Buku merupakan fondasi yang kokoh bagi perkembangan mental dan spiritual seorang anak. Selain sebagai sumber pengetahuan, buku juga berfungsi sebagai salah satu sarana komunikasi. Semakin sering anak berkomunikasi dengan buku, semakin banyak pengertian dan pengetahuan yang didapatnya. Dan dengan berkomunikasi sangat penting bagi pengembangan kepribadian manusia. Di tengah keberhasilan pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, salah satu masalah yang masih terlihat adalah mengenai minat baca anak. Sering kita lihat bahwa kebanyakan anak menyentuh buku yang hanya berhubungan dengan mata pelajarannya di sekolah sehingga anak kurang terekpos kepada beragam jenis buku, dan pengalamannya membaca kurang berkembang. Minat baca masyarakat Indonesia masih terbilang sangat rendah. Menurut Direktur Utama “Pikiran Rakyat” Bandung (PRB), H. Syafik Umar, bahwa di Indonesia konsumsi satu surat kabar untuk empat puluh lima orang (1:45) sedangkan di negara tetangga seperti Srilangka sudah 1:38 dan Filipina 1:30. Padahal, idealnya satu surat kabar dibaca oleh sepuluh orang atau 1:10. Beberapa ahli ada yang menyatakan bahwa saat ini anak Indonesia baru sampai pada gemar mendengar atau melihat dan belum sampai pada taraf gemar membaca. Kedudukan buku yang semakin memprihatinkan dengan datangnya media elektronik yang semakin menjamur. Salah satunya internet. Media elektronik yang satu ini mempunyai andil yang tidak kecil dalam menghambat perkembangan media cetak, terutama buku. Meskipun demikian, buku tak bisa dengan mudah tergantikan.Menanam investasi pada anak melalui minat baca itu sangat penting dikarenakan: pertama, anak merupakan generasi penerus bangsa, jika kita membiasakan anak untuk gemar membaca, maka membaca bisa menjadi kebutuhan bagi mereka sehingga mereka akan kaya dengan informasi.Kedua, kebanyakan anak menyentuh buku yang hanya berhubungan dengan mata pelajarannya di sekolah sehingga anak kurang terekpos kepada beragam jenis buku, dan pengalamannya membaca kurang berkembang. Hal ini dikarenakan ada prioritas yang kurang tepat atau fokus yang keliru dalam proses belajar-mengajar dalam dunia pendidikan kita. Secara teknis guru-guru dirongrong hanya untuk mengejar target pencapaian kurikulum sehingga secara tidak langsung para siswa dituntut hanya untuk menghafal. Dengan demikian, buku-buku tidak begitu dianggap dalam proses pendidikan kita.Pertimbangan ketiga untuk mengangkat objek ini yaitu banyak anak yang tidak peduli akan keberadaan buku. Hal ini kesalahan tidak terletak pada anak karena selama ia belum dewasa dan mampu mandiri, orang tualah yang bertanggung jawab atas segala yang menimpa anak-anak mereka. Hal ini dikarenakan pola didik / kebiasaan / kecintaan yang diterapkan orang tua atas pentingnya buku sangat minim.Keempat, gejala yang menyebabkan kurangnya minat baca yaitu karena tingginya harga buku dan anggapan bahwa buku tidak terlalu penting dalam hidup kita serta kurangnya perhatian pemerintah terhadap persoalan ini. Dengan tingginya harga buku maka hanya kalangan terbatas yang mampu mengkonsumsinya dan jarang ada perpustakaan yang menyediakan buku dalam jumlah yang dan kualitas yang memadai. Kesimpulan ini bisa benar , bisa juga tidak. Di kalangan keluarga yang hidupnya berkecukupan atau secara ekonomi serba pas-pasan, mungkin benar bahwa faktor tingginya harga buku menjadi penghambat bagi tumbuhnya minat baca pada anak. Untuk kalangan ke bawah, buku merupakan barang mewah dan menjadi kebutuhan hidup nomor kesekian. Karena biasanya untuk kehidupan sehari-hari saja mereka cukup sulit. Kalaupun kelebihan uang dari hasil bekerja, mereka lebih cenderung untuk disimpan guna memenuhi kebutuhan konsumsi daripada dipergunakan untuk membeli buku bagi anak-anak.Tetapi ironisnya, kebanyakan kalangan keluarga yang kehidupan ekonominya mampu (dalam artian kaya), anggota keluarganya (baik orang tua maupun anak-anaknya) tidak mempunyai minat baca yang baik. Mereka menganggap remeh tentang arti dari sebuah buku. Mereka lebih menyukai menyisihkan sebagian hartanya untuk membeli barang-barang lainnya dari sebuah buku. Hanya segelintir warga masyarakat yang hidup berkecukupan rela menyisihkan sebagian uangnya untuk membeli buku bagi anak-anaknya. Biasanya mereka yang hidup serba berkecukupan lebih menyukai untuk pergi shopping ke mall-mall, ikut kursus senam atau pergi ke pusat hiburan daripada pergi ke toko-toko buku / pameran buku atau bahkan enggan untuk mengajak anak-anaknya pergi ke perpustakaan. Sedangkan di negara maju, para orang tua lebih senang mengajak anak-anaknya untuk pergi ke toko-toko buku, perpustakaan atau pameran buku. Bahkan mereka rela antri berpuluh-puluh meter untuk melihat pameran buku. Sehingga dari kebiasaan itu, anak-anak Indonesia lebih terbiasa diajak orang tuanya untuk mengenal barang-barang konsumtif daripada mendidik anak-anak mereka untuk mencintai buku atau bacaan umum lainnya.Selain itu bila melihat kehidupan sekarang ini, dengan datangnya berbagai macam media elektronik, khususnya televisi, yang banyak menyita perhatian anak-anak. Kebanyakan anak lebih menyukai menonton televisi daripada membaca buku. Karena televisi menawarkan banyak program acara yang menyenangkan. Dan didukung pula dengan akses untuk mengkonsumsi produk-produk hiburan tersebut sangat mudah dan sangat instan. Jika mereka lebih terbius dengan kemudahan menikmati semua produk hiburan dan kesenangan itu, maka anak-anak akan lebih mudah untuk meninggalkan buku-buku.Para orang tua kebanyakan lebih senang membelikan anak-anak mereka permainan elektronik, seperti video game atau play station daripada menghadiahkan buku-buku yang bermanfaat. Para orang tua juga lebih menyukai anak-anak mereka untuk duduk diam berjam-jam menonton acara-acara televisi daripada melihat anak-anaknya keluyuran di luar rumah. Menurut mereka, asalkan anak-anak mereka tidak keluyuran dan betah tinggal di rumah, itu sudah dinilai cukup. Mereka tidak terlalu memusingkan apakah anak-anak mereka gemar membaca atau tidak. Padahal penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa TV menyala rata-rata selama 7¼ jam setiap hari. Menurut dokter spesialis anak dan pakar peneliti dalam bidang perkembangan anak dari Universitas Harvard, Dr. Berry Brazelton, mengemukakan bahwa satu jam merupakan batas menonton maksimal bagi anak-anak usia 5-6 tahun. Lebih dari satu jam, tayangan-tayangan TV menjadi semacam racun yang mereduksi kemampuan daya nalar dan kemampuan berpikir kritis dan ilmiah.Pertimbangan lain adalah faktor minat atau dorongan, waktu dan kecepatan membaca. Biasanya barulah muncul minat membaca jika anak merasa sangat butuh. Dan biasanya anak enggan membaca karena menghabiskan banyak waktu menekuni buku. Bagi orang yang mempunyai prinsip time is money, mereka lebih menekuni aktivitas bisnis dan karirnya. Karena banyak orang yang beranggapan tanpa membaca pun jika kita menggunakan waktu sebaik-baiknya kita dapat menghasilkan uang. Jika kita mampu memecahkan persoalan dari keempat faktor tersebut, ditambah niat yang sungguh-sungguh, kemungkinan besar kita akan segera bisa berada dalam kebiasaan membaca.Kegiatan membaca yang lebih banyak disukai di kalangan anak-anak Indonesia hanya pada buku sejenis komik atau novel picisan yang sama sekali tidak menambah kreativitas dan pikiran kritis anak-anak yang membacanya.Menurut pandangan orang tua bahwa usaha untuk menumbuhkan minat baca anak-anak semata-mata hanyalah dianggap sebagai tugas pendidik, guru atau sekolah sebagai sebuah lembaga akademis / formal. Pandangan seperti ini jelas-jelas salah karena usaha untuk menumbuhkan perilaku membaca sebenarnya adalah tugas kita semua, baik sekolah, masyarakat / lingkungan sekitar, pemerintah dan terutama orang tua.Masyarakat atau lingkungan sekitar juga merupakan salah satu faktor dalam menumbuhkan minat baca pada anak. Hal itu dikarenakan apabila anak-anak yang hidup dan tinggal bersama dalam lingkungan masyarakat yang kurang meminati buku dan kurang menghargai aktivitas membaca. Oleh karena itu, langkah awal yang kita ambil yaitu dengan mentradisikan kegiatan membaca dalam keluarga masing-masing.Keluarga disebut sebagai lembaga yang paling utama dalam merangsang tumbuhnya minat baca. Hal itu dikarenakan minat baca itu sendiri sebenarnya sudah bisa dilatih dan ditumbuhkan sebelum anak mengenal bangku sekolah, yakni sejak anak-anak berusia 2-3 tahun. Dalam hal ini, orang tua dituntut bukan cuma untuk harus rela menyisihkan dana untuk membelikan buku bagi anak-anak mereka. Tetapi, lebih dari itu orang tua juga dituntut untuk senantiasa memberi contoh dan memperlihatkan kepada anak-anaknya bahwa mereka sendiri juga gemar membaca. Sangat tidak logis jika orang tua menghendaki anak-anak mereka gemar membaca sementara orang tua itu sendiri terkesan malas membaca. Perilaku orang tua sangat mempengaruhi sikap anak-anaknya. Bila orang tua gemar membaca, maka kemungkinan anak-anak mereka juga akan gemar membaca. Oleh karena itu, orang tua patut dijadikan suri tauladan guna merangsang tumbuhnya perilaku gemar membaca.
Posted by
12:07 PM
and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar :
Posting Komentar