sedemikian rupa sehingga hasil pendidikan tidak memuaskan. Apa yang diajarkan di sekolah tidak mendapat penguatan di dalam keluarganya, sebaliknya hal positif yang sudah ditanamkan dalam keluarga, kurang pula dikembangkan di sekolah, atau hal-hal positif yang sudah terbangun dalam keluarga dan di sekolah dirusak oleh lingkungan.


[1] Disampaikan pada acara workshop tentang “Hak-hak dalam Keluarga bagi Penyuluh Agama“, yang ditaja oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN SUSKA Riau, Rabu, 12 November 2008.

[2] Lihat: Ian Robertson, Sociology, (New York: Worth Publisher, Inc., 1983), hal. 352

[3] Muhammad ‘Athiyyat al-Abrâsyîy, Al-Tarbiyatu l-Islamiyah, (Kairo: Al-Daru l-Qaumiyah, 1964), hal. 9

[4] Lihat: Syed Akbar Ali, Malaysia and the Club of Doom: the Collapse of the Islamic Countries, (Kuala Lumpur, Thirumagal Printers SDN., BHD., 2006), hal. 5.

[5] Ibid., hal. 7

[6] Ibid., hal. 13.




Posted by Health Care , Published at 6:32 PM and have 1 comments

1 komentar :

rido mengatakan...

wejangan anda menarik, mohon izin sruput ya trims...