Oleh: Rahmah Purwahida
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta
Murid adalah sosok paling dekat dengan guru. Karena itu, ”arti” guru di hadapan murid sesungguhnya kunci sukses pendidikan.
Telah tercatat sekian ”rupa” guru dalam memartabatkan muridnya. Akan tetapi, apakah dari sekian zaman yang dilalui guru itu, ia telah benar-benar dicatat untuk dimartabatkan?
Setiap kali Hari Guru datang menjelang, kali itulah refleksi untuk dan bagi guru selalu didengungkan. Ada yang menyoal penderitaan-peruntungan sampai perjuangan-penghargaan.
Namun, semua itu akan terjawab dengan berbagai versi yang bermula dan bermuara dari arti guru bagi murid dalam setiap zaman. Penentuan arti tersebut tidak terlepas dari peranan perubahan situasi sosial, politik, dan budaya.
Guru dalam lintasan sejarah pendidikan bangsa ini pernah dikenal dalam empat arti, yaitu sepandai-pandainya orang di dunia, kaum cerdik-pandai, mesin transfer doktrin, dan sosok yang mampu mengartikulasikan dirinya sendiri. Ketika kemerdekaan belum menjadi euforia, bangsa ini menyadari bahwa guru adalah orang terpandai di dunia yang mampu mengobarkan semangat ilmu dan kebebasan. Sebab pada masa penjajahan kolonial Belanda itu, ruang gerak memperoleh ilmu pengetahuan bagi bangsa ini dipersempit.
Sedikit sekali kaum pribumi yang beruntung bisa mengenyam pendidikan. Angka yang sedikit itu menjadikan mereka sangat berharga di hadapan muridnya.
Ki Hajar Dewantara, salah satunya. Ia tersohor dengan konsep Taman Siswa-nya dan menjadi salah satu sosok yang hingga kini dikenal sebagai orang yang sangat pandai. Ketika itu, kemarahan guru adalah hal yang ditakuti muridnya. Perasaan ”durhaka” seakan menghampiri benak para murid bila kemarahan Sang Guru datang, tetapi bukan karena rasa takut melainkan sebab rasa hormat.
Masa itu kemudian bergerak menuju era pencapaian kemerdekaan. Masa sekolah berkembang ke seluruh negeri. Jumlah lulusan yang melanjutkan ke sekolah-sekolah menengah dan berbagai universitas di pusat-pusat kota meningkat pesat. Sedikit bergeserlah arti guru bagi muridnya, menjadi kaum cerdik pandai. Arti itu mulai membuka kesadaran bahwa guru adalah sosok terdidik yang patut dihormati tetapi ia juga memiliki dunia sendiri yang mulai dapat dirambah oleh muridnya.
Murid mulai mengenal guru sebagai sosok yang galak dan semua perintahnya harus dipatuhi. Kepatuhan murid terhadap guru mulai mengembang sebagai bentuk rasa ”takut” yang acap kali nihil dari kesadaran menghormati dan menghargai. Lantas datanglah masa di mana kelas-kelas dijadikan alat melanggengkan ”bapak pembangunan”. Guru dituntut ”berseragam” baik dalam pikir, tindak, dan ucap, sampai me- milih partai politik dalam pemilihan umum.
Begitu pula yang terjadi pada murid, turut diseragamkan pula. Murid-murid yang masuk dengan latar belakang sosial, ekonomi, agama, dan kebudayaan yang berbeda dicetak menjadi sama sesuai versi ”bapak”. Seragam sekolah merupakan suatu kewajiban yang menghapus perbedaan-perbedaan para murid dan menjadikan mereka tampil dengan citra sebagai murid yang manut.
Lama-kelamaan, daya kritis murid-murid itu membeku dan suara mereka mulai menyerupai ”bebek” yang siap menyanyikan ”lagu” kesayangan ”bapak”. Inilah masa guru diartikan sebagai mesin transfer doktrin dari ”bapak pembangunan”.
Kini, tibalah masa di mana reformasi bergulir dan ruang bagi guru untuk mengartikulasikan dirinya sendiri dibuka dengan lebar. Hanya persoalannya apakah ruang-peluang tersebut telah dimanfaatkan untuk mencapai tujuan pendidikan, memanusiakan manusia. Itulah tantangan dan pertanyaan yang segera harus dijawab oleh guru zaman.
Guru zaman
Mohammad Natsir adalah sosok guru yang kemurnian sosoknya tak lekang oleh zaman. Hidupnya dipenuhi idealisme memajukan bangsanya melalui dunia pendidikan meskipun ia bukanlah lulusan ”sekolah” kependidikan.
Setelah tamat Algemene Middelbare School (AMS), ia mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung. Ia juga giat mendanai, mengajar, dan membuka lapangan kerja bagi guru. Tidak segan ia menggadaikan perhiasan istrinya untuk memperpan- jang kontrak tempat ”sekolah” itu. Ia juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool.
Semangat memberi tanpa mengharap itu hidup dan menghidupi dirinya untuk berjuang mencerdaskan bangsanya. Aura Natsir kini hidup kembali. Lahir dalam rupa Gerakan Indonesia Mengajar yang diketuai Anies Baswedan (Tempo, 21/11). Hanya sebanyak 51 peserta yang dipilih dari 1.383 pemuda dan pemudi yang melamar.
Para pengajar muda ini lulusan strata satu dengan prestasi akademik dan non- akademik skala nasional dan internasional. Mereka rela meninggalkan segala profesi yang menggiurkan dan memilih mendidik murid-murid di daerah yang belum dijamah oleh program kemakmuran pendidikan. Hanya saja, Indonesia tidak cukup dengan 51 ”generasi penerus Natsir” itu.
Bagaimana dengan sekian jumlah penyandang status guru yang tersebar di sekian sekolah kini? Sudahkah semangat Natsir hidup dan menghidupi perjuangan mereka dalam mendidik? Sebab kenyataannya bangsa ini membutuhkan guru zaman yang tidak sedikit jumlahnya untuk mengatasi problem pendidikan yang juga tidak sedikit.
Guru yang hasil perjuangannya tak lekang oleh zaman mampu mendidik murid-murid yang tidak tergilas zaman. Murid-murid itu akan mampu memartabatkan diri dan bangsanya. Tentu penuh kesadaran untuk memartabatkan gurunya. Dengan demikian, persoalan penderitaan-perjuangan guru akan digantikan dengan peruntungan-penghargaan sesuai ”arti” guru yang sesungguhnya. Tabik!
Sumber : KOMPAS.com, Kamis, 25 November 2010
Tidak ada komentar :
Posting Komentar