Fajar Rillah Vesky – Padang Ekspres
Jika tidak ada aral melintang, Kamis (25/11/2010) ini, ribuan guru di Kabupaten Limapuluh Kota bakal berhenti mengajar siswa-siswanya. Ini dilakukan semata-mata untuk memperingati Hari Guru di gedung olahraga Singa Harau dan aula Al-Kautsar Tanjungpati. Lantas, setelah memperingati hari istimewa tersebut, mau apa kaum Oemar Bakrie?
Pertanyaan itu mungkin sepele, tapi menurut aktifis Komunitas Suara Hati Guru Limapuluh Kota Hafnizal dan Zuhardi sangat penting untuk dicari jawabnya. “Mau apa kawan-kawan guru setelah peringatan hari guru? Apakah sekedar terlibat ceremoni atau ada misi lain yang harus kita lakukan?” kata mereka ketika datang ke kantor perwakilan Padang Ekspres Payakumbuh, Rabu (25/11/2010) sore.
Menurut Hafnizal, kondisi guru di Kabupaten Limapuluh Kota saat ini sedikit memprihatinkan. Guru yang dulunya berwiba, ditiru dan disegani, kini banyak yang tidak bisa diharapkan lagi. Bahkan tidak sedikit guru yang terseret dengan kepentingan politik praktis. “Kondisi ini sangat kadang membuat kita sedih,” ucapnya pula.
Selain mengalami stagnasi dan kemunduran kualiatas. Kaum guru menurut Hafnizal juga masih sering “dipaksa” terseret untuk kepentingan yang macam-macam. Akibatnya guru tidak lagi mandiri, berdikari dan berkarakter kuat. Malahan banyak guru yang takut untuk menyampaikan hak-haknya.
Contoh teranyar, sebut Hafnizal, untuk pemilihan pengurus PGRI saja, posisi top pimpinan bukanlah dipercaya kepada guru aktif. Melainkan dijabat oleh mereka yang mungkin sudah diberi kepercayaan sebagai pejabat fungsional ataupun struktur. “Para guru sebenarnya banyak yang ingin mempertanyakan hal ini. Tapi itu tadi, karena sudah hilang kemandiran dan karakter, mereka menjadi pengecut,” ucapnya pula.
Makanya, pada masa mendatang, Hafnizal menyerukan pentingnya menyalakan api demokrasi pendidikan di Limapuluh Kota. “Momen hari guru tahun 2010, meski dijadikan sebagai loncatan untuk membangun demokrasi pendidikan,” kata Hafnizal pula.
Hafnizal sendiri, disebut-disebut pernah terseret politik praktis. Dialah guru yang menandatangi kontrak politik dengan Alis Marajo Dt Sori Marajo, beberapa saat menjelang pilkada Limapuluh Kota, sehingga disebut sebagai tim sukses. Tapi Hafnizal menolak disebut begitu. “Ah, saya hanya ingin guru dihargai. Saya buat kontrak politik untuk kepentingan guru. Pak Alis mau menandatangani dan datang ke rumah saya. Itu kan tidak masalah,” ucapnya pula.
Sekolah Bukan Penjara
Masih terkait dengan peringatan hari guru yang jatuh pada hari ini, Ketua Dewan Pendidikan Limapuluh Kota Syaiful Rahman yang diminta komentarnya, memberi sebuah ilustrasi nyata. Menurutnya, beberapa waktu lalu ada sebuah surat kabar terbitan Jakarta mengangkat kisah Menkominfo Syofyan Djalil, dalam menyekolahkan putrinya. Ternyata, buah hati sang Menteri lebih memilih program pendidikan kesetaraan (paket C), ketimbang duduk di bangku SMA. Alasannya sederhana saja:sekolah itu seperti penjara..
“Bagi masyarakat pendidikan yang belum terbiasa berlapang dada. Penuturan Menkominfo ini bisa jadi dianggap pukulan telak, setidaknya kritik pedas. Namun, bila kita berjujur dengan kata, pengakuan itu ada benarnya juga. Nah, paradigma inilah yang harus dirubah. Sekolah bukanlah penjara, melainkan tempat membuat senang peserta didik,” kata Bang Syaiful, panggilan akrabnya.
Selain harus merubah paradigma sekolah bukanlah penjara. Menurut Syaiful Rahman, hari pendidikan nasional juga meski disemangati untuk mewujudkan konsep pedagogi pendidikan sesungguhnya adalah memanusiakan manusia. Dalam konsep ini, bukan hanya siswa yang harus dimanusiakan. Para guru juga harus dimanusiakan. Hak-haka mereka jangan lagi ditindas
Tidak ada komentar :
Posting Komentar