Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Catatan Kepala: ”Pemimpin yang baik itu bukan yang selalu tersenyum pada bawahan, tetapi mereka yang mampu bersikap tegas setiap kali diperlukan.”
Survey tentang kepuasan terhadap kepemimpinan seakan sudah menjadi sebuah hal wajib diperusahaan-perusahaan tertentu. Ini kabar baik. Menunjukkan jika perusahaan sangat peduli atas kualitas kepemimpinan yang diterapkan. Apakah sifat ramah, murah senyum, ngemong, dan sering ngobrol dengan Anda termasuk kedalam daftar kriteria atasan yang Anda sukai? Jika ya, berhati-hatilah. Boleh jadi, Anda menginginkan figure seorang pemimpin yang tidak benar-benar efektif. Ada cukup banyak bukti bahwa kita sering lebih menyukai pemimpin yang ‘baik’ daripada yang ‘produktif’. Seorang pemimpin yang ‘baik’ itu disukai sekali oleh para bawahannya. Mereka ‘tentram’ berada dalam ‘gendongan’ kepemimpinannya. Sebaliknya, pemimpin yang menuntut mereka untuk lebih produktif justru ‘disebelin’ bawahannya. Padahal, bersama pemimpin yang ‘baik’ itu kita sering hanya mendapatkan ‘kenyamanan’. Sedangkan bersama pemimpin ‘produktif’ kita menghasilkan ‘pencapaian’. Persepsi bawahan itu diperkuat oleh survey kepemimpinan yang sering tidak mampu memotret aspek-aspek esensialnya.
Saya menyarankan Anda menonton film NCIS sebagai salah satu sarana meningkatkan pemahaman terhadap kualitas kepemimpinan. Mengapa? Didalamnya sarat dengan pelajaran tentang kepemimpinan. Jika Anda seorang pemimpin, maka Anda bisa menyimak bagaimana Leroy Jethro Gibbs memimpin unit kerjanya secara efektif. Meski sosoknya kemungkinan besar akan jauh dari kriteria pemimpin ideal gaya survey-surveyan, namun justru kita bisa menemukan banyak prinsip kepemimpinan esensial yang berhasil diimplementasikannya. Jika Anda belum menjadi pemimpin, maka Anda bisa belajar pada Dinozzo, Abby, Tony, Ducky, dan Ziva bagaimana menjadi anggota team yang benar-benar kontributif sekaligus mitra yang koperatif. Anda tidak perlu berubah menjadi orang lain untuk menjadi pemimpin yang efektif. Begitu pula untuk menjadi bawahan yang bisa diandalkan. Anda yang tertarik menemani saya belajar menjadi pemimpin yang efektif dan bawahan yang kontributif, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:
1. Kualitas kepemimpinan terletak pada pencapaian team. Di lingkungan kita ada persepsi yang menyatakan bahwa atasan yang baik itu adalah atasan yang disenangi oleh bawahannya. Orang lebih suka pada atasan yang ramah, lemah lembut, tidak terlalu menuntut, dan sering mentraktir makan-makan. Bukan hanya anak buah lho, yang berprinsip ABS – Asal Bapak Senang. Atasan pun banyak yang ABS. Asal Bawahan Senang. Apalagi jika sang atasan tahu di akhir tahun akan ada ‘survey kepemimpinan’. Dalam pengamatan saya, banyak pemimpin ‘bagus’ yang justru jeblok dalam hasil survey. Sebaliknya, banyak pemimpin yang sekedar ‘populer’ justru cemerlang hasil surveynya. Jika Anda mengenal perjalanan karir kepemimpinan Steve Jobbs, Anda tentu paham apa yang saya maksud. Gibbs? Bukanlah pemimpin yang mudah tersenyum. Jauh dari ramah tamah. Dan kalau sudah meminta sesuatu untuk dikerjakan dia menuntut hasilnya ‘now!’ Tetapi, mengapa semua anak buahnya sedemikian respek dan loyal? Karena Gibbs berfokus kepada pencapaian team, bukan kepada ramah tamah untuk sekedar menyenangkan perasaan seseorang. Gibbs, menempatkan pencapaian team sebagai patokan kinerja kelompoknya. Setiap anggota kelompok harus berfokus kepada patokan yang sama. Maka tak seorang pun patut mendahulukan hasrat ‘dimanja’ dalam dirinya. Bekerja bukan untuk dimanja, melainkan membuat pencapaian yang cukup berharga. Jadi, lupakan untuk dimanjakan atasan. Dan lupakan untuk memanjakan bawahan. Tunaikan upaya-upaya untuk membuat pencapaian team.
2. Selalu ada untuk mereka. Salah satu prinsip kepemimpinan klasik yang masih up to date sampai saat ini adalah; “Do your part, I do mine!” Pemimpin dan orang-orang yang dipimpin sama-sama menyelesaikan bagian dari pekerjaannya masing-masing. Sebagian besar ‘bagian’ bawahan berupa tindakan kasat mata. Misalnya, mengetik, membuat, mengemas, atau menjual. Sedangkan ‘bagian’ atasan sering berupa tindakan abstrak. Misalnya, mendorong, memotivasi, memikirkan, dan memompa energy positif secara emosional. Namun ada sebuah pertanyaan yang sering tidak sempat diucapkan; “Where are you when I need you?” Menurut pendapat Anda, apakah kalimat itu diucapkan seorang atasan kepada bawahan? Tidak. Itu adalah kalimat yang lazim ditujukan oleh bawahan kepada atasannya. Bibalik tuntutan yang tinggi pada bawahannya, Gibbs selalu ada untuk mereka. Kapan saja mereka butuh dia. Ternyata ‘selalu ada’ itu besar sekali pengaruhnya bagi moral dan mental anak buah kita lho. Ada, ketika mereka membutuhkannya. Untuk saran ditengah kebingungan. Untuk jalan keluar diujung kebuntuan. Untuk pembelaan dihadapan penghakiman pihak lain. Ada tidak selalu harus berupa fisiknya terlihat. Melainkan selalu ada, dapat dihubungi, membuka pintu ruangan lebar-lebar; ketika bawahan membutuhkan kita. Sebaliknya, bawahan harus selalu ada untuk mensupport atasannya. Jadi, ada bukan untuk diri sendiri. Tetapi untuk mereka.
3. Mengelola perbedaan karakter bawahan. Setiap atasan menginginkan kerukunan didalam teamnya. Makin besar perbedaan karakter bawahan, makin besar peluang terjadinya pergesekan. Maka tak heran jika banyak pemimpin yang cenderung mencari orang-orang dengan karkater yang ‘sesuai’. Dengan kesesuaian karakter itu suasana team menjadi adem ayem. Tapi kebanyakan atasan tidak bisa memilih bawahan, karena teamnya memang sudah ada. Walhasil, ‘menerima perbedaan karakter’ menjadi kata kunci dalam teori-teori kepemimpinan. Gibbs paham jika orang-orang dengan karakter yang sama itu justru merupakan titik lemah terbesar sebuah team. Dia justru sangat menyukai teamnya dibangun dari orang-orang yang ‘berbeda’ satu sama lain. Sekarang Gibbs sudah bukan sekedar menerima perbedaan karakter anggota kelompoknya; dia mengelolanya. Jika Anda ‘menerima’ perbedaan karakter bawahan, maka apapun adanya mereka Anda terima dengan lapang dada, dan Anda bisa meminta setiap orang untuk saling memahami satu sama lain, iya kan? Leroy Jethro Gibbs tahu jika bawahan tidak selalu bisa bersikap ‘sedewasa’ itu. Faktanya, mereka sering tidak akur, kan? Maka Gibbs menempatkan diri di titik pusat perbedaan karakter itu. Dan dia memainkan peran seperti seorang conductor yang menentukan siapa giliran ‘berbunyi’ dan siapa yang ‘diam’, serta kapan semuanya harus bergerak bersama-sama. Disaat banyak pemimpin mencari kesamaan atau menerima perbedaan karakter bawahan, maka Gibbs; mengelolanya.
4. Buat aturan dalam kelompok. Kata ‘rule’ alias ‘aturan’, sering sekali disebut dalam film itu. Menarik. Karena di setiap perusahaan sudah ada peraturan baik yang tertulis, maupun tidak. Kebanyakan peraturan itu sama persis dengan yang berlaku diperusahaan manapun. Jam masuk dan keluar kerja, misalnya. Namun, ada kalanya aturan itu hanya tinggal pemanis dokumen saja, tanpa ada realisasinya. Lama kelamaan setiap orang tidak lagi menghiraukan aturan itu. Pada saat seperti inilah peran seorang pemimpin diperlukan untuk membangun aturan di kelompoknya sendiri. Seperti apakah aturan yang harus dibuatnya? Haruskah sama atau berbeda dengan aturan perusahaan? Berapa banyak aturannya? Semua pertanyaan itu bisa dijawab dengan sederhana: cukup satu aturan saja. Begini bunyinya; “Setiap orang di kelompok kita wajib menjalankan peraturan perusahaan.” Sebagai pemimpin kita memang bertanggungjawab agar setiap orang dalam team kita patuh kepada aturan yang berlaku. Dan itu berarti 3 hal; Pertama, kita memahami aturan itu. Kedua, kita sendiri mematuhi aturan itu. Ketiga, kita mengontrol bagaimana aturan itu bisa dijalankan oleh orang-orang yang menjadi tanggungjawab kita. Gibbs telah memainkan ketiga peran itu. Dan usahanya itu menghasilkan sebuah team yang sangat berdisiplin. Jika team Anda bisa begitu, maka itu akan mudah sekali terlihat ditengah ketidakperdulian orang terhadap peraturan perusahaan yang sudah sejak lama diabaikan.
5. Memahami system dan proses kerja. Tidak segala hal berjalan seperti yang seharusnya. Ada saja peristiwa tidak terduga yang bisa terjadi, bukan? Dalam konteks pekerjaan, pemimpinlah yang paling diharapkan mampu memberi solusi kepada semua anggota team. Namun, jalan keluar ‘dengan cara lain’ itu hanya akan bisa ditemukan oleh seseorang yang benar-benar memahami system dan proses kerja secara menyeluruh. Pemahaman terhadap system dan proses kerja memungkinkan dirinya untuk berinovasi atau berimprovisasi tanpa harus melenceng dari aturan main dan standarnya. Listrik padam ketika Gibbs menangani kasus pembobolan server penyimpan data-data rahasia. Jika terlambat memecahkan kasus itu, maka data akan disalahgunakan untuk melakukan teror, atau memindahkan uang dari rekening jutaan nasabah secara ilegal. Tanpa listrik, semua hal yang sudah terdigitalisasi menjadi sangat sulit untuk dianalisa. Tidak ada cara lain selain melakukannya secara manual. Ketika anak buahnya menggerutu;”Bisa carikan dinosaurus untuk memberitahu kita cara kerja alat ini?” Gibbs tiba-tiba datang, lalu menggunakan alat kuno itu. Kemudian hasilnya dipamerkan dimuka para anak buahnya. Tak satu kata pun terlontar dari mulut sang pemimpin. Sejak saat itu, tidak ada yang menggerutu lagi. Banyak orang mengira kalau sudah menjadi ‘boss’ pekerjaannya lebih sedikit. Kerja fisik mungkin iya. Tetapi, itu tidak berlaku untuk urusan kerja otak dan mental. Sedangkan efektivitasnya sangat ditentukan oleh pemahaman yang menyeluruh terhadap system dan proses kerjanya.
Saya sudah cukup sering melihat hasil survey tentang kepuasan kualitas kepemimpinan. Baik yang dilakukan secara internal maupun melalui jasa konsultan. Bagaimanapun juga, survey adalah survey. Artinya, kita tidak bisa mengelak dari hasilnya. Namun, jika ditilik lebih dalam, survey sering tidak bisa mewakili kondisi real. Ada pula survey yang sekedar ‘mengkompilasikan’ pandangan-pandangan subyektif respondennya. Dan ketika pandangan subyektif itu dikompilasikan secara kolektif, tiba-tiba saja kita mengiranya sebagai sebuah hasil ‘pengukuran obyektif’. Di era sains seperti saat ini, hasil study tentu sangat penting. Tapi tentu kita perlu ingat bahwa tidak semua penelitian dilakukan dengan cara, oleh talenta, dan diolah secara tepat. Khusus dalam konteks kepemimpinan, sebaiknya kita tidak terpaku pada survey popular. Melainkan melihat secara aktual apa yang bisa dihasilkan oleh pemimpin itu bersama teamnya. Istilah gaulnya; “yang jelas-jelas ajalah, pren!” Kenapa mesti begitu? Karena sebagian besar survey kepemimpinan mengacu kepada ‘teori kepemimpinan’. Sedangkan dalam prakteknya, kepemimpinan itu sama sekali berbeda dengan textbook. So, jika Anda pemimpin; fokuslah pada apa yang bisa Anda lakukan bagi organisasi dan orang-orang yang Anda pimpin. Dan jika Anda belum jadi pemimpin, fokuslah pada tujuan kelompok; bukan pada cara pemimpin Anda beramah tamah dengan Anda. Karena efektivitas kepemimpinan, terlihat jelas pada hasilnya. Sedangkan caranya? Ada banyak zalan menuzu ke roma.
Mari Berbagi Semangat!
Trainer Bidang Leadership & Personnel Development
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” (Tahap editing di penerbit)
Posted by
10:26 AM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar