Oleh Drs. MARIJAN
Guru SMPN 5 Wates Kulon Progo Yogyakarta
Dalam perjalanan sejarah, guru pernah menduduki rangking atas di barisan masyarakat. Hal ini ditengarai oleh sapaan bagi seorang guru, ticlak pernah namanya disebut begitu saja. Sapaan dengan sebutan pak, Bu, Mas dan Dik guru acap kita dengar di telinga.kita. Ringkasnya, guru diiharapkan selalu siap tampil menjadi tokoh di tengah masyarakat.
Tetapi kita tidak demikian implementasi guru dalam sistem pendidikan. Guru yang telah mengabdikan diri dengan segenap kesungguhan, kesederhanaan, kehati -hatian, kejujuran dan rasa tanggung jawab, sering dipaksa menerima tudingan negatif, manakala nilai Ebtanas atau ada perilaku siswanya tidak menggembirakan.
Jelasnya, guru menjadi sapi perah dan keranjang sampah. Siapa pun tahu sapi perah hidungnya dicocok, diberi makan seadanya dan berdiam di dalam kandang berukuran tidak lebih luas dari 3 X 5 meter persegi. Kadangkala harus menerima tamparan tuannya manakala menu makanan yang diberikannya tidak segera dimakan.
Walaupun dalam kondisi yang demikian, tuannya masih berharap sapinya dapat menghasilkan susu sebanyak-banyaknya. Sedangkan keranjang sampah merupakan tempat buangan kotoran apa saja. Paling tidak ada enam indikator peran guru dalam sistem pendidikan kita, dianggap sebagai sapi perahan dan keranjang sampah itu.
Pertama, di era otonomi daerah proses pendidikan diserahkan kepada sekolah masing-masing dengan mengacu kerangka kurikulum dan tujuan pendidikan nasional. Konsep penyerahan wewenang tersebut tampaknya disambut baik oleh sekolah dan masyarakat karena diyakini, konsep ini memungkinkan sekolah bisa bearkembang sesuai dengan `habitatnya’masing-masing. Di penghujung tahun pelajaran, siswa masih harus mengikuti Ebtanas yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Propinsi. Hasil Ebtanas kemudian dikoreksi oleh Dinas Pendidikan.Guru mengetahui, koreksi hasil jawaban Ebtanas itu ada nilainya secara ekonomi bahkan tidak sedikit. Jika disimak, guru diberikan tugas menempa siswa agar menjadi anak yang cerdas, terampil dan bertaqwa tetapi ketika ada pekerjaan yang besangkut paut dengan uang, guru dipaksa menonton dengan khidmat. Kedua, nilai Ebtanas digunakan sebagai landasan merangking mutu pendidikan suatu sekolah. Dinas Pendidikan membenarkan dirinya melakukan perangkingan. Para guru tentunya masih memaklumi jika perangkingan tersebut bertujuan untuk melihat posisi / rangking siswa di suatu wilayah. Namun celakanya perangkingan itu biasanya untuk melihat kualitas guru. Padahal kalau dianalisa dengan melihat inputnya, rangking siswa tidak identik dengan gurunya. Contoh SMP favorit dapat meluluskan siswa-siswinya dengan NEM rata-rata 46 dari input nisi rata-rata NEM SD dapat masuk ke SMP tersebut 40 yang berarti terjadi peningkatan angka nilai 6. Sedangkan SMP di pelosok , rata-rata NEM-nya 35 dari NEM SD masuk SMP yang hanya rata-rata 28. Berarti terdapat peningkatan angka nilai 7. Pertanyaannya dari contoh di atas guru dari SMP mana yang sanggup berhasil ?
Dinas Pendidikan si tuan bagi guru, acap berkesimpulan guru-guru SMP pelosok yang meluluskan siswa -siswinya dengan nilai Ebtanas rendah tersebut karena tidak berhasil mencetak siswa bermutu dan gagalnya pendidikan nasional. Tolok ukur yang demikian posisi guru diibaratkan sudah terjatuh masih tertimpa tangga.
Ketiga, pemaknaan guru sebagai ujung tombak pembentukan watak generasi muda untuk masa depan sering diterjemahkan secara sempit. Guru memang terjun langsung berhadapan dengan generasi muda atau siswa, hendaknya tidak diartikan segala- galanya. Disadari atau tidak tugas pembentukan generasi muda bukanlah sepenuhnya tanggung jawab guru. Mungkin dilupakan atau memang lupa bahwa ujung tombak tugas utamanya adalahpemegang pangkal tombak yang dipegang oleh penggunanya. Sebagai pemegang pangkal tombak, dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan sehingga tergantung mereka mau diarahkan ke sasaran ke mana.
Dengan kata lain kebijakan – kebijakan yang ditelurkan oleh Dinas Pendidikan dan komitmen tentang pendidikan jauh lebih berpengaruh daripada eksistensi guru yang dianggap sebagai penyebab rendahnya mutu pendidikan. Kebijakan tentang pendidikan selama ini dirasakan masih kurang tepat, yang terkadang bersifat menghibur, egois, kurang peduli terhadap anak terlantar, dan memberi peluang kenikmatan orang-orang yang ada di atas sana.
Keempat, penyebab rendahnya mutu pendidikan karena minimya sarana pendidikan dan keberadaan perpustakaan memegang peran penting dalam upaya rnesingkkan kualitas pendidikan. Tetapi rendahnya mutu pendidikan tersebut selalu ditimpakan kepada guru. Di sekolah-sekolah pelosok, minimnya sarana pendidikan dan jumlah buku di perpustakaan merupakan dua hal yang sangat memprihatinkan dalam dunia pendidikan. Kalau kita mau jujur, sebenarnya, model dan strategi pembelajaran yang bagaimana pun bentuknya tak akan berakhir memuaskan apabila tidak ditunjang keberadaan buku. Baik guru maupun siswa mutlak memerlukannya. Percayalah ! Apabila guru dan siswa telah banyak membaca materi ajar dari buku yang cukup beragam, strategi pembelajaran bukan hal yang teramat penting. Apalagi jika NEM yang dijadikan indikator mutu.
Pengalaman penulis mengajar di SMP swasta yang perpustakaannya cukup banyak menyediakan jumlah dan macam buku menerapkan pernbelajarannya dengan model team studying ternyata lebih efektif. Hal itu tidak berjalan di SMP tempat penulis mengajar sekarang karena minimnya jumlah dan macam buku yang tersedia. Menerapkan pembelajaran model tersebut, setiap kelompok mempelajari materi ajar yang berbeda kemudian diadakan diskusi kelas. Ada kelompok penyaji ada kelompok penyanggah. Diskusi cukup efektif, siswa pun tampak antusias dan berusaha untuk tahu materi itu lewat membaca buku di perpustakaan.
Kelima, di era otonomi daerah guru dan jumlah buku di perpustakaan merupakan dua hal yang sangat mernprihatinkan dalam dunia pendidikan. Kalau kits mau jujur, sebenamya, model dan strategi pembelajaran yang bagaimana pun bentuknya tak akan berakhir memuaskan apabila tidak ditunjang keberadami buku. Baik guru maupun siswa mutlak memerlukannya. Percayalah ! Apabila guru dan siswa telah banyak membaca materi ajar dari buku yang cukup beragam, strategi pembelajaran bukan hal yang teramat penting. Apalagijika NEM yang dijadikan indikator mutu.
Pengalaman penulis mengajar di SUP swasta yang perpustakaannya cukup banyak menyediakan jumlah dan macam buku menerapkan pernbelajaranriya dengan model team studying temyata lebih efektif. Hal itu tidak ber alas di SLIP tempat penulis mengajar sekarang karena minimnya jumlah dan macam buku yang tersedia. Menerapkan pembelajaran model tersebut, setiap kelompok mempelajari materi ajar yang berbeda kemudian diadakan diskusi kelas. Ada kelompok penyaji dan ada kelompok penyanggah. Diskusi cukup efektif, siswa pun tampak antusias berusaha untuk tahu materi itu lewat membaca buku di perpustakaan.
Kelima, di era otonomi daerah guru sebagai pegawai bawahan Pemkab yang berarti kedudukan guru dekat Pemkab. Mata rantai menjadi pendek dan apabila atasan di Pemkab ingin menjitak dahi sang guru bawahannya, dapat dengan mudah. Artinya guru semakin tidak berdaya, bak enceng gondok di atas air kolam, mudah sekali dicabut dan dicampakkan di pinggir kolam. Guru yang terbukti melanggar hukum perlu diberikan sangsi agar tidak merembet ke guru yang lain. Namun bagaimana dengan pegawai Pemkab yang terbukti melakukan kesalahan semacam guru, apakah juga diberikan sangsi ?
Keenam, kebijakan tentang penambahan wajib mengajar per minggu bagi guru dari 18 menjadi 24 jam, menambah beban bagi guru dan dipastikan akan memperburuk mutu pendidikan. Perlu diketahui untuk jam wajib mengajar 18 jam saja banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Adanya kebijakan dengan wajib mengajar 24 jam, tidak menutup kemungkinan akan memperburuk mutu pendidikan. Agar ketentuan tersebut terpenuhi, akan terjadi guru berijazah D III PKK mengajar Matematika, D III Seni Tari harus mengajar Fisika, D III Sejarah pun harus bersedia mengajar Biologi dan lain sebagainya.
Suatu pendapat menyatakan guru kurang bermutu akan melahirkan generasi kurang bermutu dapat dibenarkan. Namun tidak tepat jika rendahnya mutu pendidikan itu ditimpakan kepada guru. Banyak aspek yang berpengamh pads peningkatan atau penurunan mutu pendidikan. Salah satunya faktor mutu guru itu sendiri tetapi bukan semata-mata hanya guru.
Walaupun menyadari bahwa guru sebagai sapi perah dan keranjang sampah dalam dunia pendidikan, maka guru sendirilah yang selanjutnya, membangkitkan kesadaran profesinya secara konsisten. Motivasi internal perlu ditumbuhsuburkan. Gaji guru yang tergolong kecil tidak menjadi alasan untuk menurunkan semangat melaksanakan profesi guru. sebagai perbandingan gaji. guru negara India juga kecil namun pendidikannya, maju. Ini disebabkan motivasi internal dan komitmen guru yang tinggi. Seiring dengan tumbuh subumya motivasi internal guru, pemerintah hendaknya meningkatkan anggaran pendidikan sebagai bukti komitmennya terhadap usaha perbaikan mutu pendidikan.
sumber :
Posted by
6:49 AM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar