Oleh Denny Siregar
Sebenarnya mudah melihat konstelasi politik di Indonesia ini. Lihat ke
Suriah dan kita akan menemukan persamaan, model apa yang terjadi di
Suriah pada awal perang dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang.
Saya dulu pernah menganalisa bagaimana caranya "mereka" yang terlibat di Suriah masuk dan mencoba mengambil alih Indonesia. Pertama, kuasai ulamanya dan kuasai Ormas Islam terbesarnya.
Di Suriah, para "ulama" yang berada di Persatuan Ulama Suriah secara terang-terangan berseberangan dengan Bashar Assad, Presiden Suriah. Mereka membentuk opini dulu bahwa Bashar adalah seorang syiah dan syiah wajib diperangi. Para "ulama-ulama" itu menggunakan ayat-ayat dan hadis untuk melakukan justifikasi untuk memerangi Bashar.
"Ulama-ulama" lokal itu berafiliasi dengan Persatuan "Ulama" Internasional. Seruan jihad dari "ulama" lokal diperkuat dengan seruan jihad dari perkumpulan persatuan "ulama" Internasional atau International Islamic Coordination Council. Kenapa saya beri tanda kutip dipinggir kata ulama?.
Karena pada dasarnya ada pengklaiman gelar ulama hanya pada pihak yang bersama mereka. Dan ulama yang tidak bersama mereka, bukan lagi menjadi ulama, sehingga wajib diperangi.
Ini terjadi pada ulama besar dunia di Damaskus yang bermazhab sunni yaitu Syaikh Ramadhan Al Bouthi.
Syaikh Ramadhan Al Bouthi adalah ulama yang disegani dan menjadi ulama rujukan tingkat dunia. Beliau dimusuhi oleh kumpulan para "ulama" lokal Suriah itu karena posisinya yang membela pemerintah Suriah yang dipimpin Bashar Assad.
Syaikh Ramadhan Al bouthi yang secara terang-terangan berkata bahwa
Bashar Assad bukanlah Syiah seperti yang dipropagandakan. Bahkan untuk
mendukung pernyataan itu, beliau mengajak Bashar shalat bersama-sama
untuk memperlihatkan bahwa tuduhan itu sama sekali tidak benar.
Dan karena keteguhannya itulah pada bulan Maret 2013, ketika sedang menyampaikan kajian di sebuah masjid di Damaskus Suriah, seorang pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya tepat di hadapan beliau. Beliau dibungkam selama-lamanya bersama puluhan orang muridnya yang sedang ada disana.
Dan tahu apa yang terjadi pasca terbunuhnya beliau? Persatuan "ulama" lokal itu menimpakan tudingan bahwa Bashar Assad lah pelaku utamanya. Dan karena Syaikh Ramadhan Al Bouthi sudah mereka fatwa "kafir", maka tidak layak mendapat gelar syahid.
Melihat apa yang dilakukan Buya Syafii Maarif, saya jadi mengingat almarhum Syaikh Ramadhan Al Bouthi. Seperti pernah saya paparkan, bahwa ada kemungkinan besar kasus "penistaan agama" ini sejatinya pintu gerbang untuk menjatuhkan Jokowi. Karakter Jokowi akan dijatuhkan sebagai "pembela penista agama" dan posisinya akan dikuatkan sebagai "musuh Islam".
Dan bisa kita lihat dengan jelas ada pengelompokan dan klaim terhadap gelar "ulama" pada kelompok tertentu Ulama yang berseberangan dengan "ulama" mereka, secara otomatis mendapat cacian.
Buya Syafii Maarif yang ingin menjelaskan duduk perkara kasus penistaan
agama sebenarnya dengan kapasitasnya sebagai seorang ulama, disudutkan
sebagai "orang yang berpenyakitan". Pembunuhan karakter terhadap Buya
dibangun sehingga beliau dikategorikan sebagai seorang munafik dan juga
"musuh Islam".
Melihat karakter Buya Syafii Maarif, tidak jauh berbeda dengan karakter
Syaikh Ramadhan Al Bouthi. Beliau tidak akan mundur menyampaikan
pesannya meski ia dicaci dan dimaki dimana-mana. Perjalanan Indonesia
menuju Suriah memang terlihat masih panjang, tetapi jika melihat polanya
sudah mengarah kesana.
Yang saya khawatirkan adalah perpecahan di dalam tubuh TNI dan Polri
menyikapi masalah ini. Saya yakin ada sebagian anggota TNI dan Polri
yang terpengaruh bahwa mereka lebih mulya "membela Islam" daripada
membela negara. Dan mereka ini lebih mendengarkan "ulama" daripada
komandan.
Seperti di Suriah.
Seperti di Suriah.
Seruput dulu kopinya dan kita akan melihat caci maki yang sama dan tudingan "Syiah dan munafik" dalam komen-komen nantinya.
Sumber:dennysiregar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar