Ajarkan toleransi, sebagaimana tumbuhan memberikan gas kehidupan teruntuk insan dan hewan.
Manusia tidak dapat hidup sendirian di dalam masyarakat. Dia memerlukan orang lain dalam memenuhi keperluan hidupnya. Oleh karenanya manusia perlu bergaul. Dia pun wajib menjaga pergaulannya tetap berlangsung baik agar terasa enak. Untuk keperluan ini seseorang perlu mempunyai tenggang rasa atau dengan istilah lain toleransi.
Masyarakat yang menganut asas toleransi dalam hidupannya maka sikap tolong–menolong menjadi penghias kesehariannya. Hal ini pun dianjurkan dalam firman Allah SWT surat Al-Maidah ayat 2 :
“Dan tolong–menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong–menolong dalam berbuat maksiat dosa dan pelanggaran”
Toleransi artinya membiarkan orang lain untuk memenuhi haknya dan menunaikan kewajibannya sepanjang tidak mengganggu hak orang lain. Orang yang mempunyai sikap toleransi tidak akan mengganggu orang lain dalam memenuhi hak dan menunaikan kewajibannya. Orang yang menghalangi atau mengganggu hak dan kewajiban orang lain dikatakan tidak toleransi. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain merupakan kunci penerapan sikap toleransi. Dan sikap inilah sesungguhnya penterjemahan arti toleransi. Namun memaksakan kehendak masih sering mewarnai hubungan orang tua terhadap anaknya ataupun guru sering memberikan instruksinya secara sepihak kepada para siswanya.
Bagaimana mengajarkan toleransi kepada anak ? Mudah, kuncinya semenjak kecil anak dilatih agar terbiasa melakukan hal-hal yang bernilai toleransi. Janganlah anak diakrabkan dengan kekerasan. Ciptakan keluarga yang di dalamnya selalu terkondisikan suasana damai. Anak yang setiap harinya menyaksikan suasana keluarga yang tidak tenteram, maka mustahil terbentuk menjadi seorang anak yang toleran. Sebaliknya keluarga rukun, damai dan bersatu akan mengantarkan anak ke dalam suatu pemahaman tentang toleransi.
Untuk itulah kedamaian keluarga perlu diupayakan. Anak akan bisa belajar menerapkan sikap toleransi dalam suasana keluarga tenteram, damai dan menyenangkan. Mengapa ? Anak cenderung akan meniru kedua orang tua yang berdampingan hidup rukun.
“Nisa, ambilkan obat di atas meja itu !” Anak pun akan mengambilkannya dengan serius.
“Bantulah kakakmu yang sedang mencuci pakaian di sumur itu !”
Anak pun akan senang membantu kakaknya yang memang kakaknya juga sering membantunya.
“Nisa tak boleh nakal terhadap temanmu, si Ery itu !” peringatan ibunya. Kadang si anak pun bertanya untuk membela dirinya.
“Kenaapa aku tak boleh nakal terhadap Ery ?” Jawaban orang tua harus bijaksana dan terpikirkan secara matang.
“Kalau Nisa nakal terhadap Ery berarti Nisa melakukan tindakan yang jahat. Bagaimana apabila teman-temanmu semua mengeroyok, menjitak, mencubit, menghantam dan menyakitimu padahal ayahmu tak akan membelamu ?”
Si anak tentu akan merenungkan hal ini sebagai bekal bertindak selanjutnya. Anak akan membayangkan rasa sakitnya seperti pertanyaan bapaknya yang baru saja diutarkan itu.
“Jangan kau buang pakaianmu, berikan kepada Tuti tetangga kita yang sangat membutuhkan itu !“
Anak pun akan akrab dengan kalimat-kalimat yang bernuansa toleransi. Pembelajaran melakukan tindakan toleransi ini terus dibiasakan sehingga menjadi sikap kesehariannya. Pembelajaran ini dimuarakan pada keyakinan bahwa toleran adalah sikap yang dicintai Allah. Toleran merupakan sikap yang dicintai sesamanya. Teman-teman bermain agaknya merasa senang apabila tak ada teman lain yang membuat tidak aman dan tidak nyaman. Oleh karenanya, tanamkan pengertian bahwa Allah akan mencintai hamba-Nya sebagaimana mereka mencintai saudara-saudaranya. Mencintai saudara berarti mau bersikap toleran terhadapnya.
Dalam hubungan sosial antar populasi manusia di masyarakat tak dapat dihindari adanya strata kehidupan. Strata dimaksud adalah tingkatan status sosial seseorang yang didasarkan atas tata norma dalam masyarakat. Sebagai dasar adanya tingkatan strata tersebut adalah usia, jabatan, silsilah keluarga, kecerdasan, kekuasaan, kekayaan, sikap perilaku, dan jasa seseorang.
Seseorang yang berada di dalam strata yang lebih rendah mempunyai etika tatanan menghormat kepada orang yang berada di dalam strata lebih tinggi. Usia yang lebih muda sepantasnya menghormat kepada yang lebih tua. Seorang anak seharusnya menghormat plus berbakti kepada orang tuanya. Seorang bawahan sebaiknya menghormat kepada atasannya. Demikian juga kepada orang yang berjasa, kepada orang cerdik pandai, kepada orang yang bisa ditauladani sepatutnya kita berikan penghargaan berupa penghormatan. Nah, norma yang telah membumi ini perlu ditanamkan di dalam sanubari anak sehingga mau dan mampu mempertahankan budaya ini. Budaya yang demikian ini pun tidak hanya merupakan budaya lokal akan tetapi sejak jaman rasul.
—————
Kisah
Suatu hari ada 2 orang bernyanyi sekenanya di depan warung Pak Sholeh dengan iringan seadanya. Tampaknya ini pengamen yang mulai merambah ke wilayah warung-warung pedesaan.
”Ada orang menyanyi, di depan, Pak !” seru Adi kepada ayahnya.
”Itu pengamen, sana beri uang !” perintah Pak Sholeh yang ingin membelajarkan perilaku untuk bershodaqoh terhadap pengamen yang ada, kepada anaknya.
Adi pun segera mengambil uang di laci meja untuk diberikan kepada pengamen.
”Adi, pakai tangan kanan,dong” , ucap Pak Sholeh mengingatkan. Adi pun tak menyia-nyiakan nasihat ayahnya yang dirasakan penting baginya.
”Makasih” ucap 2 pengamen seraya melangkahkan kakinya melanjutkan aktivitasnya ke warung sebelah.
—————
Cerita singkat ini menggambarkan perlunya pemberian kesempatan kepada anak untuk mengaplikasikan pengertian dan pemahaman toleransi. Anak perlu dibelajarkan secara langsung dalam kehidupan mengenai tindakan-tindakan yang berkaitan dengan penanaman sikap toleransi kepada sesama. Melalui pembelajaran secara langsung, anak akan terbiasa berpikir positif terhadap para pengamen sekali pun. Mustahil kiranya, sikap toleransi dimiliki anak apabila orang tua tidak memberi tauladan tidak memberi pengertian dan tidak membelajarkan dalam kehidupan.
Posted by
9:24 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar