Oleh Siska Yuniati
Entah sampai kapan ibuku akan menanyakan hal yang sama, “Kapan kau menikah Han?” Begitu, beliau tuliskan dalam suratnya yang lalu.
Usia 27 tahun memang belum terlalu tua untuk ukuran kota. Tapi, untuk ibu, aku tak sanggup membayangkan canting di tangannya melukis resah. Kemudian, dalam suratnya yang lain beliau menuliskan demikian, “Atau ibu carikan saja Han…?”
Mungkin itu harapan seorang ibu pada anaknya yang sudah seusia cantingbatik belum juga berumah tangga. Ada benarnya mungkin. Aku sendiri tidak tahu perempuan mana yang tepat untuk diajak mengarungi hidup bersama. Apa mungkin seperti Fathimah dalam surat-surat ibu, ataukah seperti Rosnalisa?
Rosnalisa…. Nama itu muncul begitu saja bersama datangnya gerimis. Usianya masih belasan tahun, kuliah pun dia belum.
Suatu malam, dalam sebuah kafe kecil, kami hanya teman ngobrol menghabiskan jenuh. Tidak ada yang tahu siapa yang memulai, yang pasti kemudian kami menjadi sahabat. Berlanjut ketika ia sering hadir dalam pondokku, menemaniku merampungkan sebait puisi, atau sekadar membincangkan apa yang ada. Hingga tiba-tiba dengan bibir uniknya ia memohon. “Satu cerita saja. Aku tahu di penamu kau kuasa membuat segalanya.” Permintaan yang tidak biasa ia lontarkan.
Waktu itu udara basah. Rosnalisa membiarkan sebagian tubuhnya dicubit dingin. Rosnalisa sang selebriti. Kenalanku itu meminta mengarang sebuah cerpen, tentang Ramadan dan keinginannya mengubah diri. Seperti ulat bulu yang menjelma menjadi kupu-kupu. Dan Rosnalisa adalah kupu-kupu manis, andai sepotong cerpen itu untuk dirinya, bukan untuk ketenarannya.
Aku masih terpaku ketika lentik jemari Rosnalisa memasukkan satu juta rupiah ke dalam saku baju yang kukenakan.
“Ini uang muka, setelah cerpen itu dipublikasikan, aku akan menambahkan jumlah yang sama.”
Begitulah.
Aku tidak tahu bagaimana caranya mengganti sosok Rosnalisa menjadi Aisyah putri Abu Bakar. Dunia Rosnalisa adalah pub-pub malam dengan segudang keglamoran. Dan kini aku harus memaksanya menjadi dara bersahaja.
Sebuah pondok pesantren kumasuki, mencari inspirasi dan mengembarakan imajinasi tentang Rosnalisa. Tapi kosong. Benar yang di katakan Bimbo, ada sejuta Aisyah dengan busana muslimah. Hampir di setiap sudut pesantren bidadari-bidadari itu muncul sebagai wujud keagungan Tuhan. Mereka tak banyak cakap, sesekali tersenyum, kemudian buru-buru menundukkan pandangan.
Aku menghabiskan tujuh hari dalam hidupku untuk menekuni semua yang mereka perbuat. Kebetulan pengelola pesantren adalah karib almarhum bapak, sehingga aku lebih leluasa untuk bergerak.
Siang, menjelang siang, malam, menjelang malam, dan pagi-pagi sekali, kuamati gerak langkah para santriwati. Setiap detail selalu kucatat, bahkan ketika seorang di antaranya malu-malu mennjawab salamku. Entah apa yang ada dalam benak mereka. Risih melihat rambut panjangku atau khawatir akan pandangan liar yang kutebarkan. Apapun kata mereka, yang pasti aku semakin rajin membuka sirah Nabi, menggali informasi para sahabat untuk memperkuat karakter tokoh.
***
Tokoh Rosnalisa dalam tulisanku merupakan metamorfosa dari Rosnalisa yang artis menuju Rosnalisa yang bergamis. Lengkap dengan perubahan perilaku. Cukup biasa. Kudengar ini dinamakan hidayah. Sebuah kekuatan yang menjadikan ketiadaan menjadi ada, pun sebaliknya. Menghilangkan kebergantungan dan menghadirkan kedirian. Aku mempercayainya. Tapi, entahlah….
***
Dua minggu yang dijanjikan tiba. Rosnalisa datang dengan mata sembab.
“Mengapa kau jadikan aku seperti ini?!” Ringan tangan Rosnalisa membanting sebuah harian ibu kota.
“Kau tahu, hari ini ratusan e-mail dan SMS menghujatku. Semua mengumpat kecewa. Mereka tidak menginginkan perubahan padaku, biarpun dalam sepotong cerita.”
Aku terkesima. Bukankah tempo hari ia yang memintanya.
“Tapi, bukankah jiwamu merasa senang dengan tokoh itu?” tanyaku sembari memperhatikan wajahnya yang memerah.
“Ya, tapi aku bukan milikku sendiri. Di sampingku masih ada produser, manager, serta ribuan fansku.”
“Dan… Tuhan. Kau juga milik Tuhan,” kataku datar.
Rosnalisa menatap nanar.
“Bodoh! Mereka semua tidak tahu siapa itu Tuhan. Bagaimana mungkin aku akan menjelaskannya?”
Aku menggeleng. Bagaimana mungkin bintang secantik ini tidak dapat mewujudkan keinginan yang paling esensial dalam hidupnya?
“Ros, siapa yang lebih bodoh dari ini? Kau atau orang lain? Kemana logikamu? Tuhan yang menciptakanmu, tapi tak pernah kau izinkan menguasai dirimu?”
Tak ada jawaban. Yang kudengar adalah sobekan-sobekan koran di mana cerpenku terpampang.
Detik berikutnya…”BLAAM!”, pintu tertutup rapat.
Aku diam, membiarkan Rosnalisa berlari menembus sunyi, kemudian menghilang dalam kegelapan. Yah…. Rosnalisa hadir dan hilang begitu saja, sebagaimana cinta yang baru kutemukan.
***
Ramadan hampir usai. Kusimpan nama Rosnalisa di bawah tumpukan mushaf. Metropolitan tak seindah anganku dulu. Mungkin juga aku dibutakan manakala kusadari bahwa sidomukti atau parangrusak buatan ibu ternyata jauh lebih indah. Malam ini kugerakkan penaku untuk memberi kabar ke desa.
Ibu…. Han akan pulang. Bagaimana dengan Fathimah putri Pak Dullah? Insya Allah lebaran ini Han ingin mengajak ibu ke rumahnya. Untuk melamar.
***
Ctt:
Cerpen ini juga dipublikasikan di Majalah Bakti Kanwil Depag Provinsi D.I. Yogyakarta Edisi September 2010.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar