#BahagiaItuSederhana. Pernah lihat tagar ini? Atau mungkin malah sering menggunakannya?
Biasanya tagar ini sering saya / kita temui di posting-posting media sosial yang kini jumlahnya bejibun dan hampir digunakan seluruh umat manusia (termasuk saya). Dan semakin ke sini, saya melihat bahwa tren penggunaan media sosial lebih pada upload foto dibandingkan hal lain. Jangan hitung tren men-share link berita abal-abal tentang politik dan SARA yang kini sedang happening, karena saya yakin tren ini tidak akan berlangsung lama.
Jadi, kembali lagi ke tren upload foto. Biasanya apa sih tema foto yang paling sering di-post? Mudah ditebak. Makanan enak (yap! makanannya tok), tempat-tempat yang dikunjungi saat travelling, kolase wajah sendiri alias selfie dengan gaya yang mirip-mirip, pose yoga, momen-momen pas arisan / temu kangen dengan pose senyum semanis gula. Dan caption-caption yang menyertai foto itu tak jarang saya lihat adalah #BahagiaItuSederhana.
Entah mengapa tiba-tiba saya berpikir, sebenarnya apa arti dari "Bahagia Itu Sederhana" sendiri? Apakah benar-benar sederhana jika foto yang dipamerkan adalah foto di depan ketujuh objek keajaiban dunia dengan gaya dan segala atribut yang cetar membahana (baca: barang-barang branded)? Apakah benar-benar sederhana jika foto yang di-upload itu adalah makanan dengan porsi kecil tapi dekorasi maksimal seharga ratusan ribu rupiah? Apakah benar-benar sederhana jika foto yang di-posting adalah pose yoga dengan latar pantai / kolam renang dari sebuah hotel berbintang? Dan apakah benar-benar sederhana jika foto yang ditampilkan adalah foto temu kangen sekelompok orang di sebuah restoran mewah berbintang Michelin?
Bahagia itu sederhana yang mereka maksud agaknya lebih pada hal-hal atau aktivitas yang 'WAH' tapi kemudian seakan dibuat merendah dengan tambahan kata-kata bijak dan embel-embel Bahagia-Itu-Sederhana. Namun pada akhirnya tujuannya adalah mendapat pengakuan orang lain atas eksistensi dirinya. Komentar-komentar seperti "Wow, asyik nih jalan-jalan terus", "Enak banget tuh makanannya", "Dimana tuh tempatnya?" dan puluhan like, tentunya sangat diharapkan setelah foto itu mejeng di media sosial.
Oke. Mungkin ada yang tidak setuju dan mengatakan bahwa bahagia itu relatif. Tergantung orang yang mengalaminya dan kemampuannya menikmati hidup dengan bahagia namun sederhana. Tapi saya hanya merasa kurang sreg ketika hal-hal seperti itu dipamerkan secara berlebihan tapi faktanya ada orang lain di luar sana yang bahkan kesulitan menikmati makan nasi dengan garam, pergi ke suatu tempat tapi bahkan tidak punya ongkos, dan bahkan tidak mempunyai tempat tinggal yang layak.
Saya bukannya mengharapkan mereka lebih memilih menghabiskan harta kekayaannya untuk membantu orang-orang miskin dan tidak mampu. Saya percaya tiap orang memiliki cara sendiri untuk mendapatkan 'Bahagia Itu Sederhana' nya sendiri. Memamerkan sesuatu yang kita alami atau miliki tentu ada batasnya. Tapi jangan sampai overdosis ditambah embel-embel 'kesederhanaan'. Hal-hal seperti itu justru akan membuat orang-orang yang melihatnya merasa jengah dan menganggap kita tidak lebih dari tukang pamer dan haus akan perhatian. Bijaklah dalam menggunakan media sosial. Ketika apa yang kita posting dapat menginspirasi orang lain untuk hidup lebih baik, tentu lebih keren daripada membuat orang lain merasa iri dan rendah diri.
"Everything you post on social media, impacts your personal brand. How do you want to be known?" - Lisa Horn.
Selengkapnya :kompasiana.com/irmina.gultom
Biasanya tagar ini sering saya / kita temui di posting-posting media sosial yang kini jumlahnya bejibun dan hampir digunakan seluruh umat manusia (termasuk saya). Dan semakin ke sini, saya melihat bahwa tren penggunaan media sosial lebih pada upload foto dibandingkan hal lain. Jangan hitung tren men-share link berita abal-abal tentang politik dan SARA yang kini sedang happening, karena saya yakin tren ini tidak akan berlangsung lama.
Jadi, kembali lagi ke tren upload foto. Biasanya apa sih tema foto yang paling sering di-post? Mudah ditebak. Makanan enak (yap! makanannya tok), tempat-tempat yang dikunjungi saat travelling, kolase wajah sendiri alias selfie dengan gaya yang mirip-mirip, pose yoga, momen-momen pas arisan / temu kangen dengan pose senyum semanis gula. Dan caption-caption yang menyertai foto itu tak jarang saya lihat adalah #BahagiaItuSederhana.
Entah mengapa tiba-tiba saya berpikir, sebenarnya apa arti dari "Bahagia Itu Sederhana" sendiri? Apakah benar-benar sederhana jika foto yang dipamerkan adalah foto di depan ketujuh objek keajaiban dunia dengan gaya dan segala atribut yang cetar membahana (baca: barang-barang branded)? Apakah benar-benar sederhana jika foto yang di-upload itu adalah makanan dengan porsi kecil tapi dekorasi maksimal seharga ratusan ribu rupiah? Apakah benar-benar sederhana jika foto yang di-posting adalah pose yoga dengan latar pantai / kolam renang dari sebuah hotel berbintang? Dan apakah benar-benar sederhana jika foto yang ditampilkan adalah foto temu kangen sekelompok orang di sebuah restoran mewah berbintang Michelin?
Bahagia itu sederhana yang mereka maksud agaknya lebih pada hal-hal atau aktivitas yang 'WAH' tapi kemudian seakan dibuat merendah dengan tambahan kata-kata bijak dan embel-embel Bahagia-Itu-Sederhana. Namun pada akhirnya tujuannya adalah mendapat pengakuan orang lain atas eksistensi dirinya. Komentar-komentar seperti "Wow, asyik nih jalan-jalan terus", "Enak banget tuh makanannya", "Dimana tuh tempatnya?" dan puluhan like, tentunya sangat diharapkan setelah foto itu mejeng di media sosial.
Oke. Mungkin ada yang tidak setuju dan mengatakan bahwa bahagia itu relatif. Tergantung orang yang mengalaminya dan kemampuannya menikmati hidup dengan bahagia namun sederhana. Tapi saya hanya merasa kurang sreg ketika hal-hal seperti itu dipamerkan secara berlebihan tapi faktanya ada orang lain di luar sana yang bahkan kesulitan menikmati makan nasi dengan garam, pergi ke suatu tempat tapi bahkan tidak punya ongkos, dan bahkan tidak mempunyai tempat tinggal yang layak.
Saya bukannya mengharapkan mereka lebih memilih menghabiskan harta kekayaannya untuk membantu orang-orang miskin dan tidak mampu. Saya percaya tiap orang memiliki cara sendiri untuk mendapatkan 'Bahagia Itu Sederhana' nya sendiri. Memamerkan sesuatu yang kita alami atau miliki tentu ada batasnya. Tapi jangan sampai overdosis ditambah embel-embel 'kesederhanaan'. Hal-hal seperti itu justru akan membuat orang-orang yang melihatnya merasa jengah dan menganggap kita tidak lebih dari tukang pamer dan haus akan perhatian. Bijaklah dalam menggunakan media sosial. Ketika apa yang kita posting dapat menginspirasi orang lain untuk hidup lebih baik, tentu lebih keren daripada membuat orang lain merasa iri dan rendah diri.
"Everything you post on social media, impacts your personal brand. How do you want to be known?" - Lisa Horn.
Selengkapnya :kompasiana.com/irmina.gultom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar