Oleh : Agus Martho
Membongkar Strategi SBY Menghancurkan Ahok, Mengalahkan Anies & Menjatuhkan Jokowi Ilustrasi Isu tentang penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Ahok mulai memasuki babak baru. Rakyat harap-harap cemas, bagaimana status Ahok dalam pusaran kasus yang menghebohkan bangsa ini. Selain itu, pasca demo besar-besaran, 4 November kemarin, isu yang berkembang menjadi semakin liar. Hal yang awalnya hanya remang dan dugaan, kini muncul ke permukaan menjadi terang, terutama isu tentang tunggang-menunggangi dan adanya upaya berbau makar. Nuansa politisnya semakin kentara. Pernyataan Jokowi seakan menjadi legitimasi kebenaran isu tersebut, terutama ketika secara tegas Jokowi mengindikasikan adanya aktor-aktor politik yang mencoba memancing di air keruh. Ada nama-nama yang dikantongi intelijen sebagai pengalir dan penerima aliran dana mobilisasi di lapangan. Untuk meredam gejolak di tingkat bawah yang seakan memaksanya untuk mengetuk palu hukum, Jokowi “turun gunung”, menemui tokoh bangsa dan para ulama’.
Sebelumnya, pasca memberikan keterangan terbukanya, SBY menjadi “titik perhatian” publik. Hampir semua analisa politik mendudukannya sebagai pusat episentrum. SBY menjawab secara terbuka isu liar yang berkembang. Dengan gaya bicara khasnya yang selalu memosisikan diri sebagai korban, SBY merasa sedih dan terganggu dengan banyaknya asumsi dan fitnahan yang menuduhnya “mendalangi” aksi demo bela agama. Tegas ia katakan, Ahok harus segera diproses. Jika tidak, sampai lebaran kuda pun tidak akan selesai. SBY panas membara. Ungkapan “Sampai Lebaran kuda” pun menjadi viral. Pernyataan ini, terasa agak aneh. Pertama, SBY terlalu over dan lebay. Sama sekali tak menampakkan ketenangan seorang yang kenyang pengalaman. Kedua, pernyataannya cenderung provokatif, tidak mendinginkan suasana sebagaimana diharapkan banyak kalangan. Ketiga, kalimatnya tidak tampak sebagai klarifikasi, tapi mengesankan ada tendensi tertentu, terutama menyangkut Pilkada DKI. Sehingga wajar, ketika sebagian orang sama sekali tak bergeming dengan klarifikasinya; SBY tetap menjadi trend-setter sebagai salah satu dari aktor-aktor politik yang disinggung oleh Jokowi kemudian.
Kalau dugaan tersebut ternyata benar, tentu ini erat kaitannya dengan Pilkada DKI Jakarta. Ini adalah bagian dari taktik SBY untuk memenangkan calon yang diusungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ini bukan hanya soal hubungan ayah-anak, tapi soal memberikan keyakinan kepada AHY bahwa ia masih berada di jalur kemanangan. Pengorbanannya berhenti dari TNI, harus dibayar mahal: kemenangan. Namun pada sisi lain, SBY sadar dengan “Kuda”nya. “Kuda” yang sangat disayangi, sebagai penerus garis politiknya. Ia tahu betul “kuda” taruhannya bukanlah “kuda perkasa”, tak terlalu kenal medan. Tentu tidak sebanding jika disejajarkan dengan dua “kuda” lainnya yang lebih garang dan menantang. Maka, untuk membuat “kuda”nya menjadi pemenang, ia tidak bisa head to head secara langsung. Ia harus membuat dua “kuda” lainnya melemah dan bermasalah.
Gayung bersambut. Momentumnya ia dapatkan ketika Ahok, “kuda” yang paling ditakuti, tergelincir dengan kalimat yang sensitif, yang kemudian diolah sedemikian rupa menjadi isu penistaan agama. Sebagai mantan presiden, yang lekat dengan beberapa tokoh agama, mudah bagi SBY menggerakkannya. Ingat, SBY pernah merasakan manisnya memainkan isu keyakinan agama ketika memenangkan pemilihan Presiden melawan Megawati (yang perempuan, tidak pakai kerudung, tidak bisa menjadi pemimpin secara agama, dll) dua kali berturut-turut. SBY sangat berpengalaman memainkan isu-isu sensitif seperti itu.
Isu pun bergulir, sukses luar biasa. Melahirkan demo terbesar sepanjang sejarah bangsa ini, hanya untuk menghancurkan seorang Ahok. Demo yang awalnya menuntut proses hukum, berubah menjadi tuntutan agar Ahok ditangkap dan ditersangkakan. Seakan memaksa Jokowi untuk turun gunung menjadi hakim. Meskipun secara hukum status tersangka tidak secara otomatis menggugurkan Ahok dalam kontestasi Pilkada, tapi dengan sekali mengatakan ”untuk apa pilih Ahok yang tersangka?” Urusan selesai. Lebih mudah menjatuhnya.
Kalau Ahok sudah dihancurkan, berarti tinggal “kuda tangguh” lainnya yang harus ditiarapkan. Anies, yang modal sosial dan politiknya jauh di atas AHY menjadi ancaman selanjutnya. Beredar dugaan, Anies akan dibuat senasib dengan Ahok. Buni Yani, pengunggah video yang dipersepsikan dekat dengan Anies (dikatakan sebagai pendukung fanatiknya), menjadi giliran bola selanjutnya untuk dimainkan. Nanti isunya pun kembali dibikin liar, yang seolah-olah publik membaca, ada peran pihak Anies cs. dalam upaya penyebaran video tersebut, atau menegasikan Anies sebagai sosok pengadu domba, dan mempersonifikasikan Anies dalam sosok Buni Yani yang suka memfitnah. Jelas ini merupakan keuntungan karena AHY akan semakin leading. Dengan taktiknya, SBY meniscayakan tumbangnya yang lain, sehingga “kuda” yang diusungnya menjadi satu-satunya finalis yang akan menang.
Posisi Presiden Jokowi yang Dilematis
Demo ini membuat posisi Jokowi delematis. Kalau Ahok dibebaskan, rakyat akan bergerak dalam skala yang jauh lebih besar. Jumlah kuantitas yang menakutkan diharapkan mengerdilkan mental Jokowi sebagai pimpinan. Namun, ketika Ahok kemudian menjadi tersangka, itu artinya Jokowi telah ikut gendang permainan SBY. Ingat, persepsi publik tentang demo rusuh, tanggal 4 November kemarin, lekat hubungannya dengan ultimatum yang disampaikan SBY. Kasus yang menimpa Ahok sebagai batu loncatan untuk mendapatkan target selanjutnya, Jokowi. Taktik busuk dan politik adu domba ala SBY menemukan tempatnya ketika ada selentingan yang menyebutkan, bahwa AHY akan dipersiapkan untuk bertarung melawan Jokowi pada Pilpres 2019 nanti. Melihat realitasnya, ini sepertinya bukan isapan jempol. AHY adalah representasi SBY, terutama ketika jargon “I want SBY back!” mulai mencuat ke permukaan.
Jokowi sepertinya mulai “agak risih” dengan pat-gulipat yang dimainkan oleh pendahulunya itu. Sebagai Presiden, tentu ia banyak mendapatkan informasi “kelas satu” yang membahayakan bagi pihak-pihak tertentu. Pernyataannya yang datar, tapi mengesankan kemarahan yang dalam. Ia menginstruksikan agar proses terhadap kasus Ahok dibuka transparan. Sehingga dengan itu, rakyat bisa menilai dan memutuskan. Pada saat yang bersamaan, Jokowi akan memutus dana yang akan mendalangi aksi lanjutan jika benar terjadi. Ia mulai menyentil pembangunan proyek-proyek yang mangkrak pada masa SBY masih menjadi Presiden. Suatu kali, Jokowi mengunjungi Hambalang, dan hanya dengan geleng-geleng kepala, banyak orang paham apa yang Presiden itu maksudkan.
Presiden Jokowi tidak mau pakai cara-cara murahan, ia lebih senang menggunakan BIN, KPK, PPATK, BPK, dan jalur-jalur konstitusional lainnya. Artinya, politik “prihatin” dan taktik adu domba yang busuk ala SBY akan menemukan lawan yang setimpal ketika bertemu dengan Jokowi, yang lebih suka menghukum lawan-lawannya perlahan-lahan.
Pada akhirnya strategi SBY terbongkar, publik akhirnya membaca bagaimana politik adu domba yang dimainkannya begitu hebat; bahwa ternyata tidak hanya untuk menghancurkan Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta terkuat, tapi juga untuk mengalahkan Anies, dan rupanya berbau hasrat untuk menjatuhkan Jokowi. Sekali mendayung, dua-tiga kepentingan terlampaui. Dua periode menjadi Presiden, ternyata membuat SBY jauh melebihi kemampuan Megawati (yang tak pernah menang head to head melawannya). Ini tidak bisa hanya dipandang sebagai taktik untuk Pilkada DKI Jakarta semata, tapi jauh lebih dari itu, ada kepentingan untuk kembali menguasai negeri ini.
sumber:kompasiana.com/agusanakmas
Membongkar Strategi SBY Menghancurkan Ahok, Mengalahkan Anies & Menjatuhkan Jokowi Ilustrasi Isu tentang penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Ahok mulai memasuki babak baru. Rakyat harap-harap cemas, bagaimana status Ahok dalam pusaran kasus yang menghebohkan bangsa ini. Selain itu, pasca demo besar-besaran, 4 November kemarin, isu yang berkembang menjadi semakin liar. Hal yang awalnya hanya remang dan dugaan, kini muncul ke permukaan menjadi terang, terutama isu tentang tunggang-menunggangi dan adanya upaya berbau makar. Nuansa politisnya semakin kentara. Pernyataan Jokowi seakan menjadi legitimasi kebenaran isu tersebut, terutama ketika secara tegas Jokowi mengindikasikan adanya aktor-aktor politik yang mencoba memancing di air keruh. Ada nama-nama yang dikantongi intelijen sebagai pengalir dan penerima aliran dana mobilisasi di lapangan. Untuk meredam gejolak di tingkat bawah yang seakan memaksanya untuk mengetuk palu hukum, Jokowi “turun gunung”, menemui tokoh bangsa dan para ulama’.
Sebelumnya, pasca memberikan keterangan terbukanya, SBY menjadi “titik perhatian” publik. Hampir semua analisa politik mendudukannya sebagai pusat episentrum. SBY menjawab secara terbuka isu liar yang berkembang. Dengan gaya bicara khasnya yang selalu memosisikan diri sebagai korban, SBY merasa sedih dan terganggu dengan banyaknya asumsi dan fitnahan yang menuduhnya “mendalangi” aksi demo bela agama. Tegas ia katakan, Ahok harus segera diproses. Jika tidak, sampai lebaran kuda pun tidak akan selesai. SBY panas membara. Ungkapan “Sampai Lebaran kuda” pun menjadi viral. Pernyataan ini, terasa agak aneh. Pertama, SBY terlalu over dan lebay. Sama sekali tak menampakkan ketenangan seorang yang kenyang pengalaman. Kedua, pernyataannya cenderung provokatif, tidak mendinginkan suasana sebagaimana diharapkan banyak kalangan. Ketiga, kalimatnya tidak tampak sebagai klarifikasi, tapi mengesankan ada tendensi tertentu, terutama menyangkut Pilkada DKI. Sehingga wajar, ketika sebagian orang sama sekali tak bergeming dengan klarifikasinya; SBY tetap menjadi trend-setter sebagai salah satu dari aktor-aktor politik yang disinggung oleh Jokowi kemudian.
Kalau dugaan tersebut ternyata benar, tentu ini erat kaitannya dengan Pilkada DKI Jakarta. Ini adalah bagian dari taktik SBY untuk memenangkan calon yang diusungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ini bukan hanya soal hubungan ayah-anak, tapi soal memberikan keyakinan kepada AHY bahwa ia masih berada di jalur kemanangan. Pengorbanannya berhenti dari TNI, harus dibayar mahal: kemenangan. Namun pada sisi lain, SBY sadar dengan “Kuda”nya. “Kuda” yang sangat disayangi, sebagai penerus garis politiknya. Ia tahu betul “kuda” taruhannya bukanlah “kuda perkasa”, tak terlalu kenal medan. Tentu tidak sebanding jika disejajarkan dengan dua “kuda” lainnya yang lebih garang dan menantang. Maka, untuk membuat “kuda”nya menjadi pemenang, ia tidak bisa head to head secara langsung. Ia harus membuat dua “kuda” lainnya melemah dan bermasalah.
Gayung bersambut. Momentumnya ia dapatkan ketika Ahok, “kuda” yang paling ditakuti, tergelincir dengan kalimat yang sensitif, yang kemudian diolah sedemikian rupa menjadi isu penistaan agama. Sebagai mantan presiden, yang lekat dengan beberapa tokoh agama, mudah bagi SBY menggerakkannya. Ingat, SBY pernah merasakan manisnya memainkan isu keyakinan agama ketika memenangkan pemilihan Presiden melawan Megawati (yang perempuan, tidak pakai kerudung, tidak bisa menjadi pemimpin secara agama, dll) dua kali berturut-turut. SBY sangat berpengalaman memainkan isu-isu sensitif seperti itu.
Isu pun bergulir, sukses luar biasa. Melahirkan demo terbesar sepanjang sejarah bangsa ini, hanya untuk menghancurkan seorang Ahok. Demo yang awalnya menuntut proses hukum, berubah menjadi tuntutan agar Ahok ditangkap dan ditersangkakan. Seakan memaksa Jokowi untuk turun gunung menjadi hakim. Meskipun secara hukum status tersangka tidak secara otomatis menggugurkan Ahok dalam kontestasi Pilkada, tapi dengan sekali mengatakan ”untuk apa pilih Ahok yang tersangka?” Urusan selesai. Lebih mudah menjatuhnya.
Kalau Ahok sudah dihancurkan, berarti tinggal “kuda tangguh” lainnya yang harus ditiarapkan. Anies, yang modal sosial dan politiknya jauh di atas AHY menjadi ancaman selanjutnya. Beredar dugaan, Anies akan dibuat senasib dengan Ahok. Buni Yani, pengunggah video yang dipersepsikan dekat dengan Anies (dikatakan sebagai pendukung fanatiknya), menjadi giliran bola selanjutnya untuk dimainkan. Nanti isunya pun kembali dibikin liar, yang seolah-olah publik membaca, ada peran pihak Anies cs. dalam upaya penyebaran video tersebut, atau menegasikan Anies sebagai sosok pengadu domba, dan mempersonifikasikan Anies dalam sosok Buni Yani yang suka memfitnah. Jelas ini merupakan keuntungan karena AHY akan semakin leading. Dengan taktiknya, SBY meniscayakan tumbangnya yang lain, sehingga “kuda” yang diusungnya menjadi satu-satunya finalis yang akan menang.
Posisi Presiden Jokowi yang Dilematis
Demo ini membuat posisi Jokowi delematis. Kalau Ahok dibebaskan, rakyat akan bergerak dalam skala yang jauh lebih besar. Jumlah kuantitas yang menakutkan diharapkan mengerdilkan mental Jokowi sebagai pimpinan. Namun, ketika Ahok kemudian menjadi tersangka, itu artinya Jokowi telah ikut gendang permainan SBY. Ingat, persepsi publik tentang demo rusuh, tanggal 4 November kemarin, lekat hubungannya dengan ultimatum yang disampaikan SBY. Kasus yang menimpa Ahok sebagai batu loncatan untuk mendapatkan target selanjutnya, Jokowi. Taktik busuk dan politik adu domba ala SBY menemukan tempatnya ketika ada selentingan yang menyebutkan, bahwa AHY akan dipersiapkan untuk bertarung melawan Jokowi pada Pilpres 2019 nanti. Melihat realitasnya, ini sepertinya bukan isapan jempol. AHY adalah representasi SBY, terutama ketika jargon “I want SBY back!” mulai mencuat ke permukaan.
Jokowi sepertinya mulai “agak risih” dengan pat-gulipat yang dimainkan oleh pendahulunya itu. Sebagai Presiden, tentu ia banyak mendapatkan informasi “kelas satu” yang membahayakan bagi pihak-pihak tertentu. Pernyataannya yang datar, tapi mengesankan kemarahan yang dalam. Ia menginstruksikan agar proses terhadap kasus Ahok dibuka transparan. Sehingga dengan itu, rakyat bisa menilai dan memutuskan. Pada saat yang bersamaan, Jokowi akan memutus dana yang akan mendalangi aksi lanjutan jika benar terjadi. Ia mulai menyentil pembangunan proyek-proyek yang mangkrak pada masa SBY masih menjadi Presiden. Suatu kali, Jokowi mengunjungi Hambalang, dan hanya dengan geleng-geleng kepala, banyak orang paham apa yang Presiden itu maksudkan.
Presiden Jokowi tidak mau pakai cara-cara murahan, ia lebih senang menggunakan BIN, KPK, PPATK, BPK, dan jalur-jalur konstitusional lainnya. Artinya, politik “prihatin” dan taktik adu domba yang busuk ala SBY akan menemukan lawan yang setimpal ketika bertemu dengan Jokowi, yang lebih suka menghukum lawan-lawannya perlahan-lahan.
Pada akhirnya strategi SBY terbongkar, publik akhirnya membaca bagaimana politik adu domba yang dimainkannya begitu hebat; bahwa ternyata tidak hanya untuk menghancurkan Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta terkuat, tapi juga untuk mengalahkan Anies, dan rupanya berbau hasrat untuk menjatuhkan Jokowi. Sekali mendayung, dua-tiga kepentingan terlampaui. Dua periode menjadi Presiden, ternyata membuat SBY jauh melebihi kemampuan Megawati (yang tak pernah menang head to head melawannya). Ini tidak bisa hanya dipandang sebagai taktik untuk Pilkada DKI Jakarta semata, tapi jauh lebih dari itu, ada kepentingan untuk kembali menguasai negeri ini.
sumber:kompasiana.com/agusanakmas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar