Oleh Siska Yuniati
“Berr …!” Angin masuk dari jendela yang baru saja kubuka. Sejuk, merasuk ke dalam setiap pori-poriku. Kurebahkan tubuh di atas kasur. Ingin sekali aku berhibernasi, tidur berbulan-bulan seperti beruang. Melupakan semua rutinitas hidup dan terjaga setelah keadaan berubah, saat di mana aku terlahir kembali sebagai putri raja. Ah, kapankah itu? Perlahan aku memajamkan mata.
“Tok… tok… tok….”
“Is…. Aisyah…. Bangun…!”
Kucoba membuka mata, tapi tertutup kembali.
“Aisyah… cepat bangun… sudah sore…!”
“Cuci muka sana!”
Kelopak mataku seketika membuka. Seperti biasa aku menurut. Itu perintah ibu, aku harus nurut. Kira-kira kalau ditafsirkan itu adalah ultimatum. Kalau tidak bangun juga kalimat berikutnya adalah: “Biar ibu yang mengambil air untukmu!”. Bisa dipastikan setelahnya aku akan basah kuyup. Aku pernah membuktikannya paling tidak tiga kali.
Dari kamar mandi, suara ibu seperti sirine ambulan, meraung-raung membuatku pusing, “Hari ini ibu ada janji ngantar Tante Ida beli sprei. Tadi ibu beli ikan segar, cocok kalau dimasak asam pedas. Jangan lupa kalau ayah pulang, bilang ibu pulangnya agak malam karena sekalian nengok Tante Irma yang sakit.” Setelahnya sepi. Itu artinya Ibu sudah pergi.
Aku tertunduk mengamati ikan bawal yang matanya seakan menertawakanku. Seharusnya ibu ingat, hari ini ada janji denganku untuk masak bersama. Ibu selalu menekankan jadi anak perempuan harus pintar masak. Tapi, sore ini aku malas sekali untuk masak. Ibu telah mengabaikanku begitu saja.
Lain waktu saat aku protes ibu mengatakan bahwa aku sudah gede. Sudah kelas satu Aliyah, tidak pantas kalau terus merengek minta pelukan ibu. Barangkali benar kata ibu, tapi saat ini aku butuh ibu. Aku ingin sekali bercerita tentang Adit, teman sekolahku yang tak bosan-bosannya mengirimiku surat cinta. Terus terang privasi-ku terganggu. Aku sudah cerita sama teman-teman, tapi justru aku menjadi bahan tertawaan. Aku bilang nggak mau pacaran. Teman-teman ganti mengatakan aku ketinggalan zaman. “Ah, jadul amat kamu! Pacaran kan nggak harus nikah!!”
***
“Bu, janji ya, nanti sore kita jadi beli baju.”
“Ya, … nanti lihat-lihat, ibu usahakan.”
Akhir-akhir ini sering begitu, nanti diusahakan. Menurutku itu hanya kata lain dari nggak bisa, nggak ada waktu. Sorenya yang terjadi memang seperti sudah-sudah.
Aku anak tunggal. Ayahku punya usaha travel. Kurasa usahanya terus berkembang. Terbukti kehidupan kami terus tambah makmur dan waktu ibu untukku terampas. Tepatnya setelah ayah melibatkan ibu dalam urusan bisnisnya. Aku pernah mengadukan hal ini pada ayah. Jawabannya sama, kamu sudah besar.
Kalau begitu jadi orang besar tidak enak, apa-apa dianggap mampu. Minta perhatian saja tidak boleh. Tentu saja yang aku minta bukan pelukan sepanjang waktu. Aku hanya ingin sedikit waktu untuk bercerita. Memastikan bahwa aku masih ada di hati kedua orang tuaku. Jika ayah tiap hari bekerja, pulang malam, hanya sesekali mengajakku bermainbadminton, semuanya masih dapat aku terima. Karena sejak kecil ayah jarang di rumah. Tapi ibu, terus terang aku sangat kehilangan.
Di sekolah, situasi “politik” memanas. Anak-anak perempuan ketakutan karena adanya desas-desus dari “genk anak kelas dua”. Mereka mencari anggota baru untuk regenerasi. Sasarannya ya, … anak-anak kelas satu. Tawaran yang diberikan adalah keselamatan anggota terlindungi. Kalau ada keributan dengan teman, kelompok ini siap maju membela. Kelihatannya keren, tapi aku ngeri. Kadang mereka bersikap kasar sekalipun kepada anggotanya sendiri. Guru-guru sampai kepala sekolah belum ada yang tahu. Di sekolah mereka biasa-biasa saja sehingga sulit untuk mengenali mana yang anggota mana yang bukan. Lagi pula tidak ada yang berani melapor.
Mita, kakak kelasku, kini orang yang paling dekat denganku. Teman-teman sekelas mengingatkan untuk berhati-hati. Ada kabar ia bekas atau masih menjadi anggota genk kelas dua. Aku tidak peduli dengan komentar mereka karena nyatanya Mita baik padaku. Saat isirahat ia selalu menyempatkan untuk menyapa sekalipun jelas ucapan basa-basi. Tapi aku senang. Aku merasa punya teman. Sejak itu aku tidak terlalu mengharap kehadiran ibu. Mita cukup pengertian, mau mendengarkan keluhanku tentang Adit dan ulah teman-temanku. Keakraban semakin terjalin saat Mita datang ke rumah, sekadar main atau mengajariku PR. Di rumah tidak ada pembantu, jadi sepiku benar-benar terusir.
Sore itu Mita datang ke rumah, kami nonton film, “Ayat-ayat Cinta”. Maunya sih “Laskar Pelangi” yang memang lagi buum. Tapi, apa boleh buat, versi CD ataupun DVD-nya belum dirilis. Mita terlihat senang sekali, dia belum pernah nonton sampai tuntas. Dari rumah dia membawa beberapa butir permen. Ia makan satu, aku juga tidak menolak untuk melahapnya.
Kami tertawa dan terus tertawa hingga film usai tanpa ditonton. Mita pamit. Sedang aku merasakan euforia luar biasa. Sangat menyenangkan. Aku tak lagi kecewa dengan sikap ibu yang tak menghiraukanku. Aku merasa Adit bukan lagi sampah busuk di kelasku. Teman-temanku juga bukan sekumpulan serangga berdengung. Bukan sama sekali. Dan, dunia berubah. Aku benar-benar putri raja. Tak perlu sekolah, tak perlu susah karena ayah dan ibu akan menemaniku bermain di taman. Ah, ini benar-benar surga.
Saat aku terbangun jam menunjukkan angka delapan. Rumah sepi. Gelap dan ah, tubuhku berat. Ayah dan ibu belum pulang? Aku buru-buru meraihhandphone. Aku ingin tahu kabar ibu. Urung, dua buah pesan telah menunggu untuk dibaca.
Satu dari ibu, “MAAF SYG, IBU & AYAH PLG AGAK MLM, DA ACARA MAKAN MLM DG REKAN BISNIS. KM DAH MAKAN? Satu lagi dari Mita, “AISY? GMN TDRMU? MIMPI INDAH? PERMN TD PERMN ISTMW. AKU SERING MNGGNKANNYA TUK MELUPKN BNYK HAL YG MENGGNGGU PKIRNKU”.
Aku ingin menangis. Ingin memeluk ibu. Aku tidak keberatan biarpun dikatakan anak manja, “Ibu, aku ingin belaianmu. Aku ingin kita bersama-sama lagi, balanja, tertawa…. Aku rindu. Aku rindu padamu.”
Pukul sepuluh malam. Ibu dan ayah belum juga pulang. Aku sudah mulai lelah memandang daun pintu yang tak kunjung diketuk. Lima menit kemudian, alunan Dealova memecah sunyi. Mataku terpaku pada Liquid Crystal Display ponselku yang berkedip-kedip. Telepon dari Mita.***
Ctt:
Cerpen ini juga dipublikasikan di Majalah Bakti (Kanwil Depag D.I. Yogyakarta) Edisi Desember 2009.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar