Oleh; Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Sebahagian orang mungkin sudah lama tidak mendengar kata kata “timbang rasa” lagi. Seharusnya kata-kata ini masih diucapkan oleh teman-teman, anak-anak muda dan malah juga generasi tua sebagai tanda bahwa mereka masih peduli dengan “bertimbang rasa” dalam menjaga kualitas kounikasi. Kalau dulu orang tua sering berpesan, member pituah, pada anak-anak mereka “Anak ku…jagalah perasaan orang apabila kamu bergaul, mengangalah dulu sebelum berbicara”. Hingga suatu hari ternyata penulis masih menemukan kata-kata “timbang rasa’ tertera sebagai merek sebuah home industry di kawasan kota Payakumbuh.
Timbang rasa berarti menimbang perasaan orang dalam berkomunikasai. Timbang rasa sangat penting, karena ia adalah bumbu yang membuat pergaulan dan komunikasi terasa enak. Orang yang punya timbang rasa dalam berkomunikasi jadi menarik dan pergaulannya sangat disenangi. Timbang rasa , kalau begitu sangat perlu untuk dimiliki oleh siapa saja- tua, muda, laki-laki, perempuan, kaya, miskin dan apa saja bangsa dan agamanya.
Berkumpul bersama anggota keluarga sambil menonton TV atau acara-acara kekeluargaan- makan bersama, traktiran dan sampai pesta kecil kecilan sekedar melepas kangen, sudah menjadi kebutuhan banyak orang. Apalagi bagi mereka yang jauh dari kampung halaman. Kadang kala dalam suasana kebersamaan ini terjadi guyon dan ledek meledek. Pada mulanya memang bisa untuk menambah keakrapan, namun salah guyon dan salah membuat ledekan malah bisa menjadi bisul untuk menebar rasa sakit hati dan perpecahan.
Banyak orang (kakek, nenek dan ayah- ibu) berfikir bahwa anak-anak kecil belum punya pikiran, hingga mereka butuh arahan dan didikan. Sebagian dalam bertindak dan berkata kepada mereka juga kurang memperhatikan hati (emosi) mereka. “Wah kamu ini bloon, udah berkali kali diberi peringatan namun tidak juga mengerti, dasar bebal atau muka tembok”. Bagaimana kira kira perasaan anak atas komentar tadi ?
Banyak orang yang kurang mempertimbangkan perasaan anak. Sebagian orang tua rata-rata hanya bersikap lembut terhadap bayi, balita dan anak-anak yang berusia hingga masuk SD, ya saat mereka masih terlihat lucu dan patuh. Namun begitu anak terlihak mulai agresif, sudah punya banyak kawan dan sibuk mengembangkan gerak dan melakukan eksplorasi. Mereka telah diberi label sebagai anak bandel oleh karena itu mereka (anak-anak) mulai berhubungan dengan sejuta suruhan dan larangan dari orang tua.
Menghargai perasaan anak sangat pentig dalam mendidik.Namun dalam kenyataan jarang terealisasi. Ini juga menjadi kebiasan dari pasanagn kakek- nenek yang tinggal di rumah kecil, di sebuah kota di Pulau Sumatera. Mereka tidak ada pekerjaan, kecuali hanya sekedar mengurus kebun kecil dan kucing piaraan. Selebihnya hari-hari mereka terisi dengan kegiatan nonton TV dan rebutan untuk mengomentari hal hal kecil. Kebiasaan gemar mengomentari hal-hal kecil terbawa-bawa terhadap cucunya yang hanya datang sekali setahun untuk berlibur.
Punya kakek dan nenek itu sangat indah. Anak-anak biasanya membayangkan tokoh kakek-nenek ibarat tokoh dalam buku cerita dan tokoh dalam kartun. Orangnya sangat baik dan penyayang. Namun dalam kenyataan tidak demikian dalam ilusi Rido dan Anita. Sebagai anak-anak yang masih duduk di bangku SD dan SLTP, mereka tentu punya segudang kegiatan, yang sering dianggap sebagai kenakalan bagi orang tua/ kakek dan nenek.
Mereka melompat, berlari, mendorong perabot dan berteriak-teriak dalam rumah. Kakek- nenek yang tidak terbiasa dengan suasana ini pasti akan menjadi jengkel. Tiba-tiba tertumpah air ke lantai. Ini hal biasa namun komentar dan kemarahan kakek-nenek meledak melebihi hal yang sebenarnya. “Kamu sangat usil dan nakal ya.., membuat keributan…, mendorong dorong…, ibumu sudah salah didik…!”. Suasana begini sering terjadi dan bagi orangtua muda yang tidak sabaran terhadap omelan kakek-nenek akan segera berkemas kemas. Memutuskan kembali untuk , berangkat pulang. “Good bye…kakek…., good bye nenek…..lebih aku pulang kembali, karena rumah ini bukan sweethome bagi cucu cucumu.”. Hal seperti ini juga tidak harus terjadi.
Perubahan gaya mengasuh berpotensi menimbulkan gap (jurang pemisah) antara generasi sekarang- orang tua dengan kakek-nenek. Seharusnya kakek- nenek zaman sekarang harus menjadi generasi tua yang lebih terdidik dan makin bijak sana. Ibu dan ayah muda juga perlu mengenal karakter yang tidak disukai oleh generasi tua. Dalam berbagaimsuasana, timbang rasa sangat dibutuhkan. Kakek-nenek yang punya timbang tasa akan menjadi figure yang disayangi oleh cucu dan anak anaknya.
Timbang rasa perlu dibawa terus, kapan saja dan di mana saja termasuk saat pulang lebaran. Sebagaimana berlebaran , dengan fenomena exodus lebaran, sudah menjadi fenomena dalam masyarakat kita. Coba lihat suasana bila lebaran mau datang- arus transportasi menjadi super sibuk.. Di sana terjadi arus migrasi masal menuju kampung. Sekali lagi bahwa orang luar negeri akan melihat fenomena ini sebagai exodus besar-besar. “Ini memang exodus, ya happy exodus”.
“Apa yang diharapkan dari kedatangan orang orang dan family yang datang dari rantau ?”. Sebahagian berharap untuk silaturahmi dan melepas rasa kangen, namun dibalik itu ada juga mengharapkan “ oleh oleh atau yang dikenal dengan THR- tunjangan Hari Raya” dari mereka. THR biasanya dibagi-bagikan tiap lebaran datang, di hari lain mungkin namanya traktiran ‘traktir dong om….traktir dong tante”.Cukup banyak orang memprovokasi anak-anak kecil untuk minta oleh oleh- atau namanya uang tip, uang traktiran atau parsel (bingkisan) yang datang dari om, tante, abang, kakak sampai kepada opa-oma, “Hei itu om mu….ayo minta uang untuk beli sepeda”. Sehingga dari kebiasaan, akan tumbuh anak-anak dan generasi muda yang gemar minta traktiran. Asal ada orang baru datang maka yang mereka harapkan cuma oleh-oleh, dan uang traktiran, atau cendera mata.
Kebiasan mengharap cedera mata dan oleh-oleh atau traktiran dari karib kerabat dan family yang datang telah membuat cukup banyak dari mereka yang enggan untuk pulang kampong atau bersilaturahmi. Soalnya takut diserbu dengan uang traktiran. “Kampungnya kan dekat, kenapa jarang pulang kampung, apa tidak kangen dengan orang tua..?”. Rasa kangen kepada orang tua dan adik kakak selalu memang selalu ada. Namun yang membuat kaki berat untuk melangkah ke sana adalah kebisaan orang-orang sekeliling, mulai dari yang kecil sampai ke yang besar mengharapkan traktiran - sekeping uang untuk dibagi-bagikan. Kalau jumlah mereka satu atau dua orang tdak msalah, namun bila jumlah mereka cukup besar bisa-bisa mengganggu keuangan. Ya solusinya adalah tidak usah pulang kampung atau hentikan budaya berharap uang traktiran dari siapa saja yang datang.
Hal lain yang membuat seseorang menjadi enggan untuk menemui family/ kerabat atau kenalan yang lain juga karena kurangya timbang rasa dalam bentuk lain. Hidup ini penuh dengan orang-orang berkarakter unik. Ada orang punya karakter yang suka ngobrol tentang dirinya melulu, yang lain cuma jadi pendengar. “Aku kemaren dapat ini… aku kemaren buat ini rasanya enak…, anakku kemaren jadi hebat….suamiku kemaren ganti mobil….rumah ku kemaren direnovasi…”.
Pembicaraan yang terlalu banyak “aku” atau terfokus pada pembicaraan tentang diri akan membuat orang jadi males datang bersilaturahmi untuk kali berikutnya. Sudah jelas jumlah telinga itu “dua” melebihi jumlah mulut (satu mulut) namun kita kadang-kadang terlalu doyan banyak bicara yang tidak terlalu penting daripada mendengar pembicaraan teman dengan sepenuh hati.
Kemampuan dalam bertimbang rasa jauh lebih penting dari pada kebiasaan pamer kekayaan, pamer kehebatan anggota keluarga dan kebiasaan monopoli dalam ngobrol. Ini pulalah yang dialami Upik (bukan nama sebenanya) yang diajak oleh salah seorang paman untuk datang ke rumahnya. “Ayolah Upik datang ke rumah paman, penting banget buat mu”. Setelah tiba di sana ternyata Upik tidak menjumpai hal yang penting. Kecualinya Sang Paman sibuk mempromosikan rumahnya yang berharga mahal, tipe minimalis dan dilengkapi dengan perabot pilihan yang harganya cukup mahal. “Lemari ini kemaren Paman beli di Bukittinggi harganya hampir sepuluh juta, loteng rumah ini mirip dengan rumah dokter di Kebayoran Baru, besok Paman akan merenovasi garasi untuk tiga mobil”. Dalam kenyataan apa sih yang dirasakan Upik saat itu ?
Selanjutnya bahwa timbang rasa juga perlu hadir di sekolah, mulai dari bangku SD, SMP, SMA dan malah sampai ke Perguruan Tinggi. Murid kelas satu SD, seperti yang dikatakan oleh salah seorang teman penulis, akan menjerit ketakutan terhadap guru yang mereka anggap tidak punya timbang rasa. “Tukar gurunya….aku takut dengan guru itu, dia galak” Atau malah ada murid yang sampai ngompol dalam celana dan menggigau dalam tidur gara gara pengalaman seram mereka di siang hari- harus belajar bersama guru yang mereka anggap tidak tahu tentang bertimbang rasa dengan bocah-bocah kecil.
Begitu pula untuk siswa tingkat SLTA, ternyata ada siswa yang melarikan diri dari kelas, dari sekolah setelah punya pengalaman buruk belajar bareng dengan guru yang kurang memiliki timbang rasa. “Tiap kali belajar dengan saya, kok kamu ngelamun melulu” Timbang rasa bukan berarti harus tidak punya disiplin, harus mengikuti kehendak siswa. Namun timbang rasa disini adalah kemampuan guru untuk menimbang perasaan siswa- bersimpati dan berempati. Tidak melecehkan potensi, apalagi harga diri siswa. “Ah percuma saja kamu juara kelas, tapi kok egois sama kawan-kawan”.
Saatnya kata-kata timbang rasa musti dipopulerkan lagi dan saatnya timbang rasa diaplikasikan dalam hidup. Pedagang yang punya timbang rasa, banyak bersabar dan tidak suka mengomel terhadap pembeli yang gemar menawar, bakal menjadi pedagang yang laris manis. Rumah sakit dengn dokter dan perawatnya yang mengutamakan timbang rasa atau pelayanan prima terhadap pasien, akan membuat pasien bisa sembuh lebih awal. Rumah sakit yang yang mengutamakan timbang rasa akan membuat pasien betah berobat ke sana dan tentu tidak perlu berfikir untuk pergi berobat sampai ke negeri jiran segala.
Timbang rasa juga penting hadir di rumah. Suami yang punya timbang rasa terhadap istri akan memperoleh panen cinta dari istri dan sebaliknya. Istri penting mengutamakan timbang rasa pada suami agar perkawinan langgeng terus. Kemudian ada sebuah umah yang selalu dikunjungi banyak anak anak dan remaja. Semua anggota keluarga betah berada di rumah. “Itu karena anggota keluarga, terutama anak-anak, memperoleh kasih sayang dan juga diberi pembagian kerja. Di rumah mereka dihujani dengan banyak kata maaf dan rasa aman- bebas berekspresi. Akhirnya mereka tidak perlu lagi pergi ke luar rumah untuk mencari kasih sayang”. Kesimpulanya adalah hadirkanlah selalu rasa timbang rasa setiap saat di mana saja berada.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar